“Tuhan, Dewa atau apa saja yang menguasai dunia ini. Apa kalian sungguh tak ada? Mengapa jalan hidupku harus seperti ini.” Terisak wanita itu menangisi nasibnya yang malang. Air matanya terus berjatuhan. Baju-baju dan perhiasan indah itu sama sekali tak menyenangkan hatinya. Ia justru ingin berlari jauh saja, kembali ke dalam hutan, atau mati saja lebih baik. Tak sudi harus disentuh Danur Seta untuk yang kedua kalinya. “Bibi, jangan menangis.” Asmarandana menghapus air mata Gandari. ‘Andai saja kau anakku aku pasti sangat bahagia memilikimu. Tapi sayangnya kau anak orang yang paling kubenci di dunia ini. Tapi kau juga tidak berdosa sama sekali.’ Gandari membelai rambut halus sang pangeran. “Kita tidur saja, Sayang. Bibi akan tetap ada di sisimu.” Usai menidurkan Asmarandana, wanita itu tak kunjung terlelap. Ia melangkah melihat hantaran yang diberikan untuknya. Sutra berwarna kuning terang. Hiasan rambut, anting emas, bahkan kalung yang sangat indah. Dengan hati yang tak keruan i
Pagi ini Gandari mengunjungi Asmarandana di kamarnya. Ia menerobos masuk walau telah dilarang oleh pelayan. Wanita itu enggan menjalani pingitan. Ia merasa rindunya telah terlalu dalam pada sang Pangeran. Juga mungkin ini terakhir kalinya mereka bersama, nanti malam Gandari akan menjalankan ritual terakhir untuk mengambil nyawa bocah yang tidak berdosa sama sekali.Sepanjang hari anak bungsu Danur Seta terus saja menempel dengan Gandari. Sekalipun merasa lelah harus menemaninya ke sana ke mari Gandari tak mempermasalahkannya. Rindu, kata Asmarandana selama dua hari tak berjumpa dengannya. Mata penyihir itu berembun, hatinya bimbang dengan situasi rumit yang dihadapinya. Penyihir itu kembali menutup rapat kepalanya dengan kain, rambutnya telah kembali memutih. Sore ini ia kembali menemani Pangeran belajar menulis dengan Syarif. Tak ada yang tahu apa yang mereka rasakan. Gandari kecewa karna lelaki itu tak mau menolongnya, ia membuang muka ke arah lain dan lebih memilih duduk jauh dari
Gandari membuka matanya. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit, perutnya terasa sangat perih. Bahkan ketika berusaha bangkit kakinya serasa ditusuk benda tajam. Pelayan masuk ke dalam kamarnya ketika mendengar Gandari mengaduh. Tak lama kemudian Danur Seta datang dan duduk di sisi wanita yang tak sadarkan diri selama satu pekan. “Mana Asmarandana, anakku?” Gandari menepis tangan Danur Seta yang ingin menyentuh kepalanya. “Tenanglah dulu, putraku baik-baik saja, ia sedang bermain di luar. Asmarandana juga sering menjengukmu, ia menunggumu sadar.” Gandari membuang wajahnya. Malas memandang wajah lelaki yang begitu dibenci. “Ceritakan padaku apa yang terjadi. Mengapa kau sampai terbaring di lantai penuh darah. Para tabib tak ada yang paham dengan penyakitmu. Bahkan hari pernikahan kita harus ditunda sampai kau sehat.” “Danur Seta!” teriak Gandari. Lelaki itu terkejut dengan reaksi calon istrinya. Tak pernah ada yang berteriak padanya selama menjadi Raja. “Kau kenapa? Jika masih s
“Terima kasih karena telah menolongku. Kalau boleh tahu kau siapa? Aku Danur Seta Putra Mahkota, sebentar lagi dinobatkan menjadi raja.” Lelaki itu duduk dan memakan hidangan yang disediakan Nirmala. Ia juga berusaha mengulurkan minuman pada gadis yang menarik napasnya yang serasa berat. Namun, ditepis oleh Nirmala. “Aku Nirmala, penjaga hutan ini. Aku tak tertarik tahu tentang siapa kau dan juga jadi apa kau nanti. Pergilah, tepati janjimu tadi. Jangan ceritakan semua yang terjadi pada satu orang pun,” jawab Nirmala dengan napas terengah. “Aku akan pergi setelah kau sehat. Atau paling tidak aku antar ke rumahmu. Anggap sebagai balas budi.” “Tak perlu. Pergilah!” bantah Nirmala. Sebagai seorang Putra Mahkota yang perkataannya tak pernah dibantah oleh bawahannya, lelaki itu merasa tersinggung dengan penolakan gadis cantik yang memikat hatinya, walau sudah menikah dan punya anak, tak ada larangan bagi seorang calon raja sepertinya untuk memiliki wanita yang ia sukai. Namun, rasa su
