Pagi itu, Gusti Ratu Arunika didandani seperti biasa oleh para dayang. Beberapa kali penari tersebut bersin-bersin. Sebab dari malam ia bak orang gila yang menari tanpa henti di bawah guyuran air hujan. Akibatnya ia sedikit demam dan pusing kepalanya. Padahal ia harus menetapi janjinya untuk membincangkan masalah kedatangan utusan Samudra Pasai.“Kalau masih sakit sebaiknya istirahat saja, Gusti Ratu,” pinta Puspa. Dari tadi hidung sang ratu ia perhatikan meler terus sampai kemerahan. “Jangan, bisa hilang wibawaku di depan mereka,” jawab Arunika. Bersin lagi dirinya, bahkan kini tubuhnya agak menggigil. “Ayo kita temui mereka. Aku sudah janji dari kemaren.” Gustri Ratu berjalan, agak terhuyung dirinya lalu dipapah oleh Puspa dan Jali. Sepanjang perjalanan ia perhatikan tanah di sekitar istana sudah becek karena diguyur hujan deras. Tanaman yang tadinya layu dan kering menjadi segar. Kupu-kupu mulai hinggap di bunga-bunga yang mulai merekah. Begitu juga dengan Azam dan dua temannya.
Sudah dua hari sejak pulang dari mengunjungi rakyatnya, Gusti Ratu Arunika Baiduri demamnya semakin menjadi. Ia hanya berbaring saja semberi memijit kepalanya. Penari itu diurus oleh Puspa dan Jali. Sedangkan Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap tidur seperti orang mati. Tak hanya sang ratu saja yang sakit. Lelaki keturunan Yaman itu juga meriang. Jadi selama dua hari, dua orang berbeda kepentingan itu sama-sama melepas lelah terlebih dahulu. Bedanya, Azam hanya mengurus dirinya sendiri saja. Ia hanya berbaring saja sampai hilang pusing di kepalanya. “Nampaknya, abang kita ini benar-benar meriang,” ujar Rahmat ketika masuk ke dalam kamar Azam. Ia menyodorkan makanan yang dibawa oleh para dayang. Atas permintaan mereka pula hanya ingin memakan sayuran tanpa ikan atau daging saja, demi menjaga kehalalan. “Memang ada meriang yang main-main?” tanya Nuh ketika ia ikut menuangkan air. “Meriang yang diderita oleh abang kita ini yang tingkat tinggi. Maksudnya, merindukan kasing sayang, dari
“Siapa wanita itu, mengapa gerakan tariannya begitu indah. Terlihat lebih segala-galanya dariku.” Arunika sadar, ia mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Wanita di dalam penjara tersebut rambutnya telah banyak uban, tapi wajahnya masih menawan. Ia menengguk secawan air putih, tenggorokannya serasa dialiri oleh kesejukan, air yang berasal dari hujan yang masih terus turun walau tak deras. “Jika para tuan itu aku tahan tinggal di sini, tentu setiap musim kering bisa meminta hujan, bukan? Tapi aku juga jadi tak memikirkan mereka, bukan tidak mungkin ada yang akan mencoba membunuh tiga orang itu tanpa sepengetahuanku. Aku hanya boneka di sini, tidak punya kuasa apa-apa. Para bangsawan seringnya hanya memandang lekuk tubuhku saja.” Sang ratu menghela napas panjang. Jauh pikirannya menerawang. Andai ia tak dijual oleh kedua orang tuanya, tentu ia tak akan mengalami derita seperti sekarang. Namun, jika ia masih hanya berkutat antara rumah dan sanggar saja, ia tak akan pernah juga ber
Ditanya hal seperti itu, bawahan Aditya langsung pergi begitu saja tanpa izin dari Gusti Ratu. Lagi-lagi sang ratu merasa terhina diperlakukan demikian. “Baiklah, kalau kau tak mau memberitahuku, aku cari tahu saja sendiri.” Sang ratu memperhatikan kepergian lelaki itu, ia menghilang di antara taman dan pepohonan. Di sana petunjuk terakhir ratu bisa menemukannya. Azam hanya memperhatikan saja dari belakang. Ia turut prihatin dengan bagaimana kehidupan perempuan di dalam istana, yang ia curi dengar dari beberapa lelaki. Hanya menjadi pemuas saja. Begitu jauh dari kemuliaan. Bahkan bisa dipakai bergantian, sesuka hati lelaki mana yang akan memilih. Sang ratu berjalan sampai ke balai kerajaan. Di sana ia meminta Puspa dan Jali membantu para utusan itu untuk menyiapkan tempat belajar. Lagi-lagi mereka menolak. Beberapa waktu menunggu tak ada yang datang untuk belajar juga, semuanya sepakat mengikuti perintah para bangsawan agar tak menghiraukan kehadiran utusan tersebut. “Puspa, Jali,
“Aku wanita yang sebelum kau datang melayani Gusti Prabu Atma Prabangkara. Akulah Gusti Ratu Pradnya Swari, ratu yang dibuang ketika sudah tak cantik lagi,” jawab wanita itu. Seketika Arunika mematung di dalam penjara. Tak ia tahu sama sekali bahwa permaisuri sebelum dirinya masihlah hidup. “Lalu mengapa Gusti Ratu masih di sini, ayo, kembalilah ke tempatmu. Akan kukeluarkan engkau saat aku sudah kembali, tunggulah.” Arunika hendak terbang kembali ke kamarnya, tapi satu perkataan dari Pradnya membuatnya terdiam lagi. “Tak perlu bersusah payah, Gusti Ratu. Aku sendiri sudah tak disayang lagi oleh Kang Mas Prabu. Dulunya aku sama sepertimu, muda, cantik, dan bergairah. Aku menari demi memenuhi ritual kejamnya. Seperti halnya dirimu, aku diboyong ke dalam istana. Bedanya, aku pasrah dan suka rela menyerahkan diriku. Aku akui kalau aku lemah, aku jatuh cinta dengan gagah raga sang prabu, tak dipungkiri dia tampan dan sangat jantan di mataku. Kau beruntung karena mengikuti kata hatimu. T
Penari bermata kelam itu berjalan mengendap-endap di kegelapan malam. Ia mampu menghindar dari tatapan para prajurit sebab dari kecil sudah dilatih untuk bergerak cepat dan lincah. Tubuhnya juga lentur hingga mampu melewati pepohonan dan semak beluar yang sempit. Saat ini melewati griya tempat Azam menginap, ia mendekat di jendela paling depan tempat lelaki keturunan Yaman itu beristirahat. Ragu-ragu ia ingin mengetuk jendela itu. Jujur saja nyalinya sedikit ciut ketika harus memasuki penjara bawah tanah sendirian. Namun, untuk meminta bantuan pun rasanya malu. Apa yang harus ia katakan. Tak mungkin ia bilang bahwa istana tempatnya memerintah begitu banyak kebusukannya. Ketika Arunika ingin mengetuk jendela, terlebih dahulu benda itu telah terbuka. Sang ratu lekas menunduk bersembunyi di antara bunga-bunga. Lelaki itu membukanya cukup lama, lalu datanglah salah satu adiknya yang bermulut banyak untuk ukuran seorang laki-laki—Rahmat. “Pasti sedang memikirkan sang ratu, bukan?” ceplos
Termenung Gusti Ratu di dalam kamarnya. Ia harus mencari tahu siapa sosok laki-laki yang bisa membunuh sang raja. Bahkan jika mungkin menggantikannya sebagai pemimpin baru di sana. Arunika sendiri tidak terlalu tertarik dengan kursi panas itu. Sudah terlalu banyak tekanan yang ia terima. Selebihnya ia hanya ingin hidup sederhana seperti saat masih menjadi penari di sanggarnya. Sayangnya ia tak akan bisa kembali lagi ke sana, karena mengingat kini Arunika sudah menjadi istri orang, walau sama sekali tak tersentuh. Sebab bagi semua orang kedudukan seorang istri itu tak ada bedanya dengan tawanan, terkurung di dalam rumah dan tidak memiliki kebebasan sama sekali. Azam sendiri sudah ia coret kemungkinannya. Ia lihat sendiri bagaimana lelaki keturunan Yaman itu kurang cekatan dalam berlari. Apalah lagi jika nanti harus menghadapi Gusti Prabu Atma Prabangkara. Belum sampai pada sang penguasa, melawan Patih Aditya saja pasti lelaki yang ia panggil tuan guru itu sudah tewas duluan. “Apa aku
“Memang Tuan tahu jalannya?” tanya Arunika ketika Azam berjalan selalu saja mendahuluinya. “Eh, tidak, Gusti Ratu, tapi aku bisa menilai dari gerakan angin engkau akan berbelok ke mana,” jawabnya tanpa ragu.“Oh, tak bisa dikatakan main-main juga kalau begitu kemampuanmu, Tuan,” gumam sang ratu perlahan. Benar dugaannya ketika Arunika ingin berbelok ke kanan Azam sudah mendahuluinya. “Mungkin karena dia bisa berbicara dengan Tuhan jadi bisa meramal masa depan.” Dugaan sang ratu. Padahal tidaklah demikian, lelaki itu sudah lama lama dilatih di pondok untuk menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Azam berhenti, kemudian sembunyi di balik pohon besar. Arunika terkejut, tak sempat ia mengelak empat prajurit sudah hampir sampai. Lalu dengan kemampuannya, wanita itu melompat ke dahan pohon kecil di atasnya, berkat kelenturan tubuhnya selama menari dan juga ia yang kurus, tubuh Arunika mampu berada di atas sana beberapa waktu sampai para penjaga menghilang. “Tempatnya paling belakang,