“Sah.” Satu kata yang terucap dari bibir Tuan Guru yang ditunjuk sebagai wali bagi Arunika. Diikuti oleh doa kebaikan yang dipanjatkan oleh para tamu yang datang. Tidak banyak, hanya teman dekat dan handai taulan tertentu saja. Dari istana sendiri tidak ada sambutan apa-apa. Sebab memang Arunika pernah menjadi incaran Sultan meski tak dapat. Hati Azam sendiri jangan ditanya lagi, sudah bahagia tak menentu meski wajahnya cenderung datar bahkan pucat. Jika tidak malu mungkin ia sudah muntah dari tadi. Entah mengapa hari pernikahan itu begitu mendebarkan baginya, jauh daripada ketika ia akan diterjunkan ke medan perang. “Santai saja, Bang, jangan lemas begitu. Ya Allah kasihan lihatnya.” Rahmat datang dan menyalami seorang teman yang akhirnya melepas masa lajang juga. “Mungkin dia ketakutan, takut tak bisa berbuat apa-apa saat di kamar berdua saja,” sambung Hasan. Lelaki itu memberikan hadiah pada salah satu sahabatnya. Sayang sekali Syarif tidak bisa datang karena sedang mempersiapka
Sudah beberapa bulan lamanya sepasang insan itu menjadi suami istri. Arunika kini tak kurus lagi tubuhnya, perutnya membuncit sebab ada janin yang tinggal di dalam rahimnya. Di samping itu Azam masih terus berlatih. Hasan telah berangkat dengan kapalnya untuk membantu memukul mundur pasukan Mongol yang akan dataang. Begitu pula Syarif yang sudah mempersiapkan diri. Lelaki bermata kebiruan itu hanya menunggu waktu saja dipanggil oleh pihak Kesultanan Samudra Pasai. Arunika kini bertopang dagu melihat suaminya berlatih dari hari ke hari. “Baru juga menikah aku sudah akan ditinggalkan oleh suamiku,” ucap Arunika ketika duduk saja di belakang rumah Azam yang juga rumahnya. Lelaki keturunan Yaman itu mendengar dan menghentikan latihannya. Ia duduk dan minum air yang telah disediakan oleh istrinya. “Tak mungkin aku hanya berdiam diri saja di sini sementara teman-temanku pergi berperang, istriku yang cantik.” “Iya, aku paham, tapi kalau lama baru kembali, bagaimana? Perang itu setahuku ti
Puspa berjalan ke penjara bawah tanah di mana Arunika dikurung. Dayang itu diberi tugas untuk mengurus semua keperluan bekas ratunya sampai bayi laki-laki yang dinanti lahir. Mata Puspa ditutup kain hitam agar ia tak tahu jalan masuk menuju ke tempat itu. Pun ia diancam akan dibunuh jika berani berbuat macam-macam. Pintu penjara terbuka, penari bermata kelam itu tidur bersandar di dinding dengan perutnya yang membuncit. Puspa tak menyangka bahwa mereka akan bertemu kembali dengan keadaan yang begitu mengenaskan. Ditambah bayi yang akan diambil oleh Gusti Prabu Atma Prabangkara.“Gusti Ratu.” Puspa membuka ikatan matanya, ia mengguncang Arunika yang bibirnya mulai mengelupas. Wanita itu terbangun, samar-samar matanya menangkap kehadiran bekas dayang di hadapannya. “Oh, Ya Allah, ini Puspa atau Jali?” Arunika tak bisa membedakan salah satunya sebab kembar yang sangat serupa. “Puspa, Gusti Ratu. Bagaimana mungkin kita akan bertemu lagi di sini. Padahal engkau sudah hidup berbahagia di
Persiapan telah lengkap semua di dalam penjara itu, dayang yang menenami hanyalah Puspa dan Jali. Sebab kelahiran bayi tersebut memang tak sesuai dengan tebakan sang tabib yang baru saja datang. Ia pun wajahnya waswas, takut jika bayi yang dilahirkan bukanlah laki-laki. Beberapa waktu lamanya persalinan tak juga selesai, jalan lahir tak juga terbuka. Rasa sakit kian menggila dan peluh terus bercucuran. Bahkan obat tidur yang telah diberikan pada penjaga kini diperkirakan akan habis waktunya. Puspa dan Jali berbalik jadi ketakutan luar biasa. Mereka khawatir tak sempat menyelamatkan anak tuannya. Tiba-tiba saja Arunika mengedan mengikuti nalurinya. Sang tabib melebarkan dua kaki bekas ratu itu. Ia memerintahkan penari tersebut untuk terus mengedan agar bayinya cepat keluar. Tekanan terakhir yang diberikan penari bermata kelam itu membuat kepala bayi langsung keluar dan ditarik oleh tabib. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa bayi yang masih merah. Tabib sangat terkejut, yang
Patih Aditya sedikit merasa curiga dengan hilangnya salah satu dari dayang kembar yang melayani Arunika. Namun, ia tak sempat berlama-lama dalam perasaan itu. Ia harus segera mencari bayi laki-laki untuk ritual panjang umur sang prabu. Sayangnya, entah mengapa secara bersamaan di seluruh desa seperti kekeringan dari kelahiran bayi. Kalaupun ada hanya anak-anak perempuan saja, jika bayi laki-laki biasanya tak berumur panjang lagi. Ada yang baru dilahirkan langsung mati, paling panjang juga berusia 40 hari. Maka Aditya pun memutar otaknya. Kerajaan yang paling dekat dengan Giri Dwipa yaitu Hambu Aer. Iya, dirinya harus memperoleh bayi laki-laki sebanyak tiga orang apa pun caranya. Sebab jika ilmu gusti prabu musnah maka hilang juga seluruh harta kekayaan miliknya. Patih Aditya pun mengutus tiga orang mata-matanya lagi. “Menyebar. Cari bayi laki-laki di Hambu Aer sampai ketemu. Jangan membuat keributan, lakukan dengan aman tanpa keributan. Paham!” Lekas bawahannya bergerak menuruti perk
Jali bersembunyi di dekat pohon besar yang mampu menyembunyikan dirinya. Ia memeluk Sanjaya dengan kuat sebab bayi itu mulai menangis. Tangisan yang terdengar sampai ke telinga mata-mata Aditya. Lelaki berpakaian hitam itu mendekat, mencari asal suara, dan terlihat oleh matanya seseorang yang begitu ia kenali. Ia lompat dari kuda dan berjalan mengendap-endap. Lalu mendekap Jali dari belakang. “Kena kau! Dari dulu aku sudah curiga dengan kalian semua.” Sontak Jali kaget ketika ada yang memeluknya dari belakang. Apalagi Sanjaya semakin kencang saja tangisnya. “Lepaskan aku!” Sekuat tenaga dayang itu berusah melepaskan kungkungan mata-mata tersebut. “Bayi ini pasti anak ratu, bukan? Kau membawa pergi saat kuizinkan keluar.” “Aku tak tahu apa yang kau katakan, ini anakku. Lepas!” “Pembohong. Berikan anak itu padaku. Akan kutumbalkan dia untuk gusti prabu.” Mata-mata tersebut berusaha merampas bayi dalam naungan Jali. Dayang tersebut menggigit dengan kuat tangan lelaki di belakangny
Nini Sarupa tiba di Istana Giri Dwipa. Tanpa sopan santun sama sekali ia langsung masuk ke kamar Gusti Prabu Atma Prabangkara. Terkejutlah sang prabu yang tengah menggerayangi salah satu dayangnya. Namun, ia tak berani untuk marah. Bisa-bisa kesaktiannya dicabut oleh penyihir tua itu. “Dewi memintaku untuk sesegera mungkin, kau, untuk mengalirkan darah bekas ratumu itu. Dia sudah terlalu lama bersabar melihatmu lembek seperti ini. Tak bosan-bosan kau bermain dengan perempuan.” Nini duduk di lantai, ia melihat dua orang itu gelagapan memakain kainnya. Atma Prabangkara kemudian memerintahkan dayang itu untuk keluar. “Sekarang juga?” tanya sang prabu. Jujur saja ia masih berat untuk membunuh penari yang pernah begitu memesona dalam dirinya. “Setidaknya sebelum kau melakukan ritual panjang umur. Jika tidak juga kau akan tahu akibatnya. Kau akan bernasib sama seperti putra-putramu yang tak berguna itu. Jadi mayat hidup dan saat mati menjadi monyet, seperti lima yang sudah kau berikan pa
Api terus menjalar masuk sampai ke dalam penjara. Sebelum terperangkap lebih jauh, Azam berlari kencang tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, ia tak hanya sendirian saja, sebab putra-putra Atma Prabangkara juga mulai mencoba menyelamatkan diri. Mereka yang mencium bau darah manusia di tubuh Azam saling menginjak dan mengejar. Lapar, sebab sudah lama tak diberi makan oleh tuannya. Lelaki bermata kebiruan itu menerobos kayu yang dibakar api. Pakaiannya terbakar sedikit dan mengenai kulitnya, ia tahan sebisa mungkin perihnya. Ia tak bisa mengeluh lama-lama sebab anak-anak Atma Prabangkara semakin banyak yang mengejarnya dan Arunika belum juga ia temukan. *** Syarif mengikat leher Nini Sarupa dengan kain panjang yang selalu ia bawa ke manapun. Nenek sihir itu merasa tercekik, ia arahkan kuku-kuku hitam panjangnya untuk menyakiti lawannya. Namun, lelaki yang mahir di medan perang itu melempar kain sisa ke atas dahan pohon. Ia tarik, hingga tubuh Nini Sarupa menggantung di udara. Akan t