“Tuan Prabu, apa tidak sebaiknya kita kembali saja ke rumah Adipati Wisesa. Nampaknya bulan sedang berwarna merah darah. Firasatku tidak enak, aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Tuan,” ujar Satrio dari atas kuda. “Ini sudah tanggung, sebentar lagi kita sampai. Aku harus menemui wanita itu.” Berkali-kali Danur Seta mencoba mengingat namanya tapi tak bisa. “Biar aku saja yang masuk ke sana. Sebaiknya Tuan Prabu kembali saja.” Belum sempat Danur Seta menjawab, matanya tertuju pada keranjang kayu yang hanyut di aliran sungai hutan lembah hitam. Benda itu tersangkut pada sebuah ranting. Samar-samar terdengar tangis bayi. “Coba kau lihat, jika aku tak salah dengar—“ Satrio bergerak cepat walau tuannya belum menuntaskan ucapan. Ia menceburkan diri ke dalam sungai, berenang ke tempat di mana keranjang bayi itu tersangkut. Dengan tenaga dalammnya Satrio menggunakan daya dorong air membawa bayi itu ke tepi sungai. “Tuan Prabu, ini benar-benar bayi.” Danur seta membuka tumpukan daun kerin
Syarif duduk bersila, ia berdoa sejenak usai menyelesaikan solat subuh. Hampir semalam suntuk lelaki muslim itu berkuda. Dua tangannya terangkat, memohon pada Rabnya agar menunjukkan jalan yang benar, serta jika mungkin memberi hidayah dan keselamatan pada wanita yang membawa separuh hatinya. Syarif merasa masa lalu Gandari dan dirinya juga tak jauh berbeda. Ia dahulu hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua dan kakak perempuannya. Lalu perampok datang mengambil semua harta benda, membunuh ayah yang mencoba melindungi dirinya dan menodai ibu serta kakak perempuannya. Ibunya yang terluka parah juga tewas saat itu juga, sementara kakaknya yang sebentar lagi akan menikah tak tahan dengan jejak-jejak durjana di tubuhnya lebih memilih bunuh diri. Lelaki yang baru berusia sepuluh tahun saat itu hidup terlunta-lunta di jalan. Hingga rombongan kerajaan Kesultanan Samudera Pasai menemukan dirinya yang tertidur di pinggir jalan dalam keadaan kelaparan. Ia dibawa dan dititipkan oleh Tuan
“Sejak kapan aku takut denganmu? Kau tahu bahkan aku nekat mengirim guna-guna agar kau takluk, tapi malah berbalik menyerangku.” Sejenak Syarif berpikir, ia pernah begitu kesakitan dan seakan dipaksa untuk berfantasi liar dengan Gandari. Kini ia tahu wanita inilah yang mengirimnya. “Untuk apa nyai mengirim guna-guna?” “Ehm.” Gandari mundur, ia sadar sudah terlalu jauh melangkah mendekati Syarif, “kau pikirlah sajalah sendiri.” Syarif menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Bingung, baru kali ini berhadapan dengan perempuan. Terlalu banyak misteri diantara jawaban yang diberikan. “Tawaranku tadi bagaimana, Nyai. Kita kembali ke istana?” “Tidak! Aku tetap di sini, lebih baik aku mati daripada menjadi istri dari pria yang merenggut kesucianku bertahun-tahun lalu.” “Maksudku. Lebih baik nyai keluar dulu dari hutan ini. Cari tempat lain untuk tinggal. Tak harus ke istana apalagi menikah dengan Tuan Prabu jika memang kau tak ada hati dengannya.” Dingin angin malam berembus di
Gandari dibawa oleh Syarif ke dalam istana. Ia ingin berontak, kecewa dan sedih merasa lelaki itu mempermainkan perasaan dan mengingkari janjinya. Kini ia tinggal di kediamannya dulu saat akan menjadi istri Danur Seta. Gandari diperlakukan bak ratu olehnya. Meski wanita itu tak pernah meminta apapun. Namun, tetap saja sang Raja yang ingin menebus kesalahannya bertahun-tahun silam senantiasa mengirim sutra, perhiasan dan berbagai barang yang disukai oleh wanita. Ia berharap Gandari membuka sedikit hati untuknya. Memafkan semuanya dan menerimanya sebagai seorang suami. “Aku tahu kau membenciku. Tapi setidaknya kau pikirkanlah bagaimana Asmarandana, dia sudah sedekat itu denganmu. Apa kau sampai hati meninggalkannya lagi?” Danur Seta selalu menggunakan alasan Asmarandana agar Gandari luluh, meski benar ia putranya tapi tetap saja wanita itu tak mau menjadi istrinya. “Apa tak bisa kita bersama merawatnya tanpa harus menikah? Kau bisa memilih wanita manapun yang kau suka, Tuan.” “Bagi
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab