Api terus menjalar masuk sampai ke dalam penjara. Sebelum terperangkap lebih jauh, Azam berlari kencang tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, ia tak hanya sendirian saja, sebab putra-putra Atma Prabangkara juga mulai mencoba menyelamatkan diri. Mereka yang mencium bau darah manusia di tubuh Azam saling menginjak dan mengejar. Lapar, sebab sudah lama tak diberi makan oleh tuannya. Lelaki bermata kebiruan itu menerobos kayu yang dibakar api. Pakaiannya terbakar sedikit dan mengenai kulitnya, ia tahan sebisa mungkin perihnya. Ia tak bisa mengeluh lama-lama sebab anak-anak Atma Prabangkara semakin banyak yang mengejarnya dan Arunika belum juga ia temukan. *** Syarif mengikat leher Nini Sarupa dengan kain panjang yang selalu ia bawa ke manapun. Nenek sihir itu merasa tercekik, ia arahkan kuku-kuku hitam panjangnya untuk menyakiti lawannya. Namun, lelaki yang mahir di medan perang itu melempar kain sisa ke atas dahan pohon. Ia tarik, hingga tubuh Nini Sarupa menggantung di udara. Akan t
Azam dan yang lain bertahan dari serangan yang diberikan oleh Atma dan Aditya. Mereka cukup kewalahan menghadapi dua orang yang begitu kuat dalam bertahan, meski tanpa bantuan satu orang prajurit pun. “Padahal nenek tadi tak sekuat ini.” Syarif ngos-ngosan dibuatnya. Ia seperti menghadapi kekejaman Xi Chian saat pertempuran bersama Mongol. Arunika memperhatikan dari balik patung dengan harap-harap cemas. Ia menoleh ke belakang. Terbelalak mata penari itu. Putra-putra Atma Prabangkara mulai berlarian ke arahnya. Namun, tak sampai, sebab sebagian mulai menjerit karena terkena sengatan sinar matahari yang terus meninggi. Begitu juga dengan lima ekor monyet yang dibawa oleh Nini Sarupa. Semua berteriak tak tentu arah, melompat tak jelas hingga kelimanya berhamburan ke tempat Aditya dan Atma Prabangkara bertahan. “Monyet sialan!” umpat sang prabu. Ia tahu mereka putranya, tapi ia tak ambil pusing. Monyet itu semakin beringas ketika tubuhnya tersengat sinar matahari dan bulu-bulunya terb
SEASON 2SANTET HARTA, TAKHTA, WANITA Story by Aini Dahlia Nusantara zaman dahulu tahun 1310. Samudra Pasai gencar menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah termasuk Kerajaan Hambu AerBagian 1Wanita Berambut PutihKepulan asap hitam meliuk mengikuti gerakan jemari lentik seorang wanita dengan rambut berwarna putih. Asap yang berasal dari kemenyan dan tulang belulang binatang untuk sebuah ritual yang sangat jahat.Mata wanita itu terbuka lebar setelah mantra selesai dirapal. Dua buah bola matanya berbeda warna, sebelah kiri berwarna merah terang melambangkan dendam membara yang mengisi hatinya. Sebelah kanan berwarna hitam pekat. Sehitam jiwanya yang telah diserahkan sepenuhnya kepada iblis. “Wahai penghuni gelap di sudut jiwa! Laksanakanlah tugas kalian. Genggam jiwa tidak berdosa itu kepadaku, buatlah ia terombang ambing dan tersiksa sampai dunia ini hancur!” teriaknya sambil menyembah patung ular besar di hadapannya.Tak lama setelahnya kepulan asap hitam itu menembus atap
SANTET HARTA, TAKHTA, WANITA Burung hantu peliharaan Gandari telah kembali dari tempat yang dituju. Melalui matanya Gandari bisa melihat sendiri di mana jenazah yang telah terbujur kaku itu akan diistirahatkan. Satu langkah menuju kesempurnaan ritual jahatnya. Sementara di alun-alun kerajaan, semua kelengkapan ritual pemakaman telah siap. Kali ini pemakaman jauh lebih lengkap dan ramai kerabat serta tamu kerajaan yang datang mengingat yang meninggal kali ini adalah sang Putra Mahkota. Semua anggota kerajaan datang dengan pakaian putih dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak menggunakan perhiasan dan tidak boleh menggunakan wewangian selama masa berkabung. Termasuk Danur Seta yang terlihat bermuram durja. Jenazah putra mahkota diletakkan di tandu mewah dengan iring-iringan pelayan istana. Diikuti Raja Danur Seta dengan kuda di belakangnya serta beberapa anggota kerjaan yang harus mengantar kepergian pewaris takhta hingga tempat peristirahatan terakhir. Proses pemakaman berlang
“Seingatku, dulu hutan lembah hitam tidak semengerikan ini. Masih ada tumbuhan beraneka warna sepanjang jalan bahkan banyak kupu-kupu dan burung kecil yang beterbangan. Sekarang semuanya gelap, serasa mati bahkan lebih menyeramkan dari kuburan,” ujar Satrio pada dirinya sendiri. Abdi setia Danur Seta terus berjalan mengikuti jalan setapak. Sepanjang perjalanan ia merasa seisi hutan memandang dan ingin menelan dirinya bulat-bulat. Beruntung ia adalah kesatria terbaik kerajaan, memiliki ilmu tenaga dalam dan kanuragan di atas rata-rata. Hingga Satrio bisa merasakan ketika bahaya datang mengintai. “Sepertinya penghuni hutan ini sedang bersiap untuk menyambutku. Padahal aku berniat baik datang kemari.” Lelaki itu mencabut pedangnya yang tersampir di pinggang sebelah kirinya. “Hai, kau penghuni hutan! Keluarlah, kita selesaikan semuanya baik-baik. Aku adalah utusan kerajaan, hutan ini masih berada dalam wilayahnya. Kau pun seharusnya tunduk pada rajaku.” Mendengar ucapan pongahnya, see
“Hei, lihat! Sepertinya ada yang tersangkut di dekat batu,” ujar seorang lelaki ketika baru saja selesai memberi minum kudanya. Lelaki yang baru saja usai mengusap wajahnya dan duduk seperti bersimpuh itu lantas melipat alas tempatnya duduk dan bergegas membantu temannya membawa tubuh lemah yang memeluk bebatuan hitam. “Agam, kenapa betisnya berwarna hitam? Seperti hangus terbakar, tapi bukan.” Tubuh itu telah dibawa ke daratan dan diberi selimut. “Aku tidak tahu, kita juga baru sampai di wilayah ini, yang kudengar kerajaan ini memiliki hutan yang dipercaya penduduk sangat menyeramkan, dan aliran sungai ini salah satu terusannya.” “Lalu kita harus bagaimana? Tubuhnya sangat dingin, napasnya lemah, hari juga sebentar lagi maghrib.”Lelaki yang dipanggil Syarif tampak berpikir sejenak. “Sepertinya kita harus memacu kuda lebih kencang larinya. Tak usah lagi bermalam di sini. Tuan ini membutuhkan pertolongan tabib.”“Aku ikut saja. Kau yang ditunjuk pemimpin oleh Sultan Al Fatih.” S
“Menjijikkan,” ujar Gandari. Wanita itu tengah memainkan ilusi pada Wisesa. Ia tak pernah menyadari bahwa yang berada dalam dekapannya kini hanyalah seekor ular yang menggelitik di setiap inci kulitnya. Gandari tak pernah rela tubuhnya disentuh siapa pun. “Tinggal satu langkah lagi, aku masuk ke istana lalu menikam jantung Danur Seta, maka dendamku terbalaskan sudah.” Wanita itu kemudian menghentikan gerakan tangannya ketika Wisesa telah selesai berpetualang pada ilusi akan dirinya. Lelaki itu tertidur sementara Gandari tetap duduk di sebelah ranjang terjaga hingga fajar menyingsing. Sudah biasa bagi dirinya tidak tidur berhari-hari ketika melancarkan sihir jahat. Wisesa keluar dari kamar mencari sosok wanita yang ia anggap menemaninya semalam suntuk. Lelaki itu berjalan sembari memegang tengkuknya, masih mencari sisa-sisa sentuhan yang sebenarnya diberikan oleh ular sihir Gandari. Hidungnya menangkap bau sedap, seketika ia berjalan menuju asal aroma itu. Penyihir itu menyiapkan
Gandari mengalihkan pandangannya dari Syarif, hatinya sedikit menghangat ketika melihat lelaki itu tidak menatapnya terlalu dalam. Tidak seperti Satrio yang menatapnya setajam pisau seolah-olah ingin menikamnya saat itu juga. “Lama tidak jumpa, Wisesa.” Satrio berjalan ke arahnya tanpa melepaskan tatapan pada Gandari. “Iya, Tuan. Aku kemari karena mendengar Tuan Prabu mencari pengasuh baru untuk Asmarandana.” “Oh. Jadi anak Tuan Prabu sudah dikeluarkan dari persembunyiannya, kenapa nekat sekali? Lalu dia siapamu?” tanya Satrio semberi menunjuk wajah Gandari. “Eh, dia ... dia ... dia masih saudara jauhku. Katanya ingin mengabdi pada istana, karena itu aku membawanya kemari.” “Cantik, tapi sayang wajahnya kejam.”Satrio memandang ke wajah Gandari, ia sedikit terkejut dengan dua bola matanya yang berbeda warna, seketika abdi setia Danur Seta itu mengingat ular yang menyerang dirinya juga memiliki dua bola mata yang berbeda dan warnanya sama dengan bola mata Gandari. ***“Kau sudah
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab