Gandari dan Asmarandana menikmati santapan yang dikirim oleh Danur Seta bersama-sama. Wanita itu kini tak ada pantangan makan lagi. Ia dengan bebas memilih makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Walau tetap saja tubuh mungilnya tak bisa menampung banyak makanan sekaligus. Pun ia tak terlalu berselera lantaran gundah di hati memikirikan pujaan hati yang telah hampir seminggu tidak terlihat. Semenjak sihirnya hilang ia merasa bagai wanita biasa. Dulu dengan mudah ia pergi ke manapun saja. Dengan mudah menghilangkan nyawa orang yang ia benci. Sekarang ketika nyamuk menggigit kulitnya saja ia sudah merasa gatal. Belum lagi seharian harus menemani Pangeran bermain ke sana ke mari membuatnya lelah luar biasa saat malam. Seperti saat hari telah sore ia melewati istana tempat para istri Danur Seta dulu tinggal. Wanita itu heran melihat persiapan yang tengah berlangsung. Istana itu dicat, disapu, dibersihkan, ditanami kembali bunga-bunga yang indah. Sutera warna-warna cerah digantung kembali.
“Tuhan, Dewa atau apa saja yang menguasai dunia ini. Apa kalian sungguh tak ada? Mengapa jalan hidupku harus seperti ini.” Terisak wanita itu menangisi nasibnya yang malang. Air matanya terus berjatuhan. Baju-baju dan perhiasan indah itu sama sekali tak menyenangkan hatinya. Ia justru ingin berlari jauh saja, kembali ke dalam hutan, atau mati saja lebih baik. Tak sudi harus disentuh Danur Seta untuk yang kedua kalinya. “Bibi, jangan menangis.” Asmarandana menghapus air mata Gandari. ‘Andai saja kau anakku aku pasti sangat bahagia memilikimu. Tapi sayangnya kau anak orang yang paling kubenci di dunia ini. Tapi kau juga tidak berdosa sama sekali.’ Gandari membelai rambut halus sang pangeran. “Kita tidur saja, Sayang. Bibi akan tetap ada di sisimu.” Usai menidurkan Asmarandana, wanita itu tak kunjung terlelap. Ia melangkah melihat hantaran yang diberikan untuknya. Sutra berwarna kuning terang. Hiasan rambut, anting emas, bahkan kalung yang sangat indah. Dengan hati yang tak keruan i
Pagi ini Gandari mengunjungi Asmarandana di kamarnya. Ia menerobos masuk walau telah dilarang oleh pelayan. Wanita itu enggan menjalani pingitan. Ia merasa rindunya telah terlalu dalam pada sang Pangeran. Juga mungkin ini terakhir kalinya mereka bersama, nanti malam Gandari akan menjalankan ritual terakhir untuk mengambil nyawa bocah yang tidak berdosa sama sekali.Sepanjang hari anak bungsu Danur Seta terus saja menempel dengan Gandari. Sekalipun merasa lelah harus menemaninya ke sana ke mari Gandari tak mempermasalahkannya. Rindu, kata Asmarandana selama dua hari tak berjumpa dengannya. Mata penyihir itu berembun, hatinya bimbang dengan situasi rumit yang dihadapinya. Penyihir itu kembali menutup rapat kepalanya dengan kain, rambutnya telah kembali memutih. Sore ini ia kembali menemani Pangeran belajar menulis dengan Syarif. Tak ada yang tahu apa yang mereka rasakan. Gandari kecewa karna lelaki itu tak mau menolongnya, ia membuang muka ke arah lain dan lebih memilih duduk jauh dari
Gandari membuka matanya. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit, perutnya terasa sangat perih. Bahkan ketika berusaha bangkit kakinya serasa ditusuk benda tajam. Pelayan masuk ke dalam kamarnya ketika mendengar Gandari mengaduh. Tak lama kemudian Danur Seta datang dan duduk di sisi wanita yang tak sadarkan diri selama satu pekan. “Mana Asmarandana, anakku?” Gandari menepis tangan Danur Seta yang ingin menyentuh kepalanya. “Tenanglah dulu, putraku baik-baik saja, ia sedang bermain di luar. Asmarandana juga sering menjengukmu, ia menunggumu sadar.” Gandari membuang wajahnya. Malas memandang wajah lelaki yang begitu dibenci. “Ceritakan padaku apa yang terjadi. Mengapa kau sampai terbaring di lantai penuh darah. Para tabib tak ada yang paham dengan penyakitmu. Bahkan hari pernikahan kita harus ditunda sampai kau sehat.” “Danur Seta!” teriak Gandari. Lelaki itu terkejut dengan reaksi calon istrinya. Tak pernah ada yang berteriak padanya selama menjadi Raja. “Kau kenapa? Jika masih s
“Terima kasih karena telah menolongku. Kalau boleh tahu kau siapa? Aku Danur Seta Putra Mahkota, sebentar lagi dinobatkan menjadi raja.” Lelaki itu duduk dan memakan hidangan yang disediakan Nirmala. Ia juga berusaha mengulurkan minuman pada gadis yang menarik napasnya yang serasa berat. Namun, ditepis oleh Nirmala. “Aku Nirmala, penjaga hutan ini. Aku tak tertarik tahu tentang siapa kau dan juga jadi apa kau nanti. Pergilah, tepati janjimu tadi. Jangan ceritakan semua yang terjadi pada satu orang pun,” jawab Nirmala dengan napas terengah. “Aku akan pergi setelah kau sehat. Atau paling tidak aku antar ke rumahmu. Anggap sebagai balas budi.” “Tak perlu. Pergilah!” bantah Nirmala. Sebagai seorang Putra Mahkota yang perkataannya tak pernah dibantah oleh bawahannya, lelaki itu merasa tersinggung dengan penolakan gadis cantik yang memikat hatinya, walau sudah menikah dan punya anak, tak ada larangan bagi seorang calon raja sepertinya untuk memiliki wanita yang ia sukai. Namun, rasa su
“Tuan Prabu, apa tidak sebaiknya kita kembali saja ke rumah Adipati Wisesa. Nampaknya bulan sedang berwarna merah darah. Firasatku tidak enak, aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Tuan,” ujar Satrio dari atas kuda. “Ini sudah tanggung, sebentar lagi kita sampai. Aku harus menemui wanita itu.” Berkali-kali Danur Seta mencoba mengingat namanya tapi tak bisa. “Biar aku saja yang masuk ke sana. Sebaiknya Tuan Prabu kembali saja.” Belum sempat Danur Seta menjawab, matanya tertuju pada keranjang kayu yang hanyut di aliran sungai hutan lembah hitam. Benda itu tersangkut pada sebuah ranting. Samar-samar terdengar tangis bayi. “Coba kau lihat, jika aku tak salah dengar—“ Satrio bergerak cepat walau tuannya belum menuntaskan ucapan. Ia menceburkan diri ke dalam sungai, berenang ke tempat di mana keranjang bayi itu tersangkut. Dengan tenaga dalammnya Satrio menggunakan daya dorong air membawa bayi itu ke tepi sungai. “Tuan Prabu, ini benar-benar bayi.” Danur seta membuka tumpukan daun kerin
Syarif duduk bersila, ia berdoa sejenak usai menyelesaikan solat subuh. Hampir semalam suntuk lelaki muslim itu berkuda. Dua tangannya terangkat, memohon pada Rabnya agar menunjukkan jalan yang benar, serta jika mungkin memberi hidayah dan keselamatan pada wanita yang membawa separuh hatinya. Syarif merasa masa lalu Gandari dan dirinya juga tak jauh berbeda. Ia dahulu hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua dan kakak perempuannya. Lalu perampok datang mengambil semua harta benda, membunuh ayah yang mencoba melindungi dirinya dan menodai ibu serta kakak perempuannya. Ibunya yang terluka parah juga tewas saat itu juga, sementara kakaknya yang sebentar lagi akan menikah tak tahan dengan jejak-jejak durjana di tubuhnya lebih memilih bunuh diri. Lelaki yang baru berusia sepuluh tahun saat itu hidup terlunta-lunta di jalan. Hingga rombongan kerajaan Kesultanan Samudera Pasai menemukan dirinya yang tertidur di pinggir jalan dalam keadaan kelaparan. Ia dibawa dan dititipkan oleh Tuan
“Sejak kapan aku takut denganmu? Kau tahu bahkan aku nekat mengirim guna-guna agar kau takluk, tapi malah berbalik menyerangku.” Sejenak Syarif berpikir, ia pernah begitu kesakitan dan seakan dipaksa untuk berfantasi liar dengan Gandari. Kini ia tahu wanita inilah yang mengirimnya. “Untuk apa nyai mengirim guna-guna?” “Ehm.” Gandari mundur, ia sadar sudah terlalu jauh melangkah mendekati Syarif, “kau pikirlah sajalah sendiri.” Syarif menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Bingung, baru kali ini berhadapan dengan perempuan. Terlalu banyak misteri diantara jawaban yang diberikan. “Tawaranku tadi bagaimana, Nyai. Kita kembali ke istana?” “Tidak! Aku tetap di sini, lebih baik aku mati daripada menjadi istri dari pria yang merenggut kesucianku bertahun-tahun lalu.” “Maksudku. Lebih baik nyai keluar dulu dari hutan ini. Cari tempat lain untuk tinggal. Tak harus ke istana apalagi menikah dengan Tuan Prabu jika memang kau tak ada hati dengannya.” Dingin angin malam berembus di