Persiapan telah lengkap semua di dalam penjara itu, dayang yang menenami hanyalah Puspa dan Jali. Sebab kelahiran bayi tersebut memang tak sesuai dengan tebakan sang tabib yang baru saja datang. Ia pun wajahnya waswas, takut jika bayi yang dilahirkan bukanlah laki-laki. Beberapa waktu lamanya persalinan tak juga selesai, jalan lahir tak juga terbuka. Rasa sakit kian menggila dan peluh terus bercucuran. Bahkan obat tidur yang telah diberikan pada penjaga kini diperkirakan akan habis waktunya. Puspa dan Jali berbalik jadi ketakutan luar biasa. Mereka khawatir tak sempat menyelamatkan anak tuannya. Tiba-tiba saja Arunika mengedan mengikuti nalurinya. Sang tabib melebarkan dua kaki bekas ratu itu. Ia memerintahkan penari tersebut untuk terus mengedan agar bayinya cepat keluar. Tekanan terakhir yang diberikan penari bermata kelam itu membuat kepala bayi langsung keluar dan ditarik oleh tabib. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa bayi yang masih merah. Tabib sangat terkejut, yang
Patih Aditya sedikit merasa curiga dengan hilangnya salah satu dari dayang kembar yang melayani Arunika. Namun, ia tak sempat berlama-lama dalam perasaan itu. Ia harus segera mencari bayi laki-laki untuk ritual panjang umur sang prabu. Sayangnya, entah mengapa secara bersamaan di seluruh desa seperti kekeringan dari kelahiran bayi. Kalaupun ada hanya anak-anak perempuan saja, jika bayi laki-laki biasanya tak berumur panjang lagi. Ada yang baru dilahirkan langsung mati, paling panjang juga berusia 40 hari. Maka Aditya pun memutar otaknya. Kerajaan yang paling dekat dengan Giri Dwipa yaitu Hambu Aer. Iya, dirinya harus memperoleh bayi laki-laki sebanyak tiga orang apa pun caranya. Sebab jika ilmu gusti prabu musnah maka hilang juga seluruh harta kekayaan miliknya. Patih Aditya pun mengutus tiga orang mata-matanya lagi. “Menyebar. Cari bayi laki-laki di Hambu Aer sampai ketemu. Jangan membuat keributan, lakukan dengan aman tanpa keributan. Paham!” Lekas bawahannya bergerak menuruti perk
Jali bersembunyi di dekat pohon besar yang mampu menyembunyikan dirinya. Ia memeluk Sanjaya dengan kuat sebab bayi itu mulai menangis. Tangisan yang terdengar sampai ke telinga mata-mata Aditya. Lelaki berpakaian hitam itu mendekat, mencari asal suara, dan terlihat oleh matanya seseorang yang begitu ia kenali. Ia lompat dari kuda dan berjalan mengendap-endap. Lalu mendekap Jali dari belakang. “Kena kau! Dari dulu aku sudah curiga dengan kalian semua.” Sontak Jali kaget ketika ada yang memeluknya dari belakang. Apalagi Sanjaya semakin kencang saja tangisnya. “Lepaskan aku!” Sekuat tenaga dayang itu berusah melepaskan kungkungan mata-mata tersebut. “Bayi ini pasti anak ratu, bukan? Kau membawa pergi saat kuizinkan keluar.” “Aku tak tahu apa yang kau katakan, ini anakku. Lepas!” “Pembohong. Berikan anak itu padaku. Akan kutumbalkan dia untuk gusti prabu.” Mata-mata tersebut berusaha merampas bayi dalam naungan Jali. Dayang tersebut menggigit dengan kuat tangan lelaki di belakangny
Nini Sarupa tiba di Istana Giri Dwipa. Tanpa sopan santun sama sekali ia langsung masuk ke kamar Gusti Prabu Atma Prabangkara. Terkejutlah sang prabu yang tengah menggerayangi salah satu dayangnya. Namun, ia tak berani untuk marah. Bisa-bisa kesaktiannya dicabut oleh penyihir tua itu. “Dewi memintaku untuk sesegera mungkin, kau, untuk mengalirkan darah bekas ratumu itu. Dia sudah terlalu lama bersabar melihatmu lembek seperti ini. Tak bosan-bosan kau bermain dengan perempuan.” Nini duduk di lantai, ia melihat dua orang itu gelagapan memakain kainnya. Atma Prabangkara kemudian memerintahkan dayang itu untuk keluar. “Sekarang juga?” tanya sang prabu. Jujur saja ia masih berat untuk membunuh penari yang pernah begitu memesona dalam dirinya. “Setidaknya sebelum kau melakukan ritual panjang umur. Jika tidak juga kau akan tahu akibatnya. Kau akan bernasib sama seperti putra-putramu yang tak berguna itu. Jadi mayat hidup dan saat mati menjadi monyet, seperti lima yang sudah kau berikan pa
Api terus menjalar masuk sampai ke dalam penjara. Sebelum terperangkap lebih jauh, Azam berlari kencang tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, ia tak hanya sendirian saja, sebab putra-putra Atma Prabangkara juga mulai mencoba menyelamatkan diri. Mereka yang mencium bau darah manusia di tubuh Azam saling menginjak dan mengejar. Lapar, sebab sudah lama tak diberi makan oleh tuannya. Lelaki bermata kebiruan itu menerobos kayu yang dibakar api. Pakaiannya terbakar sedikit dan mengenai kulitnya, ia tahan sebisa mungkin perihnya. Ia tak bisa mengeluh lama-lama sebab anak-anak Atma Prabangkara semakin banyak yang mengejarnya dan Arunika belum juga ia temukan. *** Syarif mengikat leher Nini Sarupa dengan kain panjang yang selalu ia bawa ke manapun. Nenek sihir itu merasa tercekik, ia arahkan kuku-kuku hitam panjangnya untuk menyakiti lawannya. Namun, lelaki yang mahir di medan perang itu melempar kain sisa ke atas dahan pohon. Ia tarik, hingga tubuh Nini Sarupa menggantung di udara. Akan t
Azam dan yang lain bertahan dari serangan yang diberikan oleh Atma dan Aditya. Mereka cukup kewalahan menghadapi dua orang yang begitu kuat dalam bertahan, meski tanpa bantuan satu orang prajurit pun. “Padahal nenek tadi tak sekuat ini.” Syarif ngos-ngosan dibuatnya. Ia seperti menghadapi kekejaman Xi Chian saat pertempuran bersama Mongol. Arunika memperhatikan dari balik patung dengan harap-harap cemas. Ia menoleh ke belakang. Terbelalak mata penari itu. Putra-putra Atma Prabangkara mulai berlarian ke arahnya. Namun, tak sampai, sebab sebagian mulai menjerit karena terkena sengatan sinar matahari yang terus meninggi. Begitu juga dengan lima ekor monyet yang dibawa oleh Nini Sarupa. Semua berteriak tak tentu arah, melompat tak jelas hingga kelimanya berhamburan ke tempat Aditya dan Atma Prabangkara bertahan. “Monyet sialan!” umpat sang prabu. Ia tahu mereka putranya, tapi ia tak ambil pusing. Monyet itu semakin beringas ketika tubuhnya tersengat sinar matahari dan bulu-bulunya terb
SEASON 2SANTET HARTA, TAKHTA, WANITA Story by Aini Dahlia Nusantara zaman dahulu tahun 1310. Samudra Pasai gencar menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah termasuk Kerajaan Hambu AerBagian 1Wanita Berambut PutihKepulan asap hitam meliuk mengikuti gerakan jemari lentik seorang wanita dengan rambut berwarna putih. Asap yang berasal dari kemenyan dan tulang belulang binatang untuk sebuah ritual yang sangat jahat.Mata wanita itu terbuka lebar setelah mantra selesai dirapal. Dua buah bola matanya berbeda warna, sebelah kiri berwarna merah terang melambangkan dendam membara yang mengisi hatinya. Sebelah kanan berwarna hitam pekat. Sehitam jiwanya yang telah diserahkan sepenuhnya kepada iblis. “Wahai penghuni gelap di sudut jiwa! Laksanakanlah tugas kalian. Genggam jiwa tidak berdosa itu kepadaku, buatlah ia terombang ambing dan tersiksa sampai dunia ini hancur!” teriaknya sambil menyembah patung ular besar di hadapannya.Tak lama setelahnya kepulan asap hitam itu menembus atap
SANTET HARTA, TAKHTA, WANITA Burung hantu peliharaan Gandari telah kembali dari tempat yang dituju. Melalui matanya Gandari bisa melihat sendiri di mana jenazah yang telah terbujur kaku itu akan diistirahatkan. Satu langkah menuju kesempurnaan ritual jahatnya. Sementara di alun-alun kerajaan, semua kelengkapan ritual pemakaman telah siap. Kali ini pemakaman jauh lebih lengkap dan ramai kerabat serta tamu kerajaan yang datang mengingat yang meninggal kali ini adalah sang Putra Mahkota. Semua anggota kerajaan datang dengan pakaian putih dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak menggunakan perhiasan dan tidak boleh menggunakan wewangian selama masa berkabung. Termasuk Danur Seta yang terlihat bermuram durja. Jenazah putra mahkota diletakkan di tandu mewah dengan iring-iringan pelayan istana. Diikuti Raja Danur Seta dengan kuda di belakangnya serta beberapa anggota kerjaan yang harus mengantar kepergian pewaris takhta hingga tempat peristirahatan terakhir. Proses pemakaman berlang
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab