Bagian 3
Lelaki Keturunan YamanSejak ditinggalkan oleh Patih Aditya, banyak sekali perubahan yang dibuat oleh Gusti Ratu Arunika Baiduri. Istana itu semakin banyak tari-tarian yang ia ciptakan. Para petinggi istana hanya bisa menerima saja, sebab yang dilakukan oleh sang ratu juga tidak mengubah tradisi sama sekali. Begitu juga dengan beberapa dayang wanita yang kerap kali menjadi sasaran nafsu dan birahi gusti prabu, selama sang raja sakit, mereka tak lagi merasakan penderitaan. Tubuh para dayang tak lagi lebam akibat disiksa sebelum dibawa ke ranjang. Mereka mulai bisa tersenyum, bahkan berharap agar lelaki bengis itu tak usah sadarkan diri lagi. Seperti itu pula isi hati Gusti Ratu Arunika. Ia lebih memiliih menjadi perawan tua yang suci terjaga, daripada disentuh oleh lelaki kejam seperti yang kini sedang tidur di sebelahnya.“Kanda,” panggil sang ratu dengan rasa malas, “mimpi indahlah di sana, kalau perlu jangan bangun lagi,” ucap penari itu untuk yang kesekian kalinya. Lalu Gusti ratu memejam, ia tidur setelah lelah seharian menari. Sang raja ditempatkan bersebelahan dengannya. Hanya tidur saja tidak melakukan apa-apa. Sebab sudah kewajibannya sebagai permaisuri menemani orang yang katanya telah menjadi suaminya.Pagi harinya Gusti Ratu Arunika dibangunkan oleh para dayang. Pagi itu cuaca amat panas, sejak sang prabu sakit, sudah tiga bulan pula lamanya di sekitar wilayah Kerajaan Giri Dwipa tidak turun hujan. Memang sungai masih mengalir, tapi alirannya kecil, sumur bahkan ada beberapa yang mulai mengering. Namun, untuk kebutuhan makan dan minum istana tetap ada. Walau harus merampas milik rakyat. Gusti ratu tidak tahu akan hal itu, sebab petinggi istana lain yang mengurusnya.“Sudah waktunya bersiap, Gusti Ratu.” Puspa dan Jali datang, mereka berdiri di sebelah Arunika yang masih enggan membuka matanya. Lalu dua dayang itu mencoba membangunkannya kembali.“Haruskah bangun sepagi buta ini?” gumam sang ratu dari ranjangnya. Ia melirik ke sebelah, senang hati sang ratu ketika raja di sebelahnya masih tertidur lelap.“Matahari sudah mulai tinggi, Gusti Ratu,” jawab Puspa sambil menangkupkan dua tangannya di dada.“Iya, tapi karena sudah lama tak turun hujan. Lagi pula ke mana perginya para orang suci? Di kampungku jika hujan tak turun-turun, maka orang suci akan dipanggil untuk melakukan ritual, lengkap dengan memotong beberapa binatang untuk korban.” Gusti Ratu Arunika duduk setelah berusaha mengumpulkan semua nyawanya.“Di sini tidak boleh ada orang suci, Gusti Ratu. Semuanya sudah dihabisi oleh Patih Aditya atas perintah Gusti Prabu,” bisik Jali pula.“Cih, orang-orang tak berhati. Pikir kalian bisa bebas begitu saja setelah melakukan banyak kejahatan. Kau sakit itu karena dosa-dosamu dulu,” cicit penari muda itu tanpa beban.“Pamali, Gusti Ratu, jaga bicara takutnya Gusti Prabu dengar.” Dua dayang itu mengingatkan pada tuannya. Sudah sering tuan mereka berbicara tanpa pikir pada siapa saja, sesuka hati asal beban hatinya keluar. Bertentangan dengan gelar seorang ratu yang seharusnya diemban.“Biarkan saja, kalau dia sadar pun aku tak akan sudi disentuh olehnya.”Sang ratu dibawa oleh kedua dayang setianya. Arunika memperlakukan Puspa dan Jali dengan baik. Sebab hanya mereka berdua yang bisa dipercaya dalam istana. Awal tiba, iba hati penari itu dengan nasib mereka berdua. Dibeli dengan amat murah, lalu dipaksa melayani sang raja bergantian, tentu sebelumnya disiksa terlebih dahulu. Bahkan menurut dua dayang itu, semua gadis di dalam istana tak suci lagi. Sebagian dicoba oleh sang prabu, sebagian lagi dicoba oleh para petinggi istana. Semuanya seiring sejalan, sama-sama kejam dengan perempuan lemah.Selesai mandi dan berendam dengan air kembang. Tubuh Arunika diberikan wewangian yang berasal dari cendana. Rambutnya diasapi juga agar kering dan juga berbau harum. Kemudian, kain-kain sutera indah dibalutkan sebanyak tiga lapis. Dua di bagian kaki, lapis awal berwarna gelap, yang kedua berwarna merah muda. Pakaian bagian atas pula hanya sebatas dada. Rambut wanita itu disanggul dan diberi melati segar. Bibir dan pipinya diberi perona yang berasal dari Cina. Gadis muda itu jadi terlihat lebih dewasa dan matang berkat sentuhan tangan para dayangnya.“Ampun, Gusti Ratu, ada beberapa tamu dari Kerajaan Samudra Pasai yang ingin bertemu. Mereka membawa surat dari Raja mereka, hendak diberikan pada Gustri Ratu.” Seorang dayang menyampaikan apa yang diutarakan oleh prajurit laki-laki di luar kediaman Arunika. Gadis itu tengah memilih mana giwang emas yang akan dia gunakan pagi itu.“Kerajaan mana?” tanya sang ratu sambil menunjuk dua giwang baru di nampan tersebut.“Samudra Pasai, Tuanku. Mereka tiga orang lelaki, kelihatannya masih muda, mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan cara kita, satu di antaranya bahkan wajahnya seperti orang asing.”“Samudra Pasai itu di mana? Banyak sekali yang harus kukerjakan dan pelajari sejak jadi ratu. Menari pun aku tak bisa bebas seperti dulu, menyebalkan sekali duduk di singgasana yang aku tak suka ini,” gerutu sang ratu perlahan.“Gusti Ratu, bagaimana? Utusan dari kerajaan tidak baik jika ditolak.” Dayang wanita itu menunduk usai mengingatkan sang pemimpin.“Utus lima orang penari untuk menyambut mereka. Siapkan jamuan makan dan tuak terbaik untuk mereka. Jika tiga lelaki itu berniat tinggal di sini, siapkan griya kita yang paling baik. Aku akan ke sana usai para penari menghibur mereka. Aku ada yang harus dilakukan terlebih dahulu. Pergilah!” perintah sang ratu pada dayangnya.Usai Puspa memasang dua giwang baru pada telinga sang ratu, penari tersebut mengajak si kembar untuk memasuki pustaka kerajaan. Meskipun Arunika tidak terlalu pintar, setidaknya ia tidak boleh kelihatan tidak tahu apa-apa di depan para utusan. Ia mempelajari sedikit tentang Kerajaan Samudra Pasai walau waktunya singkat. Gadis itu sejak tiga bulan lalu dinobatkan sebagai ratu, dipaksa untuk bisa baca tulis oleh guru di kerajaan. Katanya agar semakin berwibawa.***Azam, Nuh dan Rahmat menunggu sang ratu di dalam balai istana. Beberapa petinggi istana telah menerima kedatangan mereka yang menggunakan pakaian serba tertutup sampai di atas mata kaki. Namun, sang ratu yang ditunggu tak kunjung datang juga.“Ke mana ya Gusti Prabu mereka. Lama sekali kita menunggu dari tadi,” bisik Rahmat pada Azam.Lelaki keturunan Yaman itu tak tahu juga, ia sedikit gugup sebenarnya. Biasanya Syarif yang akan berbicara dengan yang duduk di singgasana, kini sudah menjadi gilirannya. Ia takut lidahnya kelu dan tak bisa meneruskan niat baik dalam menyebarkan Islam. Berkali-kali ia sudah lafadzkan doa yang bisa menghilangkan gugupnya.“Rabbisyrahlii shadrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lisaanii yafqahuu qaulii.” Berulang kali Azam ucapkan itu. Jika sang raja yang akan berhadapan dengannya bengis dan kejam, maka setelah tawaran damai tak diterima ia akan memberikan pilihan perang pada akhirnya. Seperti itu urutan yang kerap kali Syarif bahas padanya.Beberapa pelayan laki-laki masuk, mereka membawa gamelan dan alat musik lainnya. Semua yang hadir di sana sudah paham kecuali tiga orang Samudra Pasai tersebut. Bunga-bunga wangi dan aneka warna ditaburkan di lantai. Kemudian masuk lima orang penari perempuan dengan memakai pakaian terbuka dan selendang yang dililitkan di pinggang. Mereka serempak memberikan salam hormat pada tiga orang utusan itu. Para ulama muda tersebut hanya menunduk saja. Ditolak tidak enak, diterima juga hati mereka takut dosa.Kelima penari itu melenggak-lenggokkan pinggulnya di depan para lelaki. Semuanya menikmati suguhan yang diberikan oleh sang ratu. Para penari itu telah dilatih oleh Arunika hingga gerakannya sudah sangat memesona dan menyihir siapa saja yang memandang. Dua orang penari melewati Azam dan teman-temannya. Mereka semakin menunduk dan beristghfar berkali-kali. Di kerajaannya, penari perempuan hanya boleh dilihat oleh perempuan saja. Jika kedapatan lelaki ikut melihat maka bukan tak mungkin akan dijatuhi hukuman.“Dilihat dosa, tak dilihat barang bagus,” ujar Rahmat sambil menoleh ke kanan dan kiri.“Diamlah. Alihkan saja pandanganmu. Aku lebih memikirkan bagaimana nanti harus menghadapi sang raja. Bang Syarif memberikan amanah yang begitu berat untukku.” Azam meremas tangannya berulang kali. Gugupnya semakin menjadi ketika para penari wanita itu tersenyum ke arahnya satu demi satu.Kelima penari perempuan itu berbaris membentuk satu garis. Dua tangan mereka tertangkup di dada. Tarian telah usai, mereka bergeser ke kiri dan kanan. Pada saat itu Gusti Ratu Arunika muncul bersama dua dayangnya. Penari tersebut berjalan dengan anggun. Ia langsung bisa mengenali siapa utusan dari Samudra Pasai tersebut, dari cara berpakaian juga sudah amat jelas perbedaannya.“Bang, ada perempuan cantik yang berjalan kemari.” Nuh menyikut Azam yang dari tadi masih sibuk berdoa.Azam berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Nuh dan Rahmat, mereka heran mengapa perempuan lagi yang menyambutnya. Mana para lelaki atau sang raja?Gusti Ratu Arunika menatap lurus ke arah Azam, lelaki itu gugup bukan main dibuatnya, senyum dari bibir tipis dan merona sang ratu ia dapatkan. Semakin dekat penari itu dengan mereka. Rasanya Azam ingin melompat saja dan lari, kemudian menyerahkannya semuanya pada Syarif.Tiba sudah sang ratu di dekat para utusan dari Samudra Pasai tersebut. Gadis suci itu menghaturkan dua tangan, memberi hormat pada utusan yang ia anggap membawa niat baik.“Selamat datang di Kerajaan Giri Dwipa, para Tuan dari Samudra Pasai. Aku Gusti Ratu Arunika Baiduri yang memerintah di sini untuk sementara waktu. Kalian pasti kelelahan, nikmatilah jamuan makan dari kami terlebih dahulu. Setelahnya baru kita berbicara ada apa gerangan kalian kemari,” tutur sang ratu dengan lemah lembut. Penari tersebut memandang Azam dan lainnya, menanti jawaban keluar dari bibir salah satu utusan tersebut. Namun, semuanya hanya diam membisu. Azam yang tadinya sudah mempersiapkan jawaban ketika bertemu sang raja, nyatanya hilang begitu saja ketika yang menyambutnya merupakan seorang perempuan dengan senyuman yang amat manis.“Bang, jangan diam saja.” Nuh kembali menyikut Azam. Lelaki keturunan Yaman itu pun berusaha menjawab sebisanya. Ia ucapkan terima kasih walau sedikit gugup.“Aku paham kalian pasti lapar dan haus. Karena itulah mari kita makan bersama-sama,” ajak sang ratu. Penari tersebut berbalik. Ia berjalan sambil menyibak kain panjang di kakinya. Jadilah bunga-bunga yang ditaburkan di lantai itu terangkat dan mengenai wajah Azam berulang kali. Sudah biasa bagi seorang penari seperti Arunika untuk berjalan seperti itu, dengan lemah gemulai dan pinggul yang berlenggak-lenggok. Tersenyum Gusti ratu dalam perjalanannya menduduki singgasana emas. Ia bisa menilai tiga orang utusan dari Samudra Pasai tersebut berkelakuan baik dan tak seperti lelaki lain di dalam istana. Sementara itu, Azam membersihkan bunga-bunga yang terlempar ke wajah dan bajunya. Bingung ia bagaimana caranya menghadapi seorang raja yang ternyata perempuan. Rasanya lebih baik ia berhadapan dengan seorang bandit saja.Bersambung …Bagian 4 Pertanyaan Tersenyum Gusti Ratu Arunika, ia suka memandang wajah Azam. Lelaki keturunan Yaman dengan nama lengkap Teuku Azam Fachrurrazi itu memang memiliki wajah putih bersih seperti kakeknya, hidung mancung dan mata agak kebiruan. Selama di istana, Arunika hanya memandang laki-laki berperawakan terkutuk saja. Maksudnya, memang mereka tampan dan gagah, hanya saja perangainya dengan para wanita yang luar biasa bedebah. Hingga membuat penari itu muak. Dan baru kali ini ada yang menjaga pandangan ketika ia datang. Tergugahlah hati penari suci itu. Rasanya ia harus menyambutnya dengan lebih baik lagi. Azzam kemudian menyerahkan surat penawaran penyebaran ajaran agama Islam pada salah satu petinggi istana yang laki-laki, lalu diulurkan pada dayang sang ratu hingga sampai ke tangan Arunika sendiri. Tertegun sedikit sang ratu, ia tak bisa membaca apa yang sudah dituliskan juru tulis Kesultanan Samudra Pasai. Jenis hurufnya berbeda. Lama jadinya ia diam membisu, ingin mengatakan
Tak perlu menunggu waktu lama, tiga orang utusan dari Samudra Pasai itu langsung mempersiapkan diri untuk shalat meminta hujan. Ya, hanya diri mereka saja yang diperlukan, tidak ada ritual apa pun atau tumbal seperti yang disebutkan ratu tadi. “Apakah mereka benar-benar bisa dipercaya?” tanya Gusti Ratu dari singgasananya. Ia kemudian meminta agar pelayannya menyiapkan tempat. Ia ingin melihat dari dekat bagaimana caranya tiga orang alim ulama itu meminta hujan. Kursi kayu dibawa oleh dua dayang, lalu Arunika memperhatika dari dekat apa saja yang dikerjakan oleh Azam dan dua adik sepondoknya. Tak hanya sang ratu saja, beberapa petinggi istana pun mulai memperhatikan keanehan gerakan yang dikerjakan tiga orang itu. Terlalu asing, tak akrab di mata para penyembah arwah leluhur itu. Sesekali mereka mengerutkan kening, sesekali pula tertawa, mereka bersujud pada sesuatu yang tak tampak di depan mata. Dikatakan dengan pohon, tiga orang itu tak menyembah langsung ke pepohonan. “Mungkin m
Pagi itu, Gusti Ratu Arunika didandani seperti biasa oleh para dayang. Beberapa kali penari tersebut bersin-bersin. Sebab dari malam ia bak orang gila yang menari tanpa henti di bawah guyuran air hujan. Akibatnya ia sedikit demam dan pusing kepalanya. Padahal ia harus menetapi janjinya untuk membincangkan masalah kedatangan utusan Samudra Pasai.“Kalau masih sakit sebaiknya istirahat saja, Gusti Ratu,” pinta Puspa. Dari tadi hidung sang ratu ia perhatikan meler terus sampai kemerahan. “Jangan, bisa hilang wibawaku di depan mereka,” jawab Arunika. Bersin lagi dirinya, bahkan kini tubuhnya agak menggigil. “Ayo kita temui mereka. Aku sudah janji dari kemaren.” Gustri Ratu berjalan, agak terhuyung dirinya lalu dipapah oleh Puspa dan Jali. Sepanjang perjalanan ia perhatikan tanah di sekitar istana sudah becek karena diguyur hujan deras. Tanaman yang tadinya layu dan kering menjadi segar. Kupu-kupu mulai hinggap di bunga-bunga yang mulai merekah. Begitu juga dengan Azam dan dua temannya.
Sudah dua hari sejak pulang dari mengunjungi rakyatnya, Gusti Ratu Arunika Baiduri demamnya semakin menjadi. Ia hanya berbaring saja semberi memijit kepalanya. Penari itu diurus oleh Puspa dan Jali. Sedangkan Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap tidur seperti orang mati. Tak hanya sang ratu saja yang sakit. Lelaki keturunan Yaman itu juga meriang. Jadi selama dua hari, dua orang berbeda kepentingan itu sama-sama melepas lelah terlebih dahulu. Bedanya, Azam hanya mengurus dirinya sendiri saja. Ia hanya berbaring saja sampai hilang pusing di kepalanya. “Nampaknya, abang kita ini benar-benar meriang,” ujar Rahmat ketika masuk ke dalam kamar Azam. Ia menyodorkan makanan yang dibawa oleh para dayang. Atas permintaan mereka pula hanya ingin memakan sayuran tanpa ikan atau daging saja, demi menjaga kehalalan. “Memang ada meriang yang main-main?” tanya Nuh ketika ia ikut menuangkan air. “Meriang yang diderita oleh abang kita ini yang tingkat tinggi. Maksudnya, merindukan kasing sayang, dari
“Siapa wanita itu, mengapa gerakan tariannya begitu indah. Terlihat lebih segala-galanya dariku.” Arunika sadar, ia mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Wanita di dalam penjara tersebut rambutnya telah banyak uban, tapi wajahnya masih menawan. Ia menengguk secawan air putih, tenggorokannya serasa dialiri oleh kesejukan, air yang berasal dari hujan yang masih terus turun walau tak deras. “Jika para tuan itu aku tahan tinggal di sini, tentu setiap musim kering bisa meminta hujan, bukan? Tapi aku juga jadi tak memikirkan mereka, bukan tidak mungkin ada yang akan mencoba membunuh tiga orang itu tanpa sepengetahuanku. Aku hanya boneka di sini, tidak punya kuasa apa-apa. Para bangsawan seringnya hanya memandang lekuk tubuhku saja.” Sang ratu menghela napas panjang. Jauh pikirannya menerawang. Andai ia tak dijual oleh kedua orang tuanya, tentu ia tak akan mengalami derita seperti sekarang. Namun, jika ia masih hanya berkutat antara rumah dan sanggar saja, ia tak akan pernah juga ber
Ditanya hal seperti itu, bawahan Aditya langsung pergi begitu saja tanpa izin dari Gusti Ratu. Lagi-lagi sang ratu merasa terhina diperlakukan demikian. “Baiklah, kalau kau tak mau memberitahuku, aku cari tahu saja sendiri.” Sang ratu memperhatikan kepergian lelaki itu, ia menghilang di antara taman dan pepohonan. Di sana petunjuk terakhir ratu bisa menemukannya. Azam hanya memperhatikan saja dari belakang. Ia turut prihatin dengan bagaimana kehidupan perempuan di dalam istana, yang ia curi dengar dari beberapa lelaki. Hanya menjadi pemuas saja. Begitu jauh dari kemuliaan. Bahkan bisa dipakai bergantian, sesuka hati lelaki mana yang akan memilih. Sang ratu berjalan sampai ke balai kerajaan. Di sana ia meminta Puspa dan Jali membantu para utusan itu untuk menyiapkan tempat belajar. Lagi-lagi mereka menolak. Beberapa waktu menunggu tak ada yang datang untuk belajar juga, semuanya sepakat mengikuti perintah para bangsawan agar tak menghiraukan kehadiran utusan tersebut. “Puspa, Jali,
“Aku wanita yang sebelum kau datang melayani Gusti Prabu Atma Prabangkara. Akulah Gusti Ratu Pradnya Swari, ratu yang dibuang ketika sudah tak cantik lagi,” jawab wanita itu. Seketika Arunika mematung di dalam penjara. Tak ia tahu sama sekali bahwa permaisuri sebelum dirinya masihlah hidup. “Lalu mengapa Gusti Ratu masih di sini, ayo, kembalilah ke tempatmu. Akan kukeluarkan engkau saat aku sudah kembali, tunggulah.” Arunika hendak terbang kembali ke kamarnya, tapi satu perkataan dari Pradnya membuatnya terdiam lagi. “Tak perlu bersusah payah, Gusti Ratu. Aku sendiri sudah tak disayang lagi oleh Kang Mas Prabu. Dulunya aku sama sepertimu, muda, cantik, dan bergairah. Aku menari demi memenuhi ritual kejamnya. Seperti halnya dirimu, aku diboyong ke dalam istana. Bedanya, aku pasrah dan suka rela menyerahkan diriku. Aku akui kalau aku lemah, aku jatuh cinta dengan gagah raga sang prabu, tak dipungkiri dia tampan dan sangat jantan di mataku. Kau beruntung karena mengikuti kata hatimu. T
Penari bermata kelam itu berjalan mengendap-endap di kegelapan malam. Ia mampu menghindar dari tatapan para prajurit sebab dari kecil sudah dilatih untuk bergerak cepat dan lincah. Tubuhnya juga lentur hingga mampu melewati pepohonan dan semak beluar yang sempit. Saat ini melewati griya tempat Azam menginap, ia mendekat di jendela paling depan tempat lelaki keturunan Yaman itu beristirahat. Ragu-ragu ia ingin mengetuk jendela itu. Jujur saja nyalinya sedikit ciut ketika harus memasuki penjara bawah tanah sendirian. Namun, untuk meminta bantuan pun rasanya malu. Apa yang harus ia katakan. Tak mungkin ia bilang bahwa istana tempatnya memerintah begitu banyak kebusukannya. Ketika Arunika ingin mengetuk jendela, terlebih dahulu benda itu telah terbuka. Sang ratu lekas menunduk bersembunyi di antara bunga-bunga. Lelaki itu membukanya cukup lama, lalu datanglah salah satu adiknya yang bermulut banyak untuk ukuran seorang laki-laki—Rahmat. “Pasti sedang memikirkan sang ratu, bukan?” ceplos
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab