“Cepat, Rahmat, kau lama sekali larinya.” Azam menunggu kedatangan temannya, sementara Arunika sudah melesat jauh ke depan, mereka baru saja berhasil melewati istana setelah mengecoh beberapa penjaga.“Ya, mana aku tahu kita akan kabur seperti sekarang. Kenapa tidak ambil kuda kita saja kalau begitu, Bang?” keluh Rahmat. Napasnya dari tadi terengah-engah karena tak kuat berlarian jauh, ia kalah cepat dengan penari di depannya. “Kau ini cengeng sekali. Pakai kuda ya ketahuan kita. Ayo cepatlah, kita sudah jauh tertinggal di belakang.” Azam tak sabaran dengan temannya itu. Lelaki bermata kebiruan tersebut memaksa Rahmat untuk lari lebih cepat, Arunika seolah-olah menatap kebebasan di depan matanya, ia tak lagi menoleh ke belakang, ia pun percaya kalau dua laki-laki itu mampu menyusulnya. Tidak ada penjaga yang mengejar mereka, di tambah bulan yang sudah habis dimakan waktu membuat suasana semakin gelap. Sesekali penari bermata kelam itu terjatuh karena kakinya tersangkut akar pepohona
Tak ingin terjerumus dalam dosa besar, kemudian Azam terpaksa menghantam kepala Arunika. Hanya sekali saja, penari tersebut langsung tak sadarkan diri, dan asap hitam yang merasuki tubuhnya langsung keluar. “Hampir saja.” Azam menarik napas panjang. Memang ia akui sulit menolak pesona Arunika, tapi ia juga mengingat dengan baik kata kedua orang tuanya. Agar tak terseret dalam jurang kenistaan.Tak lama setelahnya Rahmat kembali. Ia membawa air dan juga beberapa buah-buahan yang matang di pohon. Adik sepondok Azam itu melirik ke arah Arunika, di matanya gadis itu tertidur dengan nyenyak menghadap sebuah pohon. “Apa yang akan Abang katakan pada guru kita nanti. Mengatakan bahwa engkau menculik istri orang dan membawanya kemari, begitu?” “Dia bukan istri orang lagi,” jawab Azam apa adanya.“Ya, memang. Tapi di mata orang-orang Kerajaan Giri Dwipa, dia ini masihlah seorang ratu, belum diturunkan apalagi dilengserkan. Pelik sedikit masalah hidupmu, Bang. Tak mungkin engkau biarkan perem
Sudah beberapa hari Arunika berada dalam rumah Tuan Guru, tentu kedatangannya membuat banyak orang berbisik. Pun ia kerap kali ditanya mengenai kedudukannya, apakah sebagai gadis lajang yang belum memiliki pendamping atau istri orang yang kabur dari suaminya yang kejam. Dan Arunika adalah keduanya, hingga membuat Tuan Guru merasa tak bisa diam saja akan kesendirian gadis itu. Ia sudah dengar sendiri cerita secara lengkap baik dari Azam atau pun penari bermata kelam tersebut. Keduanya sama persis tanpa ada kebohongan. Artinya cerita mereka berdua benar adanya, tidak mengada-ngada hanya agar bisa kabur berdua saja. Sang guru juga mengirimkan pesan pada Sultan agar memikirkan bagaimana keadaan kerajaan Giri Dwipa, tapi belum mendapatkan jawaban, sebab satu masalah besar pun sedang membutuhkan penyelesaian yang tak main-main juga. “Akan kau apakan anak gadis orang itu, Zam?” tanya sang guru pada muridnya. Lelaki keturunan Yaman itu belum memutuskan apa-apa. Pun tak juga sedang ingin mela
“Sah.” Satu kata yang terucap dari bibir Tuan Guru yang ditunjuk sebagai wali bagi Arunika. Diikuti oleh doa kebaikan yang dipanjatkan oleh para tamu yang datang. Tidak banyak, hanya teman dekat dan handai taulan tertentu saja. Dari istana sendiri tidak ada sambutan apa-apa. Sebab memang Arunika pernah menjadi incaran Sultan meski tak dapat. Hati Azam sendiri jangan ditanya lagi, sudah bahagia tak menentu meski wajahnya cenderung datar bahkan pucat. Jika tidak malu mungkin ia sudah muntah dari tadi. Entah mengapa hari pernikahan itu begitu mendebarkan baginya, jauh daripada ketika ia akan diterjunkan ke medan perang. “Santai saja, Bang, jangan lemas begitu. Ya Allah kasihan lihatnya.” Rahmat datang dan menyalami seorang teman yang akhirnya melepas masa lajang juga. “Mungkin dia ketakutan, takut tak bisa berbuat apa-apa saat di kamar berdua saja,” sambung Hasan. Lelaki itu memberikan hadiah pada salah satu sahabatnya. Sayang sekali Syarif tidak bisa datang karena sedang mempersiapka
Sudah beberapa bulan lamanya sepasang insan itu menjadi suami istri. Arunika kini tak kurus lagi tubuhnya, perutnya membuncit sebab ada janin yang tinggal di dalam rahimnya. Di samping itu Azam masih terus berlatih. Hasan telah berangkat dengan kapalnya untuk membantu memukul mundur pasukan Mongol yang akan dataang. Begitu pula Syarif yang sudah mempersiapkan diri. Lelaki bermata kebiruan itu hanya menunggu waktu saja dipanggil oleh pihak Kesultanan Samudra Pasai. Arunika kini bertopang dagu melihat suaminya berlatih dari hari ke hari. “Baru juga menikah aku sudah akan ditinggalkan oleh suamiku,” ucap Arunika ketika duduk saja di belakang rumah Azam yang juga rumahnya. Lelaki keturunan Yaman itu mendengar dan menghentikan latihannya. Ia duduk dan minum air yang telah disediakan oleh istrinya. “Tak mungkin aku hanya berdiam diri saja di sini sementara teman-temanku pergi berperang, istriku yang cantik.” “Iya, aku paham, tapi kalau lama baru kembali, bagaimana? Perang itu setahuku ti
Puspa berjalan ke penjara bawah tanah di mana Arunika dikurung. Dayang itu diberi tugas untuk mengurus semua keperluan bekas ratunya sampai bayi laki-laki yang dinanti lahir. Mata Puspa ditutup kain hitam agar ia tak tahu jalan masuk menuju ke tempat itu. Pun ia diancam akan dibunuh jika berani berbuat macam-macam. Pintu penjara terbuka, penari bermata kelam itu tidur bersandar di dinding dengan perutnya yang membuncit. Puspa tak menyangka bahwa mereka akan bertemu kembali dengan keadaan yang begitu mengenaskan. Ditambah bayi yang akan diambil oleh Gusti Prabu Atma Prabangkara.“Gusti Ratu.” Puspa membuka ikatan matanya, ia mengguncang Arunika yang bibirnya mulai mengelupas. Wanita itu terbangun, samar-samar matanya menangkap kehadiran bekas dayang di hadapannya. “Oh, Ya Allah, ini Puspa atau Jali?” Arunika tak bisa membedakan salah satunya sebab kembar yang sangat serupa. “Puspa, Gusti Ratu. Bagaimana mungkin kita akan bertemu lagi di sini. Padahal engkau sudah hidup berbahagia di
Persiapan telah lengkap semua di dalam penjara itu, dayang yang menenami hanyalah Puspa dan Jali. Sebab kelahiran bayi tersebut memang tak sesuai dengan tebakan sang tabib yang baru saja datang. Ia pun wajahnya waswas, takut jika bayi yang dilahirkan bukanlah laki-laki. Beberapa waktu lamanya persalinan tak juga selesai, jalan lahir tak juga terbuka. Rasa sakit kian menggila dan peluh terus bercucuran. Bahkan obat tidur yang telah diberikan pada penjaga kini diperkirakan akan habis waktunya. Puspa dan Jali berbalik jadi ketakutan luar biasa. Mereka khawatir tak sempat menyelamatkan anak tuannya. Tiba-tiba saja Arunika mengedan mengikuti nalurinya. Sang tabib melebarkan dua kaki bekas ratu itu. Ia memerintahkan penari tersebut untuk terus mengedan agar bayinya cepat keluar. Tekanan terakhir yang diberikan penari bermata kelam itu membuat kepala bayi langsung keluar dan ditarik oleh tabib. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa bayi yang masih merah. Tabib sangat terkejut, yang
Patih Aditya sedikit merasa curiga dengan hilangnya salah satu dari dayang kembar yang melayani Arunika. Namun, ia tak sempat berlama-lama dalam perasaan itu. Ia harus segera mencari bayi laki-laki untuk ritual panjang umur sang prabu. Sayangnya, entah mengapa secara bersamaan di seluruh desa seperti kekeringan dari kelahiran bayi. Kalaupun ada hanya anak-anak perempuan saja, jika bayi laki-laki biasanya tak berumur panjang lagi. Ada yang baru dilahirkan langsung mati, paling panjang juga berusia 40 hari. Maka Aditya pun memutar otaknya. Kerajaan yang paling dekat dengan Giri Dwipa yaitu Hambu Aer. Iya, dirinya harus memperoleh bayi laki-laki sebanyak tiga orang apa pun caranya. Sebab jika ilmu gusti prabu musnah maka hilang juga seluruh harta kekayaan miliknya. Patih Aditya pun mengutus tiga orang mata-matanya lagi. “Menyebar. Cari bayi laki-laki di Hambu Aer sampai ketemu. Jangan membuat keributan, lakukan dengan aman tanpa keributan. Paham!” Lekas bawahannya bergerak menuruti perk
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab