Syarif duduk bersila, ia berdoa sejenak usai menyelesaikan solat subuh. Hampir semalam suntuk lelaki muslim itu berkuda. Dua tangannya terangkat, memohon pada Rabnya agar menunjukkan jalan yang benar, serta jika mungkin memberi hidayah dan keselamatan pada wanita yang membawa separuh hatinya. Syarif merasa masa lalu Gandari dan dirinya juga tak jauh berbeda. Ia dahulu hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua dan kakak perempuannya. Lalu perampok datang mengambil semua harta benda, membunuh ayah yang mencoba melindungi dirinya dan menodai ibu serta kakak perempuannya. Ibunya yang terluka parah juga tewas saat itu juga, sementara kakaknya yang sebentar lagi akan menikah tak tahan dengan jejak-jejak durjana di tubuhnya lebih memilih bunuh diri. Lelaki yang baru berusia sepuluh tahun saat itu hidup terlunta-lunta di jalan. Hingga rombongan kerajaan Kesultanan Samudera Pasai menemukan dirinya yang tertidur di pinggir jalan dalam keadaan kelaparan. Ia dibawa dan dititipkan oleh Tuan
“Sejak kapan aku takut denganmu? Kau tahu bahkan aku nekat mengirim guna-guna agar kau takluk, tapi malah berbalik menyerangku.” Sejenak Syarif berpikir, ia pernah begitu kesakitan dan seakan dipaksa untuk berfantasi liar dengan Gandari. Kini ia tahu wanita inilah yang mengirimnya. “Untuk apa nyai mengirim guna-guna?” “Ehm.” Gandari mundur, ia sadar sudah terlalu jauh melangkah mendekati Syarif, “kau pikirlah sajalah sendiri.” Syarif menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Bingung, baru kali ini berhadapan dengan perempuan. Terlalu banyak misteri diantara jawaban yang diberikan. “Tawaranku tadi bagaimana, Nyai. Kita kembali ke istana?” “Tidak! Aku tetap di sini, lebih baik aku mati daripada menjadi istri dari pria yang merenggut kesucianku bertahun-tahun lalu.” “Maksudku. Lebih baik nyai keluar dulu dari hutan ini. Cari tempat lain untuk tinggal. Tak harus ke istana apalagi menikah dengan Tuan Prabu jika memang kau tak ada hati dengannya.” Dingin angin malam berembus di
Gandari dibawa oleh Syarif ke dalam istana. Ia ingin berontak, kecewa dan sedih merasa lelaki itu mempermainkan perasaan dan mengingkari janjinya. Kini ia tinggal di kediamannya dulu saat akan menjadi istri Danur Seta. Gandari diperlakukan bak ratu olehnya. Meski wanita itu tak pernah meminta apapun. Namun, tetap saja sang Raja yang ingin menebus kesalahannya bertahun-tahun silam senantiasa mengirim sutra, perhiasan dan berbagai barang yang disukai oleh wanita. Ia berharap Gandari membuka sedikit hati untuknya. Memafkan semuanya dan menerimanya sebagai seorang suami. “Aku tahu kau membenciku. Tapi setidaknya kau pikirkanlah bagaimana Asmarandana, dia sudah sedekat itu denganmu. Apa kau sampai hati meninggalkannya lagi?” Danur Seta selalu menggunakan alasan Asmarandana agar Gandari luluh, meski benar ia putranya tapi tetap saja wanita itu tak mau menjadi istrinya. “Apa tak bisa kita bersama merawatnya tanpa harus menikah? Kau bisa memilih wanita manapun yang kau suka, Tuan.” “Bagi
Sejak peristiwa Gandari melepaskan seluruh sihir yang ada ditubuhnya, ia telah kehilangan salah satu hal penting dalam hidupnya. Kini wanita itu telah buta. Gelap, baginya siang dan malam terlihat sama. Itu juga salah satu alasan yang membuat Danur Seta begitu kekeh menikahinya. Ia ingin menjaga Nirmala. Dengan kuasanya sebagai raja tentu tak akan ada yang berani menyakitinya. “Kembalikan saja aku ke hutan. Aku sudah biasa hidup dalam kegelapan. Aku tak selemah yang kau pikirkan, Tuan Prabu yang terhormat.” “Tidak. Selamanya aku akan mengurungmu di dalam sini. Kau tak boleh meninggalkanku lagi.” “Egois.” Asmarandana datang dan mengakhiri perbicangan dua orang dewasa itu. Anak kandung mereka sangat bahagia mengetahui bahwa Gandari akan tinggal selamanya di istana ini. Ia tak akan kesepian lagi. Akan ada yang memerhatikan dirinya jika sang ayah sedang sibuk mengurus kerajaan. “Sekali lagi dan tak bosan-bosannya aku memintamu untuk lebih memikirkan putra kita,” tegas Danur Seta.
Gandari rutin meminum obat-obatan dari tabib untuk menyembuhkan luka luar akibat dicambuk dan juga luka dalam karena memuntahkan banyak darah. Berangsur-angsur ia telah pulih. Meski banyak bekas luka di sekujur tubuhnya tapi tak mengurangi sedikit pun kecantikan wajahnya. Banyak yang bertanya apa yang menjadi sebab ia sampai terluka parah bahkan buta. Namun, baik Danur Seta serta Syarif memilih bungkam, menutupi kejahatan dan juga aib wanita yang sama-sama mereka cintai. Begitu juga dengan Satrio, ia memilih melupakan semua dendamnya atas permintaan Ragajampi, wanita yang kini sering ia pikirkan. Rambut Nirmala yang dipotong pendek oleh pedang Syarif telah dirapikan, meski tak disanggul ia tetaplah memesona untuk disandingkan dengan Danur Seta. Sedang Syarif berharap Nirmala menggunakan tutup kepala lagi seperti dulu. Pagi ini usai berdandan, Danur Seta datang ke kediamannya membawa mangkuk obat untuknya. Wanita itu enggan untuk meminumnya, ia merasa telah baik-baik saja. “Ini dem
“Di mana aku sekarang?” Gandari merentangkan kedua tangannya, mencari jalan. Lelaki itu ingin membantu tapi bingung, tak boleh bersentuhan. “Ini di rumahku, Nyai.” Syarif mengambil sebilah kayu, ujungnya dipegang oleh Gandari, ujung satu lagi dipegang olehnya.“Aku bisa jalan sendiri, Tuan.” Gandari menghempas kayu pemberian Syarif. Lagi, lelaki itu hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia hanya menyingkirkan hambatan di depan jalan. “Awas, Nyai. Di sebelahmu itu ada kolam, nanti kau jatuh,” ucapnya perlahan. “Taulah, Tuan. Aku dengar suara airnya,” jawabnya ketus. Syarif bingung, salah lagi ia bicara padanya. Yang lebih membuatnya bingung Gandari harus tinggal di mana. Sementara kamar hanya satu. Syarif meminta Gandari berhati-hati menaiki tangga, takut terpeleset, lagi-lagi ia harus terima ocehannya keluar. “Aku ini hanya buta, Tuan. Bukannya lemah. Bertahun-tahun aku tingal di gelapnya hutan seorang diri.” Walau setelah itu kakinya menabrak pinggiran pintu. “Aku, kan, sud
Syarif menyuruh istrinya agar menunggu saja di dalam. Ia memperhatikan tamu yang datang adalah dua orang laki-laki. Setelah semakin dekat lelaki itu tersenyum lebar. Seseorang yang dihormati datang mengunjungi kediamannya.“Kau terlihat sangat bahagia, Anakku.” Usai mengucap salam lelaki tua itu memeluk tubuh muridnya. “Alhamdulillah, berkah doa guru juga.” Syarif masih mencium tangan gurunya dengan takzim. Gandari menguping pembicaraan dua lelaki itu dari dalam kamarnya. “Istrimu, apa dia sehat?” Syarif menjawab dengan nada bahagia, “barakallah, anakku.” “Ehm, Tuan Guru, maaf kalau aku memutuskan sepihak pernikahan ini. Aku tak bermaksud menolak perjodohan dengan Adinda.” “Jangan kau risaukan hal itu. Lagi pula putri pertamaku telah menikah dengan Hasan, lalu adiknya sedang semangat menghapal qur’an, jadi dia meminta waktu untuk belajar lebih lama.” Guru dan murid itu terlibat pembicaraan santai, sesekali tertawa dan mengenang masa lalu. Dari pembicaraan itu pula Gandari tahu b
“Panjang umur, Yang Mulia, hamba Xi Chian menghaturkan sembah sujud di hadapanmu.” Seorang panglima perang wanita Mongol dengan pakaian besi berwarna hitam dengan dua pedang panjang di sisi kiri kanan pinggang datang melapor.“Bangunlan wahai panglimaku.” Wanita itu berdiri tegap, tatapan matanya lebih tajam dari mata elang. Raut wajah cantik tapi bengis tercetak jelas di sana, rambut hitam panjangnya ia ikat rapi ke atas. Tusuk konde kecil dari emas menandakan ia keturunan bangsawan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kaisar Themur. “Hamba datang melapor Yang Mulia, persiapan perang hampir selesai. Prajurit kita tak sabar membumihanguskan negeri nusantara yang menumpahkan darah adikku, Xi Mha.” “Kalau begitu tunggu apa lagi. Bawa kepala rajanya ke hadapanku. Sebagai imbalannya kau boleh memerintah sebagai ratu di sana.” “Baik, Yang Mulia. Hamba hanya memerlukan ritual khusus dari seoang penyihir guru Xi Mha. Ia akan mempermudah jalan peperangan kita. Akan kutebar racun
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab