Keadaan Gusti Prabu Arunika sudah lebih baik. Air kiriman dari Azam benar-benar membantu dirinya pulih. Ia masih belum duduk di singgasana. Hanya berjalan di dekat griyanya saja, menghilangkan pegal-pegal sebab pertarungan tak kasat mata yang ternyata mematikan. Hatinya? Jangan ditanya lagi, ia rindu dengan yang bukan suaminya. “Gusti Ratu, apa engkau ingin berjalan-jalan? Sepertinya sudah sangat sehat?” tanya Jali, dua dayang kembar itu bergantian memijat kakinya. “Ke mana? Istana isinya laki-laki tak tahu diri saja. Malas aku berjumpa dengan mereka. Apalagi mata-mata Patih Aditya. Pasti akan mengawasiku terus-terusan.” Arunika memijat keningnya, matanya sedikit terbayang-bayang dengan padang pasir di dalam mimpinya. Tempat itu meski gersang tetapi membuat hatinya tertarik untuk pergi ke sana. “Ke tempat Tuan Azam, Gusti Ratu, bagaimana?” celetuk dayangnya tanpa pikir. “Tak baik seperti itu, kalian ini, tertangkap basah malunya minta ampun.” Tersenyum penari itu, meski benar ia i
“Hei, anak muda, bangun! Tidur saja kerjamu!” Nini Sarupa menepuk bokong Patih Aditya yang tengah terlelap. Kesetiaan tangan kanan Atma Prabangkara itu memang sudah sangat terujii. Ia tahan menunggu sang penyihir selama sepekan hanya dengan makan seadanya saja. “Nyi, engkau kembali, bagaimana? Apa sudah didapatkan obat untuk Gusti Prabu?” tanya lelaki berkumis itu sembari mengucek matanya. “Tentu saja, kau pikir dengan siapa kau berbicara? Lihat dulu kakiku, sudah ratusan tahun tapi tulangnya tidak keropos sedikit pun.” Nini Sarupa membuang sirih lamanya dan mengunyah yang baru. Benar di usianya yang tak lagi muda, gigi dan tulangnya masih amat kokoh. Hanya saja nenek penyihir itu lebih memilih berpenampilan urakan bak pengemis. Ia tak mau berpenampilan cantik seperti penyihir lainnya. “Kalau begitu sudah bisa saya bawa pulang, Nyi?” tanya Aditya memastikan. “Tunggu dulu, belum aku bacakan mantra. Kau ini tak sabaran sekali. Rindu dengan istrimu apa?” komat-kamit bibir yang memera
“Kau siapa? Jangan ikut campur dalam urusanku. Orang asing!” hardik Patih Aditya pada Azam. “Kami utusan dari Samudra Pasai. Ratu menerima kami dengan tangan terbuka, jika kau berani menyakitinya juga kami, Kesultanan Samudra Pasai tak akan segan-segan menyatakan pelawanan. Tentu kau tahu seberapa besar armada perang kami.” Mendengar ancaman dari Azam, tangan Patih Aditya turun, tak jadi ia menyakiti Arunika. Lagi pula ia punya urusan lain yang jauh lebih penting. Yaitu membangkitkan sang prabu dari tidur panjangnya. “Menyusahkan saja.” Patih itu sempat mengumpat pada Arunika ketika pergi dari sana. Sang ratu memegang lehernya, sakit luar biasa yang ia rasakan. Lelaki berkumis tebal itu memang tak pernah main-main dengan ancamannya. “Engkau tak apa-apa, Gusti Ratu?” tanya Azam, melihat Arunika sakit ia juga ikut sakit, sebagai saudara sesama muslim, atau lelaki itu mengharapkan lebih. “Terima kasih, Tuan. Aku harus pergi. Aku harus menghadapi semuanya. Nanti kita akan bercerita le
Patih Aditya masuk ke kamar di mana Gusti Prabu Atma Prabangkara masih berbaring. Ia menatap tubuh tuannya, sudah beberapa bulan tak bersua, kemudian ia haturkan sembah sujud pada seseorang yang berjasa mengangkat kastanya dari rendahan menjadi seorang kesatria sejati dan bergelimangan harta. Apa pun akan Aditya lakukan walau harus berkorban nyawa demi keselamatan sang tuan. Termasuk mencari bayi-bayi tidak berdosa yang akan dijadikan tumbal. “Jangan biarkan Gusti Ratu dan dayangnya memasuki kamar ini, kunci rapat, perketat penjagaan, siagakan semua senjata. Jika ada satu ekor semut saja yang membuat keributan, bunuh!” Lantang terdengar ucapan sang patih. Para penjaga mulai berpencar menjaga di sekitar kediaman sang raja. Kemudian beberapa bawahan Aditya yang mengenakan pakaian serba hitam masuk. Mereka meninggalkan penjara bawah tanah begitu tahu tuannya sudah datang. “Tutup pintu rapat-rapat.” Perintah lelaki berkumis tebal itu. “Angkat perlahan-lahan tubuh Gusti Prabu, hati-hati
“Cepat, Rahmat, kau lama sekali larinya.” Azam menunggu kedatangan temannya, sementara Arunika sudah melesat jauh ke depan, mereka baru saja berhasil melewati istana setelah mengecoh beberapa penjaga.“Ya, mana aku tahu kita akan kabur seperti sekarang. Kenapa tidak ambil kuda kita saja kalau begitu, Bang?” keluh Rahmat. Napasnya dari tadi terengah-engah karena tak kuat berlarian jauh, ia kalah cepat dengan penari di depannya. “Kau ini cengeng sekali. Pakai kuda ya ketahuan kita. Ayo cepatlah, kita sudah jauh tertinggal di belakang.” Azam tak sabaran dengan temannya itu. Lelaki bermata kebiruan tersebut memaksa Rahmat untuk lari lebih cepat, Arunika seolah-olah menatap kebebasan di depan matanya, ia tak lagi menoleh ke belakang, ia pun percaya kalau dua laki-laki itu mampu menyusulnya. Tidak ada penjaga yang mengejar mereka, di tambah bulan yang sudah habis dimakan waktu membuat suasana semakin gelap. Sesekali penari bermata kelam itu terjatuh karena kakinya tersangkut akar pepohona
Tak ingin terjerumus dalam dosa besar, kemudian Azam terpaksa menghantam kepala Arunika. Hanya sekali saja, penari tersebut langsung tak sadarkan diri, dan asap hitam yang merasuki tubuhnya langsung keluar. “Hampir saja.” Azam menarik napas panjang. Memang ia akui sulit menolak pesona Arunika, tapi ia juga mengingat dengan baik kata kedua orang tuanya. Agar tak terseret dalam jurang kenistaan.Tak lama setelahnya Rahmat kembali. Ia membawa air dan juga beberapa buah-buahan yang matang di pohon. Adik sepondok Azam itu melirik ke arah Arunika, di matanya gadis itu tertidur dengan nyenyak menghadap sebuah pohon. “Apa yang akan Abang katakan pada guru kita nanti. Mengatakan bahwa engkau menculik istri orang dan membawanya kemari, begitu?” “Dia bukan istri orang lagi,” jawab Azam apa adanya.“Ya, memang. Tapi di mata orang-orang Kerajaan Giri Dwipa, dia ini masihlah seorang ratu, belum diturunkan apalagi dilengserkan. Pelik sedikit masalah hidupmu, Bang. Tak mungkin engkau biarkan perem
Sudah beberapa hari Arunika berada dalam rumah Tuan Guru, tentu kedatangannya membuat banyak orang berbisik. Pun ia kerap kali ditanya mengenai kedudukannya, apakah sebagai gadis lajang yang belum memiliki pendamping atau istri orang yang kabur dari suaminya yang kejam. Dan Arunika adalah keduanya, hingga membuat Tuan Guru merasa tak bisa diam saja akan kesendirian gadis itu. Ia sudah dengar sendiri cerita secara lengkap baik dari Azam atau pun penari bermata kelam tersebut. Keduanya sama persis tanpa ada kebohongan. Artinya cerita mereka berdua benar adanya, tidak mengada-ngada hanya agar bisa kabur berdua saja. Sang guru juga mengirimkan pesan pada Sultan agar memikirkan bagaimana keadaan kerajaan Giri Dwipa, tapi belum mendapatkan jawaban, sebab satu masalah besar pun sedang membutuhkan penyelesaian yang tak main-main juga. “Akan kau apakan anak gadis orang itu, Zam?” tanya sang guru pada muridnya. Lelaki keturunan Yaman itu belum memutuskan apa-apa. Pun tak juga sedang ingin mela
“Sah.” Satu kata yang terucap dari bibir Tuan Guru yang ditunjuk sebagai wali bagi Arunika. Diikuti oleh doa kebaikan yang dipanjatkan oleh para tamu yang datang. Tidak banyak, hanya teman dekat dan handai taulan tertentu saja. Dari istana sendiri tidak ada sambutan apa-apa. Sebab memang Arunika pernah menjadi incaran Sultan meski tak dapat. Hati Azam sendiri jangan ditanya lagi, sudah bahagia tak menentu meski wajahnya cenderung datar bahkan pucat. Jika tidak malu mungkin ia sudah muntah dari tadi. Entah mengapa hari pernikahan itu begitu mendebarkan baginya, jauh daripada ketika ia akan diterjunkan ke medan perang. “Santai saja, Bang, jangan lemas begitu. Ya Allah kasihan lihatnya.” Rahmat datang dan menyalami seorang teman yang akhirnya melepas masa lajang juga. “Mungkin dia ketakutan, takut tak bisa berbuat apa-apa saat di kamar berdua saja,” sambung Hasan. Lelaki itu memberikan hadiah pada salah satu sahabatnya. Sayang sekali Syarif tidak bisa datang karena sedang mempersiapka