Dua orang mata-mata Aditya yang diletakkan di gerbang istana terus memperhatikan pergerakan Azam dan Nuh. Ketika adik paling kecil di pondok itu telah berkuda, keduanya pun melakukan hal yang sama. Terus mengikuti hingga sampai di tempat yang teramat sepi di wilayah Kerajaan Giri Dwipa. Semakin kencang dua orang berpakaian serba hitam itu mengejar Nuh. Adik sepondok Azam tersebut sadar ada yang mengikuti, ia pun menggenggam erat surat di tangannya. Amanah harus segera ia sampaikan. Sebab kata Azam hal itu demi keselamatan seluruh istana. Namun, lelaki yang masih berusia belasan itu kalah cepat oleh dua mata-mata yang sudah terlatih. Ditambah ilmunya belum semumpuni Azam. Ia jatuh ketika salah satu bawahan Aditya melemparkan batu mengenai punggungnya. “Serahkan pada kami apa yang kau bawa itu!” ujar salah satu lelaki dengan suara lantang. “Tidak!” Nuh berdiri ia berusaha mengejar kuda yang masih terus berlari melampauinya. Sigap salah satu mata-mata melemparkan belati tajam terus me
Arunika berada di kamarnya, termenung seorang diri. Ia dikurung oleh para dayang. Penjagaan di sekitar ruangan itu pun semakin bertambah ketat. Jangankan kabur, berpikir untuk belajar saja sang ratu sudah tak bisa. “Malang sekali nasibku, Tuan. Serasa hidup dan mati dari dulu untuk orang lain. Tak pernah ada bahagia untukku.” Mengeluh sang ratu ketika para dayang baru saja meninggalkannya. Satu hari lagi ia akan melakukan ritual yang cukup berbahaya. Ia tak bisa mengelak dari tradisi yang sudah berlangsung dari ratusan tahun lamanya sejak sang prabu bertakhta. Setiap hari selama tiga kali sehari tubuh Arunika selalu diberi asap dupa sampai sesak napasnya. Katanya untuk melindungi diri dari serangan penari yang akan melawannya. Dan sore itu menjadi puncaknya. Ia diminta untuk berendam dalam bunga tujuh rupa selama beberapa waktu lamanya. Di sekeliling bak itu, para dayang memutari sang ratu lagi dengan asap dupa. Gadis bermata kelam tersebut mencelupkan kepalanya ke dalam bak mandi.
Arunika membuka kedua matanya, ia terkejut tak lagi berada di kamar. Melainkan di sebuah wilayah yang hanya ada padang pasir saja. Lurus tanpa batas dan amat luas seperti halnya lautan lepas. Penari bermata kelam itu sampai beterbangan rambutnya diembus angin padang gurun yang rasanya sangat dingin. Taburan bintang di atas langit justru terlihat memukau di sana. Ia takjub, sekaligus merasa betah tinggal di sana berlama-lama. Terpana penari itu, ia duduk di atas pasir hingga tanpa terasa malam bertukar menjadi siang dan udara yang tadinya dingin menjadi sangat panas. Ia pun kehausan. Lalu berjalan ke sana kemari untuk mencari sumber air. Mata kelam Arunika berbinar, ia seperti melihat gelombang air di hadapannya. Dengan berlari gadis itu berusaha meraihnya, tapi semakin jauh rasanya sumber air dari depan mata, sampai kakinya letih dan tak lagi sanggup untuk berdiri. Sang ratu tergeletak dengan sinar matahari yang membakar kulit halusnya. Ia kehausan di kegersangan padang pasir. Tidak
Keadaan Gusti Prabu Arunika sudah lebih baik. Air kiriman dari Azam benar-benar membantu dirinya pulih. Ia masih belum duduk di singgasana. Hanya berjalan di dekat griyanya saja, menghilangkan pegal-pegal sebab pertarungan tak kasat mata yang ternyata mematikan. Hatinya? Jangan ditanya lagi, ia rindu dengan yang bukan suaminya. “Gusti Ratu, apa engkau ingin berjalan-jalan? Sepertinya sudah sangat sehat?” tanya Jali, dua dayang kembar itu bergantian memijat kakinya. “Ke mana? Istana isinya laki-laki tak tahu diri saja. Malas aku berjumpa dengan mereka. Apalagi mata-mata Patih Aditya. Pasti akan mengawasiku terus-terusan.” Arunika memijat keningnya, matanya sedikit terbayang-bayang dengan padang pasir di dalam mimpinya. Tempat itu meski gersang tetapi membuat hatinya tertarik untuk pergi ke sana. “Ke tempat Tuan Azam, Gusti Ratu, bagaimana?” celetuk dayangnya tanpa pikir. “Tak baik seperti itu, kalian ini, tertangkap basah malunya minta ampun.” Tersenyum penari itu, meski benar ia i
“Hei, anak muda, bangun! Tidur saja kerjamu!” Nini Sarupa menepuk bokong Patih Aditya yang tengah terlelap. Kesetiaan tangan kanan Atma Prabangkara itu memang sudah sangat terujii. Ia tahan menunggu sang penyihir selama sepekan hanya dengan makan seadanya saja. “Nyi, engkau kembali, bagaimana? Apa sudah didapatkan obat untuk Gusti Prabu?” tanya lelaki berkumis itu sembari mengucek matanya. “Tentu saja, kau pikir dengan siapa kau berbicara? Lihat dulu kakiku, sudah ratusan tahun tapi tulangnya tidak keropos sedikit pun.” Nini Sarupa membuang sirih lamanya dan mengunyah yang baru. Benar di usianya yang tak lagi muda, gigi dan tulangnya masih amat kokoh. Hanya saja nenek penyihir itu lebih memilih berpenampilan urakan bak pengemis. Ia tak mau berpenampilan cantik seperti penyihir lainnya. “Kalau begitu sudah bisa saya bawa pulang, Nyi?” tanya Aditya memastikan. “Tunggu dulu, belum aku bacakan mantra. Kau ini tak sabaran sekali. Rindu dengan istrimu apa?” komat-kamit bibir yang memera
“Kau siapa? Jangan ikut campur dalam urusanku. Orang asing!” hardik Patih Aditya pada Azam. “Kami utusan dari Samudra Pasai. Ratu menerima kami dengan tangan terbuka, jika kau berani menyakitinya juga kami, Kesultanan Samudra Pasai tak akan segan-segan menyatakan pelawanan. Tentu kau tahu seberapa besar armada perang kami.” Mendengar ancaman dari Azam, tangan Patih Aditya turun, tak jadi ia menyakiti Arunika. Lagi pula ia punya urusan lain yang jauh lebih penting. Yaitu membangkitkan sang prabu dari tidur panjangnya. “Menyusahkan saja.” Patih itu sempat mengumpat pada Arunika ketika pergi dari sana. Sang ratu memegang lehernya, sakit luar biasa yang ia rasakan. Lelaki berkumis tebal itu memang tak pernah main-main dengan ancamannya. “Engkau tak apa-apa, Gusti Ratu?” tanya Azam, melihat Arunika sakit ia juga ikut sakit, sebagai saudara sesama muslim, atau lelaki itu mengharapkan lebih. “Terima kasih, Tuan. Aku harus pergi. Aku harus menghadapi semuanya. Nanti kita akan bercerita le
Patih Aditya masuk ke kamar di mana Gusti Prabu Atma Prabangkara masih berbaring. Ia menatap tubuh tuannya, sudah beberapa bulan tak bersua, kemudian ia haturkan sembah sujud pada seseorang yang berjasa mengangkat kastanya dari rendahan menjadi seorang kesatria sejati dan bergelimangan harta. Apa pun akan Aditya lakukan walau harus berkorban nyawa demi keselamatan sang tuan. Termasuk mencari bayi-bayi tidak berdosa yang akan dijadikan tumbal. “Jangan biarkan Gusti Ratu dan dayangnya memasuki kamar ini, kunci rapat, perketat penjagaan, siagakan semua senjata. Jika ada satu ekor semut saja yang membuat keributan, bunuh!” Lantang terdengar ucapan sang patih. Para penjaga mulai berpencar menjaga di sekitar kediaman sang raja. Kemudian beberapa bawahan Aditya yang mengenakan pakaian serba hitam masuk. Mereka meninggalkan penjara bawah tanah begitu tahu tuannya sudah datang. “Tutup pintu rapat-rapat.” Perintah lelaki berkumis tebal itu. “Angkat perlahan-lahan tubuh Gusti Prabu, hati-hati
“Cepat, Rahmat, kau lama sekali larinya.” Azam menunggu kedatangan temannya, sementara Arunika sudah melesat jauh ke depan, mereka baru saja berhasil melewati istana setelah mengecoh beberapa penjaga.“Ya, mana aku tahu kita akan kabur seperti sekarang. Kenapa tidak ambil kuda kita saja kalau begitu, Bang?” keluh Rahmat. Napasnya dari tadi terengah-engah karena tak kuat berlarian jauh, ia kalah cepat dengan penari di depannya. “Kau ini cengeng sekali. Pakai kuda ya ketahuan kita. Ayo cepatlah, kita sudah jauh tertinggal di belakang.” Azam tak sabaran dengan temannya itu. Lelaki bermata kebiruan tersebut memaksa Rahmat untuk lari lebih cepat, Arunika seolah-olah menatap kebebasan di depan matanya, ia tak lagi menoleh ke belakang, ia pun percaya kalau dua laki-laki itu mampu menyusulnya. Tidak ada penjaga yang mengejar mereka, di tambah bulan yang sudah habis dimakan waktu membuat suasana semakin gelap. Sesekali penari bermata kelam itu terjatuh karena kakinya tersangkut akar pepohona
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab