“Tuan Prabu, apa tidak sebaiknya kita kembali saja ke rumah Adipati Wisesa. Nampaknya bulan sedang berwarna merah darah. Firasatku tidak enak, aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Tuan,” ujar Satrio dari atas kuda. “Ini sudah tanggung, sebentar lagi kita sampai. Aku harus menemui wanita itu.” Berkali-kali Danur Seta mencoba mengingat namanya tapi tak bisa. “Biar aku saja yang masuk ke sana. Sebaiknya Tuan Prabu kembali saja.” Belum sempat Danur Seta menjawab, matanya tertuju pada keranjang kayu yang hanyut di aliran sungai hutan lembah hitam. Benda itu tersangkut pada sebuah ranting. Samar-samar terdengar tangis bayi. “Coba kau lihat, jika aku tak salah dengar—“ Satrio bergerak cepat walau tuannya belum menuntaskan ucapan. Ia menceburkan diri ke dalam sungai, berenang ke tempat di mana keranjang bayi itu tersangkut. Dengan tenaga dalammnya Satrio menggunakan daya dorong air membawa bayi itu ke tepi sungai. “Tuan Prabu, ini benar-benar bayi.” Danur seta membuka tumpukan daun kerin
Syarif duduk bersila, ia berdoa sejenak usai menyelesaikan solat subuh. Hampir semalam suntuk lelaki muslim itu berkuda. Dua tangannya terangkat, memohon pada Rabnya agar menunjukkan jalan yang benar, serta jika mungkin memberi hidayah dan keselamatan pada wanita yang membawa separuh hatinya. Syarif merasa masa lalu Gandari dan dirinya juga tak jauh berbeda. Ia dahulu hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua dan kakak perempuannya. Lalu perampok datang mengambil semua harta benda, membunuh ayah yang mencoba melindungi dirinya dan menodai ibu serta kakak perempuannya. Ibunya yang terluka parah juga tewas saat itu juga, sementara kakaknya yang sebentar lagi akan menikah tak tahan dengan jejak-jejak durjana di tubuhnya lebih memilih bunuh diri. Lelaki yang baru berusia sepuluh tahun saat itu hidup terlunta-lunta di jalan. Hingga rombongan kerajaan Kesultanan Samudera Pasai menemukan dirinya yang tertidur di pinggir jalan dalam keadaan kelaparan. Ia dibawa dan dititipkan oleh Tuan
“Sejak kapan aku takut denganmu? Kau tahu bahkan aku nekat mengirim guna-guna agar kau takluk, tapi malah berbalik menyerangku.” Sejenak Syarif berpikir, ia pernah begitu kesakitan dan seakan dipaksa untuk berfantasi liar dengan Gandari. Kini ia tahu wanita inilah yang mengirimnya. “Untuk apa nyai mengirim guna-guna?” “Ehm.” Gandari mundur, ia sadar sudah terlalu jauh melangkah mendekati Syarif, “kau pikirlah sajalah sendiri.” Syarif menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Bingung, baru kali ini berhadapan dengan perempuan. Terlalu banyak misteri diantara jawaban yang diberikan. “Tawaranku tadi bagaimana, Nyai. Kita kembali ke istana?” “Tidak! Aku tetap di sini, lebih baik aku mati daripada menjadi istri dari pria yang merenggut kesucianku bertahun-tahun lalu.” “Maksudku. Lebih baik nyai keluar dulu dari hutan ini. Cari tempat lain untuk tinggal. Tak harus ke istana apalagi menikah dengan Tuan Prabu jika memang kau tak ada hati dengannya.” Dingin angin malam berembus di
Gandari dibawa oleh Syarif ke dalam istana. Ia ingin berontak, kecewa dan sedih merasa lelaki itu mempermainkan perasaan dan mengingkari janjinya. Kini ia tinggal di kediamannya dulu saat akan menjadi istri Danur Seta. Gandari diperlakukan bak ratu olehnya. Meski wanita itu tak pernah meminta apapun. Namun, tetap saja sang Raja yang ingin menebus kesalahannya bertahun-tahun silam senantiasa mengirim sutra, perhiasan dan berbagai barang yang disukai oleh wanita. Ia berharap Gandari membuka sedikit hati untuknya. Memafkan semuanya dan menerimanya sebagai seorang suami. “Aku tahu kau membenciku. Tapi setidaknya kau pikirkanlah bagaimana Asmarandana, dia sudah sedekat itu denganmu. Apa kau sampai hati meninggalkannya lagi?” Danur Seta selalu menggunakan alasan Asmarandana agar Gandari luluh, meski benar ia putranya tapi tetap saja wanita itu tak mau menjadi istrinya. “Apa tak bisa kita bersama merawatnya tanpa harus menikah? Kau bisa memilih wanita manapun yang kau suka, Tuan.” “Bagi
Sejak peristiwa Gandari melepaskan seluruh sihir yang ada ditubuhnya, ia telah kehilangan salah satu hal penting dalam hidupnya. Kini wanita itu telah buta. Gelap, baginya siang dan malam terlihat sama. Itu juga salah satu alasan yang membuat Danur Seta begitu kekeh menikahinya. Ia ingin menjaga Nirmala. Dengan kuasanya sebagai raja tentu tak akan ada yang berani menyakitinya. “Kembalikan saja aku ke hutan. Aku sudah biasa hidup dalam kegelapan. Aku tak selemah yang kau pikirkan, Tuan Prabu yang terhormat.” “Tidak. Selamanya aku akan mengurungmu di dalam sini. Kau tak boleh meninggalkanku lagi.” “Egois.” Asmarandana datang dan mengakhiri perbicangan dua orang dewasa itu. Anak kandung mereka sangat bahagia mengetahui bahwa Gandari akan tinggal selamanya di istana ini. Ia tak akan kesepian lagi. Akan ada yang memerhatikan dirinya jika sang ayah sedang sibuk mengurus kerajaan. “Sekali lagi dan tak bosan-bosannya aku memintamu untuk lebih memikirkan putra kita,” tegas Danur Seta.
Gandari rutin meminum obat-obatan dari tabib untuk menyembuhkan luka luar akibat dicambuk dan juga luka dalam karena memuntahkan banyak darah. Berangsur-angsur ia telah pulih. Meski banyak bekas luka di sekujur tubuhnya tapi tak mengurangi sedikit pun kecantikan wajahnya. Banyak yang bertanya apa yang menjadi sebab ia sampai terluka parah bahkan buta. Namun, baik Danur Seta serta Syarif memilih bungkam, menutupi kejahatan dan juga aib wanita yang sama-sama mereka cintai. Begitu juga dengan Satrio, ia memilih melupakan semua dendamnya atas permintaan Ragajampi, wanita yang kini sering ia pikirkan. Rambut Nirmala yang dipotong pendek oleh pedang Syarif telah dirapikan, meski tak disanggul ia tetaplah memesona untuk disandingkan dengan Danur Seta. Sedang Syarif berharap Nirmala menggunakan tutup kepala lagi seperti dulu. Pagi ini usai berdandan, Danur Seta datang ke kediamannya membawa mangkuk obat untuknya. Wanita itu enggan untuk meminumnya, ia merasa telah baik-baik saja. “Ini dem
“Di mana aku sekarang?” Gandari merentangkan kedua tangannya, mencari jalan. Lelaki itu ingin membantu tapi bingung, tak boleh bersentuhan. “Ini di rumahku, Nyai.” Syarif mengambil sebilah kayu, ujungnya dipegang oleh Gandari, ujung satu lagi dipegang olehnya.“Aku bisa jalan sendiri, Tuan.” Gandari menghempas kayu pemberian Syarif. Lagi, lelaki itu hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia hanya menyingkirkan hambatan di depan jalan. “Awas, Nyai. Di sebelahmu itu ada kolam, nanti kau jatuh,” ucapnya perlahan. “Taulah, Tuan. Aku dengar suara airnya,” jawabnya ketus. Syarif bingung, salah lagi ia bicara padanya. Yang lebih membuatnya bingung Gandari harus tinggal di mana. Sementara kamar hanya satu. Syarif meminta Gandari berhati-hati menaiki tangga, takut terpeleset, lagi-lagi ia harus terima ocehannya keluar. “Aku ini hanya buta, Tuan. Bukannya lemah. Bertahun-tahun aku tingal di gelapnya hutan seorang diri.” Walau setelah itu kakinya menabrak pinggiran pintu. “Aku, kan, sud
Syarif menyuruh istrinya agar menunggu saja di dalam. Ia memperhatikan tamu yang datang adalah dua orang laki-laki. Setelah semakin dekat lelaki itu tersenyum lebar. Seseorang yang dihormati datang mengunjungi kediamannya.“Kau terlihat sangat bahagia, Anakku.” Usai mengucap salam lelaki tua itu memeluk tubuh muridnya. “Alhamdulillah, berkah doa guru juga.” Syarif masih mencium tangan gurunya dengan takzim. Gandari menguping pembicaraan dua lelaki itu dari dalam kamarnya. “Istrimu, apa dia sehat?” Syarif menjawab dengan nada bahagia, “barakallah, anakku.” “Ehm, Tuan Guru, maaf kalau aku memutuskan sepihak pernikahan ini. Aku tak bermaksud menolak perjodohan dengan Adinda.” “Jangan kau risaukan hal itu. Lagi pula putri pertamaku telah menikah dengan Hasan, lalu adiknya sedang semangat menghapal qur’an, jadi dia meminta waktu untuk belajar lebih lama.” Guru dan murid itu terlibat pembicaraan santai, sesekali tertawa dan mengenang masa lalu. Dari pembicaraan itu pula Gandari tahu b