“Panjang umur, Yang Mulia, hamba Xi Chian menghaturkan sembah sujud di hadapanmu.” Seorang panglima perang wanita Mongol dengan pakaian besi berwarna hitam dengan dua pedang panjang di sisi kiri kanan pinggang datang melapor.“Bangunlan wahai panglimaku.” Wanita itu berdiri tegap, tatapan matanya lebih tajam dari mata elang. Raut wajah cantik tapi bengis tercetak jelas di sana, rambut hitam panjangnya ia ikat rapi ke atas. Tusuk konde kecil dari emas menandakan ia keturunan bangsawan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kaisar Themur. “Hamba datang melapor Yang Mulia, persiapan perang hampir selesai. Prajurit kita tak sabar membumihanguskan negeri nusantara yang menumpahkan darah adikku, Xi Mha.” “Kalau begitu tunggu apa lagi. Bawa kepala rajanya ke hadapanku. Sebagai imbalannya kau boleh memerintah sebagai ratu di sana.” “Baik, Yang Mulia. Hamba hanya memerlukan ritual khusus dari seoang penyihir guru Xi Mha. Ia akan mempermudah jalan peperangan kita. Akan kutebar racun
Xi Chian memerintahkan kapal-kapal untuk berhenti di lautan luas, tak jauh sedikit lagi ia akan sampai di wilayah kekuasan Danur Seta. “Siapkan busur panahku. Beberapa lama di lautan aku jadi rindu berburu, di sana.” Tunjuknya pada sebuah daratan yang sudah ditinggali penduduk dari dulu. “Aku juga, Pangllima, kurasa tempat ini cocok untuk menyebarkan wabah penyakit. Air laut, hutan, serta sinar bulan purnama semuanya tersedia. Kita masih kekurangan sedikit saja, Panglima,” ujar wanita tua itu. “Katakan?” “Darah wanita dan anak-anak untuk membangkitkan arwah Xi Mha.” “Hmm, aku akan membawa anak buahku untuk berburu orang sekalian di sana.” Panglima bengis itu meminta busur mewahnya. Ia mengatur kuda-kuda memanah, satu tangannya memegang busur, satu lagi menahan melepaskan panah yang ia sasar pada satu tujuan. Panah itu dilepas menuju seorang lelaki yang sedang membawa hasil melaut pada anak istrinya. Busur panah menembus lehernya. Wanita bengis itu tertawa puas, jiwa membunuhnya
“Tuan Prabu, 100 prajurit yang dikirim, apa tidak terlalu sedikit?” tanya Satrio di kamar pribadi rajanya.“Kau sudah lama ikut denganku, mengapa kau tak paham apa yang menjadi sebab aku mengirim sedikit pasukan bersamanya.” “Apa, ini masih ada kaitannya dengan Gandari?” “Benar. Aku sangat berharap Syarif mati di sana. Lalu akan kupaksa Nirmala tinggal di istana dan menikah denganku. Aku tak pernah rela melepaskanya dengan lelaki lain.” “Tapi, Tuan Prabu, bukankah ini sangat berbahaya, jika Tuan Syarif gagal itu artinya bala tentara Mongol semakin dekat kemari.” “Aku sudah memperhitungkannya, kita tinggal menunggu kabar dari seorang mata-mataku di sana. Baru kita berangkat dengan seluruh pasukan,” ujarnya tanpa merasa berdosa. “Tuan Prabu.” Seoang prajurit yang lari ketika Syarif melakukan penyergapan datang melapor. “Katakan,” perintah Danur Seta. *** Sinar bulan seakan diserap oleh tubuh penyihir tua itu. Xi Chian memerhatikan dari kursi agungnya tak jauh dari tempat para pe
Gandari berjalan perlahan ke kebun belakang rumahnya. Ia memetik beberapa sayuran. Wanita itu menarik napas berat, jika tak ingat dengan anak di dalam perutnya, ia tak akan menuruti selera makan yang mulai beragam. Usia kandungannya kini sudah lima bulan lewat. Masuk ke dapur dan mencari pisau yang biasa diselipkan di tepi dinding kayu, ia duduk dan berdiri kembali ketika mendengar derap langkah kuda di depan rumahnya. “Semoga ada yang membawa kabar baik untukku.” Gandari meraba dinding kayu sebagai pegangan. Ia yang telah hapal seluk-beluk rumahnya sendiri kehilangan senyuman ketika yang datang adalah Satrio. “Permaisuri khawatir kau sendirian di rumah ini. Juga Asmarandana yang merindukanmu. Istana tak memperbolehkan kerabat kerajaan keluar selama perang berlangsung, Nyonya,” ucap Satrio sopan. “Kau sendiri kenapa tak mendampingi tuan prabumu pergi?” tanya Gandari, ia sebernarnya malas berurusan lagi dengan orang istana. “Aku ditugaskan menjaga putra kalian. Tolong, Nyonya, jan
