“Percuma saja kau tutupi rambutmu. Kau tahu, ular-ular itu sudah haus darah,” bisik Xi Mha di telinga Gandari.“Percuma juga kau tutupi tubuhmu dengan sutera mewah dan emas permata. Aku tahu wajah aselimu. Kau tak kuat menahan serangan sihirmu sendiri. Penyihir lemah,” balas Gandari. Tangan wanita itu melayang di udara, sedikit lagi mendarat di pipi Gandari. Namun, terlebih dahulu dicegah oleh Danur Seta yang sedari tadi menyaksikan perdebatan mereka berdua. “Maafkan kelancangan pelayanku, Putri. Sekarang lebih baik kau kembali ke kamarmu, aku ingin bersama puteraku.” “Mengapa Tuan Prabu harus merendahkan diri demi pelayan laknat seperti dia. Di tempat kami budak-budak seperti dia hanya jadi alas kaki kami para bangsawan.” “Itulah bedanya kita, Putri. Aku tak pernah memperlakukan mereka sebagai budak.” “Pembual,” gumam Gandari dalam hati. “Baik. Aku terima kebesaran hatimu Tuan Prabu. Dan aku juga meningatkan kembali, Kaisar Themur bukan orang yang suka jika keinginannya ditunda
Gandari memegang kepalanya dengan telapak tangan disimbahi darah. Pecahan kaca kecil menusuk dagingnya. Rasa sakit bukan main nyaris membuatnya berteriak, jika tidak ingin ketahuan sebagai penyihir dengan semua perlengkapan ritual masih di atas meja. Ia meringkuk di lantai, lututnya menekan perut mencoba menahan benda tajam yang seakan-akan menyayat lambungnya. Air mata menetes disusul dengan geraman tertahan. Sesakit ini ternyata terkena ilmu hitam, lalu bagaimana dengan nyawa tak berdosa yang ia cabut paksa? Apakah ini salah satu balasan atas kekejamannya dulu? Wanita itu mencoba merapal mantera yang ia ingat untuk meredam sihir yang berbalik menyerangnya. Perlahan-lahan rasa sakit itu mereda. Namun, dirinya terluka dalam, darah segar mengalir dari hidungnya. Dadanya serasa sesak bagai dihantam besi keras. Bahkan ular yang berada di kepalanya serasa ingin lepas dan kembali pada pemiliknya. Panas melebihi api juga merambat perlahan dari kaki Gandari. Menjelang fajar rasa sakit itu
Tubuh seorang pelayan wanita ditemukan terbujur kaku di keraton milik Danur Seta. Wajah pucat, mulut menganga dan mata terbuka. Ada dua lubang kecil di leher, darah yang telah kering menjadi saksi bisu. Kehidupan wanita itu telah direnggut dalam waktu singkat. Perbuatan siapa? Semuanya bertanya-tanya. “Tak mungkin binatang buas, bukan?” tanya Danur Seta yang mendengar berita itu langsung dari Satrio. “Sepertinya bukan, Tuan Prabu.” “Apa mungkin?” Danur Seta menarik napas panjang. “Dugaan abdimu, seorang penyihir kembali membuat ulah.” “Cari tahu. Bunuh saja jika memang sudah terbukti.” Perintahnya tegas. “Baik, Tuan Prabu.” “Gandari, apa mungkin itu kau? Jika ia dengan senang hati aku menebas lehermu,” ujarnya perlahan. ***“Xi Mha. Kau bermain-main ketika aku sedang lemah. Cerdik. Apa kau benar-benar menantangku?” Gandari mengelus rambut hitamnya yang tak kunjung kembali memutih. Selama beberapa hari ini ia memperhatikan apa yang Syarif sampaikan, walaupun ia telah berkali-ka
Seiring dengan musnahnya semua ilmu sihir di tubuh Gandari, maka padam pula lima lilin darah di kediamannya. Jauh di hutan lembah hitam, tempat iblis paling kejam bersemayam, istananya juga berguncang keras. Setelah Gandari rutin mendengarkan lantunan ayat suci Qur’an perlahan-lahan singgasana emas Nyai Ratu mulai goyah. Kini salah satu murid kesayangannya telah kalah, tak ada lagi persembahan darah bangsawan untuknya nanti. Wanita dengan wujud ular itu resah dan murka. Padamnya lilin darah juga mengakibatkan hawa kematian pekat di keraton permaisuri dan selir Danur Seta menghilang. Begitu juga dengan was-was dan rasa takut berlebihan sang raja mulai memudar. Burung hantu peliharaan Gandari yang hidup dengan jiwa iblis, tewas terbujur kaku. Sementara Gandari menangisi dirinya sendiri di dalam kamar. Ia tak mampu lagi melepaskan sukmanya ke mana saja sesuka hatinya, tak mampu lagi menembus dimensi cermin untuk berpindah tempat. Wanita itu merasa dirinya lemah tanpa sihir dalam diriny
Gandari dan Asmarandana menikmati santapan yang dikirim oleh Danur Seta bersama-sama. Wanita itu kini tak ada pantangan makan lagi. Ia dengan bebas memilih makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Walau tetap saja tubuh mungilnya tak bisa menampung banyak makanan sekaligus. Pun ia tak terlalu berselera lantaran gundah di hati memikirikan pujaan hati yang telah hampir seminggu tidak terlihat. Semenjak sihirnya hilang ia merasa bagai wanita biasa. Dulu dengan mudah ia pergi ke manapun saja. Dengan mudah menghilangkan nyawa orang yang ia benci. Sekarang ketika nyamuk menggigit kulitnya saja ia sudah merasa gatal. Belum lagi seharian harus menemani Pangeran bermain ke sana ke mari membuatnya lelah luar biasa saat malam. Seperti saat hari telah sore ia melewati istana tempat para istri Danur Seta dulu tinggal. Wanita itu heran melihat persiapan yang tengah berlangsung. Istana itu dicat, disapu, dibersihkan, ditanami kembali bunga-bunga yang indah. Sutera warna-warna cerah digantung kembali.
“Tuhan, Dewa atau apa saja yang menguasai dunia ini. Apa kalian sungguh tak ada? Mengapa jalan hidupku harus seperti ini.” Terisak wanita itu menangisi nasibnya yang malang. Air matanya terus berjatuhan. Baju-baju dan perhiasan indah itu sama sekali tak menyenangkan hatinya. Ia justru ingin berlari jauh saja, kembali ke dalam hutan, atau mati saja lebih baik. Tak sudi harus disentuh Danur Seta untuk yang kedua kalinya. “Bibi, jangan menangis.” Asmarandana menghapus air mata Gandari. ‘Andai saja kau anakku aku pasti sangat bahagia memilikimu. Tapi sayangnya kau anak orang yang paling kubenci di dunia ini. Tapi kau juga tidak berdosa sama sekali.’ Gandari membelai rambut halus sang pangeran. “Kita tidur saja, Sayang. Bibi akan tetap ada di sisimu.” Usai menidurkan Asmarandana, wanita itu tak kunjung terlelap. Ia melangkah melihat hantaran yang diberikan untuknya. Sutra berwarna kuning terang. Hiasan rambut, anting emas, bahkan kalung yang sangat indah. Dengan hati yang tak keruan i
Pagi ini Gandari mengunjungi Asmarandana di kamarnya. Ia menerobos masuk walau telah dilarang oleh pelayan. Wanita itu enggan menjalani pingitan. Ia merasa rindunya telah terlalu dalam pada sang Pangeran. Juga mungkin ini terakhir kalinya mereka bersama, nanti malam Gandari akan menjalankan ritual terakhir untuk mengambil nyawa bocah yang tidak berdosa sama sekali.Sepanjang hari anak bungsu Danur Seta terus saja menempel dengan Gandari. Sekalipun merasa lelah harus menemaninya ke sana ke mari Gandari tak mempermasalahkannya. Rindu, kata Asmarandana selama dua hari tak berjumpa dengannya. Mata penyihir itu berembun, hatinya bimbang dengan situasi rumit yang dihadapinya. Penyihir itu kembali menutup rapat kepalanya dengan kain, rambutnya telah kembali memutih. Sore ini ia kembali menemani Pangeran belajar menulis dengan Syarif. Tak ada yang tahu apa yang mereka rasakan. Gandari kecewa karna lelaki itu tak mau menolongnya, ia membuang muka ke arah lain dan lebih memilih duduk jauh dari
Gandari membuka matanya. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit, perutnya terasa sangat perih. Bahkan ketika berusaha bangkit kakinya serasa ditusuk benda tajam. Pelayan masuk ke dalam kamarnya ketika mendengar Gandari mengaduh. Tak lama kemudian Danur Seta datang dan duduk di sisi wanita yang tak sadarkan diri selama satu pekan. “Mana Asmarandana, anakku?” Gandari menepis tangan Danur Seta yang ingin menyentuh kepalanya. “Tenanglah dulu, putraku baik-baik saja, ia sedang bermain di luar. Asmarandana juga sering menjengukmu, ia menunggumu sadar.” Gandari membuang wajahnya. Malas memandang wajah lelaki yang begitu dibenci. “Ceritakan padaku apa yang terjadi. Mengapa kau sampai terbaring di lantai penuh darah. Para tabib tak ada yang paham dengan penyakitmu. Bahkan hari pernikahan kita harus ditunda sampai kau sehat.” “Danur Seta!” teriak Gandari. Lelaki itu terkejut dengan reaksi calon istrinya. Tak pernah ada yang berteriak padanya selama menjadi Raja. “Kau kenapa? Jika masih s