“Aku wanita yang sebelum kau datang melayani Gusti Prabu Atma Prabangkara. Akulah Gusti Ratu Pradnya Swari, ratu yang dibuang ketika sudah tak cantik lagi,” jawab wanita itu. Seketika Arunika mematung di dalam penjara. Tak ia tahu sama sekali bahwa permaisuri sebelum dirinya masihlah hidup. “Lalu mengapa Gusti Ratu masih di sini, ayo, kembalilah ke tempatmu. Akan kukeluarkan engkau saat aku sudah kembali, tunggulah.” Arunika hendak terbang kembali ke kamarnya, tapi satu perkataan dari Pradnya membuatnya terdiam lagi. “Tak perlu bersusah payah, Gusti Ratu. Aku sendiri sudah tak disayang lagi oleh Kang Mas Prabu. Dulunya aku sama sepertimu, muda, cantik, dan bergairah. Aku menari demi memenuhi ritual kejamnya. Seperti halnya dirimu, aku diboyong ke dalam istana. Bedanya, aku pasrah dan suka rela menyerahkan diriku. Aku akui kalau aku lemah, aku jatuh cinta dengan gagah raga sang prabu, tak dipungkiri dia tampan dan sangat jantan di mataku. Kau beruntung karena mengikuti kata hatimu. T
Penari bermata kelam itu berjalan mengendap-endap di kegelapan malam. Ia mampu menghindar dari tatapan para prajurit sebab dari kecil sudah dilatih untuk bergerak cepat dan lincah. Tubuhnya juga lentur hingga mampu melewati pepohonan dan semak beluar yang sempit. Saat ini melewati griya tempat Azam menginap, ia mendekat di jendela paling depan tempat lelaki keturunan Yaman itu beristirahat. Ragu-ragu ia ingin mengetuk jendela itu. Jujur saja nyalinya sedikit ciut ketika harus memasuki penjara bawah tanah sendirian. Namun, untuk meminta bantuan pun rasanya malu. Apa yang harus ia katakan. Tak mungkin ia bilang bahwa istana tempatnya memerintah begitu banyak kebusukannya. Ketika Arunika ingin mengetuk jendela, terlebih dahulu benda itu telah terbuka. Sang ratu lekas menunduk bersembunyi di antara bunga-bunga. Lelaki itu membukanya cukup lama, lalu datanglah salah satu adiknya yang bermulut banyak untuk ukuran seorang laki-laki—Rahmat. “Pasti sedang memikirkan sang ratu, bukan?” ceplos
Termenung Gusti Ratu di dalam kamarnya. Ia harus mencari tahu siapa sosok laki-laki yang bisa membunuh sang raja. Bahkan jika mungkin menggantikannya sebagai pemimpin baru di sana. Arunika sendiri tidak terlalu tertarik dengan kursi panas itu. Sudah terlalu banyak tekanan yang ia terima. Selebihnya ia hanya ingin hidup sederhana seperti saat masih menjadi penari di sanggarnya. Sayangnya ia tak akan bisa kembali lagi ke sana, karena mengingat kini Arunika sudah menjadi istri orang, walau sama sekali tak tersentuh. Sebab bagi semua orang kedudukan seorang istri itu tak ada bedanya dengan tawanan, terkurung di dalam rumah dan tidak memiliki kebebasan sama sekali. Azam sendiri sudah ia coret kemungkinannya. Ia lihat sendiri bagaimana lelaki keturunan Yaman itu kurang cekatan dalam berlari. Apalah lagi jika nanti harus menghadapi Gusti Prabu Atma Prabangkara. Belum sampai pada sang penguasa, melawan Patih Aditya saja pasti lelaki yang ia panggil tuan guru itu sudah tewas duluan. “Apa aku
“Memang Tuan tahu jalannya?” tanya Arunika ketika Azam berjalan selalu saja mendahuluinya. “Eh, tidak, Gusti Ratu, tapi aku bisa menilai dari gerakan angin engkau akan berbelok ke mana,” jawabnya tanpa ragu.“Oh, tak bisa dikatakan main-main juga kalau begitu kemampuanmu, Tuan,” gumam sang ratu perlahan. Benar dugaannya ketika Arunika ingin berbelok ke kanan Azam sudah mendahuluinya. “Mungkin karena dia bisa berbicara dengan Tuhan jadi bisa meramal masa depan.” Dugaan sang ratu. Padahal tidaklah demikian, lelaki itu sudah lama lama dilatih di pondok untuk menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Azam berhenti, kemudian sembunyi di balik pohon besar. Arunika terkejut, tak sempat ia mengelak empat prajurit sudah hampir sampai. Lalu dengan kemampuannya, wanita itu melompat ke dahan pohon kecil di atasnya, berkat kelenturan tubuhnya selama menari dan juga ia yang kurus, tubuh Arunika mampu berada di atas sana beberapa waktu sampai para penjaga menghilang. “Tempatnya paling belakang,
“Bagaimana ini, Tuan.” Tanpa sandar sang ratu memegang erat tangan Azam. Semain berdegup kencanglah jantung lelaki keturunan Yaman itu. Azam melihat dengan matanya, puluhan penjaga dengan menggunakan obor terus berdatangan. Tak ada pilihan lain. Ia pun menarik tangan Arunika, terus berlari ke semak belukar dan masuk ke dalam hutan yang biasa digunakan raja untuk berburu. Menghindar dari kejaran pasukan yang mulai menyebar bersama anjing-anjing penjaga. Keringat Arunika bercucuran, sudah cukup lama mereka berlari, tapi seolah-olah para penjaga tak menyerah mengejar. Di depan terpampang sungai yang cukup deras mengalir, hanya itu satu-satunya pilihan yang tersisa. Lalu, tanpa ragu demi menyelamatkan nyawa mereka berdua, Azam pun tak luput menarik tangan Arunika, dan mereka berdua menceburkan diri ke dalam sungai, di hari menjelang pagi yang airnya terasa amat dingin. Melihat yang ditangkap sudah raib di depan mata, para prajurit pun undur diri, mereka akan memeriksa apa saja yang hil
Sudah bisa ditebak, usai berbasah-basahan berdua di dalam sungai, ditambah terkena angin malam, pagi dan siang yang tak menentu, kurang istirahat dan makan pun tidak benar, baik Arunika maupun Azam bersin-bersin saja kerjanya. Pada saat belajar dan mengajar pun kedua orang itu bersahut-sahutan sakitnya. Saling melirik semuanya bergantian, baik para dayang atau Nuh dan Rahmat. Terlihat gelagat yang aneh dari keduanya. “Masih lamakah pelajarannya?” gumam Arunika perlahan, ia mulai menggosok-gosok hidungnya yang gatal. Sesekali pula Azam mengucek matanya, mulai berair dan terasa pedih, karena sudah lama ia tak terlibat petualangan yang menguras banyak tenaga. Namun, ia harus tetap kuat, sebab ia harus mendengar pengakuan langsung dari sang ratu. Agar ia bisa mengambil keputusan untuk meneruskan berita tersebut ke Samudra Pasai. Jika benar kecurigaannya, sudah banyak kedzoliman di dalam istana itu yang memakan banyak nyawa orang tak bersalah. Pelajaran selesai, satu demi satu dayang me
Dua orang mata-mata Aditya yang diletakkan di gerbang istana terus memperhatikan pergerakan Azam dan Nuh. Ketika adik paling kecil di pondok itu telah berkuda, keduanya pun melakukan hal yang sama. Terus mengikuti hingga sampai di tempat yang teramat sepi di wilayah Kerajaan Giri Dwipa. Semakin kencang dua orang berpakaian serba hitam itu mengejar Nuh. Adik sepondok Azam tersebut sadar ada yang mengikuti, ia pun menggenggam erat surat di tangannya. Amanah harus segera ia sampaikan. Sebab kata Azam hal itu demi keselamatan seluruh istana. Namun, lelaki yang masih berusia belasan itu kalah cepat oleh dua mata-mata yang sudah terlatih. Ditambah ilmunya belum semumpuni Azam. Ia jatuh ketika salah satu bawahan Aditya melemparkan batu mengenai punggungnya. “Serahkan pada kami apa yang kau bawa itu!” ujar salah satu lelaki dengan suara lantang. “Tidak!” Nuh berdiri ia berusaha mengejar kuda yang masih terus berlari melampauinya. Sigap salah satu mata-mata melemparkan belati tajam terus me
Arunika berada di kamarnya, termenung seorang diri. Ia dikurung oleh para dayang. Penjagaan di sekitar ruangan itu pun semakin bertambah ketat. Jangankan kabur, berpikir untuk belajar saja sang ratu sudah tak bisa. “Malang sekali nasibku, Tuan. Serasa hidup dan mati dari dulu untuk orang lain. Tak pernah ada bahagia untukku.” Mengeluh sang ratu ketika para dayang baru saja meninggalkannya. Satu hari lagi ia akan melakukan ritual yang cukup berbahaya. Ia tak bisa mengelak dari tradisi yang sudah berlangsung dari ratusan tahun lamanya sejak sang prabu bertakhta. Setiap hari selama tiga kali sehari tubuh Arunika selalu diberi asap dupa sampai sesak napasnya. Katanya untuk melindungi diri dari serangan penari yang akan melawannya. Dan sore itu menjadi puncaknya. Ia diminta untuk berendam dalam bunga tujuh rupa selama beberapa waktu lamanya. Di sekeliling bak itu, para dayang memutari sang ratu lagi dengan asap dupa. Gadis bermata kelam tersebut mencelupkan kepalanya ke dalam bak mandi.