“Kudengar, kau sudah punya istri, bahkan sedang hamil, benarkah?” Syarif yang diikat di kursi besi merasa terancam dengan tanya Xi Chian. Ia berontak ingin lepas dari ikatan, tapi tenaganya tak cukup kuat, berhari-hari memilih tak makan daripada menyentuh hidangan haram. “Kau tak punya mulut untuk bicara? Atau perlu lidahmu aku tarik keluar sampai putus!” Lelaki itu hampir kehilangan hak bernapasnya karena dicekik oleh Xi Chian. “Buka mulutmu! Katakan apa yang kau tahu tentang Hasan. Kau bilang dia sahabatmu. Kau pasti paham strategi perang macam apa yang direncanakannya, Tolol!” hardik wanita itu. “Ke-kenapa? Kau takut, tak bisa menang melawan kami?” sahut Syarif sambil meringis menahan perih di kulit yang darahnya telah kering. “Takut?” jawab wanita itu. Tawa kejinya memantul di dinding penjara, serupa nyanyian iblis yang senang melihat manusia tergoda nafsu. “Kau lihat sendiri armada perangku. Sekali tembak juga kapal kalian tenggelam.” “Sombong. Kau akan rasakan sendiri pasu
Dua pengawal Xi Chian itu tewas. Tubuhnya tembus tertusuk pedang panjang. Wanita itu bernapas cepat. Walau buta ia paham situasi yang baru saja terjadi.“Siapa kalian? Mau apa datang ke mari?” Gandari meraih asal selimut di ranjangnya, gegas wanita itu menutupi auratnya yang tersingkap. “Kami diutus oleh Tuan Prabu Danur Seta, Nyonya. Diminta untuk membawamu ke istana malam ini juga,” jawab mereka. “Istana? Untuk apa lagi, aku tak ada urusan di sana. Lagi pula aku menunggu kepulangan suamiku.” “Mengenai itu, Nyonya.” Ragu-ragu utusan Danur Seta membuka mulut. “Katakan,” desak Gandari. “Suami nyonya. Ehm, dia tidak selamat di medan pertempuran. Semua kapal perang hancur, hanya sedikit yang selamat.” “A-apa, tidak mungkin. Kalian berdusta! Mana mayat suamiku kalau memang dia tewas di pertempuran.” “Kemungkinan, tenggelam atau terbakar di lautan, Nyonya. Karena itulah Tuan Prabu meminta kami membawamu.” “Omong kosong, persetan dengan Danur Seta. Aku tak akan kembali ke istana. Ak
Rintik-rintik hujan membasahi tanah tempat Gandari tinggal. Usai peristiwa penolakan dirinya yang akan dibawa paksa anak buah Danur Seta, wanita itu semakin sering mendapat kunjungan dari para istri ulama yang kini juga menjadi sahabatnya. Bergantian mereka memberi perhatian pada wanita yang tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Mengantar masakan agar ia tak repot-repot turun ke dapur. Turut serta membesarkan hati Gandari agar sabar menerima cobaan hidup. Sejatinya di dunia ini tak ada yang abadi. Semuanya akan kembali pada Allah cepat atau lambat, setiap manusia hanya menunggu giliran. “Mungkin ini rasanya sakit kehilangan,” gumamnya di atas ranjang ketika malam semakin kelam. “Mungkin ini juga hukuman atas dosa-dosaku, dulu.” Hujan deras di malam hari seoalah mengerti dengan kegundahan hati Gandari. Pagi ketika ia memetik sayuran di kebun belakang, rasa nyeri di perutnya kian bertambah jadi. Dengan langkah tertatih ia berjalan meraba-raba seorang diri, mencari pertolongan, i
Beberapa bulan tinggal dan diobati di rumah Tabib, telah membuat tubuh Syarif pulih. Luka luarnya telah kering, begitu juga dengan organ tubuh bagian dalam yang telah membaik. Pita suaranya yang sempat rusak telah kembali normal. Ia bisa kembali membaca ayat suci Qur’an dengan suara lantang. Tubuhnya sudah kuat untuk menempuh perjalanan jauh. “Terima kasih atas bantuannya, Tuan tabib. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu. Aku tak punya apa-apa untuk diberikan.” Syarif memandang wajah tabib yang terlihat teduh diterpa angin laut. “Bertemu denganmu sedikit mengusir rasa sepi di hatiku. Semua putraku turut ambil peran menyebarkan Islam. Sedangkan aku sudah tak kuat lagi untuk berjalan jauh, sudah udzur, Nak,” sahut lelaki tua yang menolong Syarif. “Jika masih berjodoh, aku akan berkunjung ke tempat ini, Tuan Tabib.” “Semoga Allah mengabulkan dan mempermudah jalanmu, Nak.” Dua orang itu berpelukan ketika kapal kecil yang akan membawa Syarif telah tiba. Beberapa hari ia akan berada