“Hei, lihat! Sepertinya ada yang tersangkut di dekat batu,” ujar seorang lelaki ketika baru saja selesai memberi minum kudanya. Lelaki yang baru saja usai mengusap wajahnya dan duduk seperti bersimpuh itu lantas melipat alas tempatnya duduk dan bergegas membantu temannya membawa tubuh lemah yang memeluk bebatuan hitam. “Agam, kenapa betisnya berwarna hitam? Seperti hangus terbakar, tapi bukan.” Tubuh itu telah dibawa ke daratan dan diberi selimut. “Aku tidak tahu, kita juga baru sampai di wilayah ini, yang kudengar kerajaan ini memiliki hutan yang dipercaya penduduk sangat menyeramkan, dan aliran sungai ini salah satu terusannya.” “Lalu kita harus bagaimana? Tubuhnya sangat dingin, napasnya lemah, hari juga sebentar lagi maghrib.”Lelaki yang dipanggil Syarif tampak berpikir sejenak. “Sepertinya kita harus memacu kuda lebih kencang larinya. Tak usah lagi bermalam di sini. Tuan ini membutuhkan pertolongan tabib.”“Aku ikut saja. Kau yang ditunjuk pemimpin oleh Sultan Al Fatih.” S
“Menjijikkan,” ujar Gandari. Wanita itu tengah memainkan ilusi pada Wisesa. Ia tak pernah menyadari bahwa yang berada dalam dekapannya kini hanyalah seekor ular yang menggelitik di setiap inci kulitnya. Gandari tak pernah rela tubuhnya disentuh siapa pun. “Tinggal satu langkah lagi, aku masuk ke istana lalu menikam jantung Danur Seta, maka dendamku terbalaskan sudah.” Wanita itu kemudian menghentikan gerakan tangannya ketika Wisesa telah selesai berpetualang pada ilusi akan dirinya. Lelaki itu tertidur sementara Gandari tetap duduk di sebelah ranjang terjaga hingga fajar menyingsing. Sudah biasa bagi dirinya tidak tidur berhari-hari ketika melancarkan sihir jahat. Wisesa keluar dari kamar mencari sosok wanita yang ia anggap menemaninya semalam suntuk. Lelaki itu berjalan sembari memegang tengkuknya, masih mencari sisa-sisa sentuhan yang sebenarnya diberikan oleh ular sihir Gandari. Hidungnya menangkap bau sedap, seketika ia berjalan menuju asal aroma itu. Penyihir itu menyiapkan
Gandari mengalihkan pandangannya dari Syarif, hatinya sedikit menghangat ketika melihat lelaki itu tidak menatapnya terlalu dalam. Tidak seperti Satrio yang menatapnya setajam pisau seolah-olah ingin menikamnya saat itu juga. “Lama tidak jumpa, Wisesa.” Satrio berjalan ke arahnya tanpa melepaskan tatapan pada Gandari. “Iya, Tuan. Aku kemari karena mendengar Tuan Prabu mencari pengasuh baru untuk Asmarandana.” “Oh. Jadi anak Tuan Prabu sudah dikeluarkan dari persembunyiannya, kenapa nekat sekali? Lalu dia siapamu?” tanya Satrio semberi menunjuk wajah Gandari. “Eh, dia ... dia ... dia masih saudara jauhku. Katanya ingin mengabdi pada istana, karena itu aku membawanya kemari.” “Cantik, tapi sayang wajahnya kejam.”Satrio memandang ke wajah Gandari, ia sedikit terkejut dengan dua bola matanya yang berbeda warna, seketika abdi setia Danur Seta itu mengingat ular yang menyerang dirinya juga memiliki dua bola mata yang berbeda dan warnanya sama dengan bola mata Gandari. ***“Kau sudah
“Iya, kau! Aku sedang berbicara denganmu. Ganti bajumu dengan ini, jangan bilang kau datang ke sini untuk menggoda Tuan Prabu, bajumu terlalu cerah untuk seorang pelayan.” Seorang wanita dengan mulut tajam melempar pakaian berwarna cokelat gelap pada Gandari. Enggan berdebat dengan yang lemah, wanita itu lebih memilih memungut pakaian di kakinya dan berganti baju secepat mungkin. “Ini untuk apa kau pakai?” Wanita angkuh itu menunjuk pelipis Gandari dengan telunjuknya berulang-ulang. Seisi ruangan hanya diam tak ada yang berani membelanya. Penyihir itu masih malas berdebat, ia pun memilih berlalu dari ruangan yang diisi oleh khusus pelayan wanita. Gandari sama sekali tidak memperhitungkan hal-hal kecil seperti ini. Dalam bayangannya ia hanya perlu masuk ke istana, bertemu Danur Seta lalu membunuhnya kemudian semua selesai. Namun, ternyata banyak perkara remeh yang menjadi sandungannya. Wanita angkuh yang mengajaknya bicara dari tadi merasa marah karena diabaikan, ia lalu mencoba m
“Akhirnya aku ingat, namamu Nirmala,” gumam Danur Seta. “Nirmala, gadis cantik dengan kekuatan misterius. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dulu, aku akan mencarimu lagi.” Pintu kamar utama Danur Seta diketuk, Satrio memohon izin untuk masuk. “Ada apa sampai kau harus bertemu larut malam begini?” tanya sang Prabu. “Abdimu ingin meminta izin, Tuan Prabu. Kembali ke hutan lembah hitam, ada sesuatu yang harus abdimu usut kembali. Ini juga berkaitan dengan keselamatan istana kita?” “Perjelas lagi maksudmu?” “Penyihir yang kuceritakan dan hampir merenggut nyawaku sepertinya ada di sini?” “Bagaimana kau tahu?” “Abdimu menemukan jejaknya, juga mencurigai seseorang?” “Siapa?” “Gandari. Dia terlihat mencurigakan dan kepalanya juga selalu ditutup.” Danur Seta terdiam, ada rasa tidak terima tuduhan itu dilayangkan pada wanita yang diam-diam membuat dirinya ingat kembali lebih mendalam pada Nirmala. “Jika tidak ada bukti yang kuat, jangan kau menuduh sembarangan. Istan
Danur Seta memandang surat yang dikirim dari kerajaan Malwajaya padanya. Di surat itu tertulis bahwa sang Maharaja telah setuju untuk memeluk keyakinan baru yang dibawa oleh rekan Syarif di sana. Bahkan Maharaja Adiputera telah meminta utusan tambahan pada kerajaan Samudera Pasai agar mengajarkan mereka lebih dalam dan luas tentang islam. Tak segan juga sang raja mengirim surat dan tanda persahabatan pada Dinasti Abbasiyah sebagai tanda persaudaraan sesama muslim, mengingat hubungan yang terjalin antara Samudera Pasai dan Dinasti Abbasiyah. Lama Danur Seta termenung dengan surat kiriman sahabatnya dahulu dalam menuntut ilmu. Ia tak menyangka sahabat yang terkenal tegas dan keras dengan pendiriaannya akhirnya luluh juga mengikuti keyakinan baru itu. Hal itu semakin membuat gundah hati Danur Seta. Di saat tekanan Mongol pada kerajaannya bertambah, di saat itu juga sekutu yang ia harapkan telah berpaling. Sementara ajaran yang dibawa oleh Syarif itu hanya ia dengarkan dan anggap angin l
Usai memandikan dan membersihkan tubuh Pangeran, Gandari berusaha menyuapkan makanan pada putra bungsu Danur Seta. Asmarandana yang masih merajuk karena perubahan air muka bibi yang merawatnya tadi menjadi kejam sepulang dari berjalan di luar keraton. Penyihir itu menarik napas dalam sembari berusaha tenang untuk mengatur gejolak emosi di batinnya. Ia yang menikmati pembataian di tengah keramaian tadi seolah memberi minum pada ular-ular yang kehausan akan dendam dirinya. “Bibi janji lain kali tidak akan memasang wajah kejam lagi pada Pangeran. Tadi bibi hanya ketakutan.” Yang dibujuk masih memajukan bibirnya beberapa senti. “Lalu bibi harus bagaimana supaya pangeran tidak marah lagi?” Penuh kasih sayang wanita itu membelai kepala Asmarandana. “Apa mau dimasakkan sesuatu yang manis?” Asmarandana masih menggeleng. “Atau pangeran mau apa?” “Bibi temani aku tidur. Jangan tidur di kamar sebelah lagi. Setiap malam aku ketakutan tidur sendiri, ya.” Gandari menanggapi permintaan Asmar
“Salam hormat dari kami, Tuan Prabu. Kami utusan dari Mongol, di bawah perintah Temur Oljeythu cucu dari Kublai Khan,” ujar seorang lelaki dengan kepala ditutup topi dari kulit harimau. “Selamat datang, Tuan-tuan sekalian, aku sama sekali tidak menduga utusan dari Mongol akan datang secepat ini disaat aku masih berkabung,” jawab Danur Seta dari singgasana emasnya. “Kami paham dengan keadaan Tuan Prabu, tapi berkabung terlalu lama juga tidak baik, bukan? Kerajaan tuan tetaplah butuh seorang penerus.” “Maafkan kelancanganku, Tuan, tapi Tuan Prabu Danur Seta memiliki pertimbangan sendiri hingga harus berkabung dalam waktu yang lama. Sebagai maha patih, aku mewakilinya di sini,” sahut Aji Sata. “Begitu. Justru kedatangan kami secara resmi untuk menghilangkan kesedihan di hati, serta beberapa buah tangan dari Kaisar Temur untuk Tuan Prabu.” “Apa yang Tuan Yesun bawa sebagai hadiah? Tentu kami merasa berterima kasih atas kebaikan hati Kaisar Temur.” Lelaki dengan perawakan tinggi bes