Bagian 3 Pulau Seberang Syarif dan Gandari berdiri di tepi laut, menunggu kedatangan kapal yang akan membawa mereka berlayar ke pulau seberang. Bekas penyihir tersebut merasakan amis aroma pantai untuk pertama kalinya, sebab sejak kecil sampai belasan tahun menjadi istri ulama ia hanya berkutat antara hutan dan rumah saja. “Indah juga di luar sini, ya? Pantas saja Cut Abang betah berlama-lama ke luar pulau dan pulang dalam jangka waktu yang sangat lama!” “Ya Allah, Abang, kan, pergi ada tujuannya, demi dakwah, bukan untuk menikmati pemandangan,” balas ulama itu menanggapi keluhan istrinya. “Ya, ya, ya, aku hanya nomor dua dalam hidupmu. Harus selalu mengalah dibandingkan tugas jangka panjangmu,” ucap wanita buta itu sembari merapikan kerudungnya yang dimainkan angin. “Sedikit pun tak pernah aku menganggapmu yang kedua dalam hidupku, justru kau itu—“ “Sudahlah, aku malas memulai perdebatan!” ketus wanita itu pada Syarif. “Astagfirullahhaladzim, yang memulai terlebih dahulu siap
Bagian 4 Pasrah Sekian waktu lamanya Syarif terdiam di depan rumah tuan tabib, ia tak meyangka semua usahanya sia-sia setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Namun, manusia hanya bisa berusaha saja, hasil akhir bukan kuasanya lagi. “Bagaimana, Cut Abang, kenapa dari tadi diam saja?” tanya Gandari ketika suaminya tak mengucapkan sepatah kata pun. “Dinda, sepertinya kita harus berikhtiar lebih keras lagi. Tuan Tabib telah meninggal. Kau bersabarlah, yakin kalau jalan pengobatan lain masih bisa ditempuh,” jawab lelaki itu dengan menahan sesak di dadanya. “Iya, tak apa-apa. Kalau begitu kita kembali saja. Tak tenang hatiku meninggalkan anak kita dengan orang lain.” Wanita itu berbohong, sejujurnya sejak tadi malam ia sudah merasakan nyeri di matanya semakin menjadi. Namun, lagi-lagi ia harus tahan sebab tak ingin membuat suaminya semakin risau saja. Dua orang itu beruntung, karena kapal masih bersandar di tepi pantai. Gegas saja mereka berlayar kembali sembari memikirkan
Bagian 5 Pesan Terakhir Demam Gandari semakin menjadi, ditambah rasa nyeri di matanya yang tak bisa ia lukiskan dengan kata-kata lagi. Wanita itu menyesal telah menyiksa putra pertamanya secara membabi buta. Seharusnya ia tak menuruti amarah kala itu, hingga tanpa sadar telah melukai lahiriah Asmarandana. Syarif menyelimutinya dengan kain panjang berlapis-lapis. Namun, gigil pada tubuh Gandari seakan-akan tak hendak hengkang dari tubuhnya. Tak kurang rasanya obat yang diberikan tabib ia minum selama dua hari terakhir, tetapi demamnya justru semakin parah. Wanita itu kerap menangis tiba-tiba. Jalan hidupnya dari masa kecil di perguruan sihir putih sampai menjadi penjaga hutan, penyihir kejam dan seorang istri ulama terus berputar-putar di kepalanya. Sekali lagi ia menyesal karena telah sangat jahat dengan orang-orang yang tak ada sangkut paut dengan dendamnya dulu. “Bawa aku ke makam anak dan istri Danur Seta, aku ingin minta maaf pada mereka,” ujar Gandari di dalam selimut. Namun,
Bagian 6 Gadis Berselendang Maulana menarik napas panjang ketika ingat dengan mendiang ibunya. Rasa sesal tak bisa ia pungkiri masih bercokol di dalam hati. Pemuda berlesung pipi itu kemudian melanjutkan perjalanannya. Sesaat tadi ia seperti melihat seorang pengembara dengan selendang putih mengentak kudanya begitu cepat. Ditambah arah yang dituju pun sama. Hutan lembah hitam tempat Gandari dulu mengabdikan dirinya. Anak lelaki Gandari itu melanjutkan perjalanannya ketika Shubuh telah ia tunaikan. Sepanjang perjalanan di dekat Hutan Lembah Hitam, sebuah desa terlihat begitu suram. Pemuda itu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari raut wajah para penduduk terlihat semua sedang tidak baik-baik saja. Maulana bertanya pada seorang lelaki paruh baya yang duduk di dekat pohon besar. Menurut pengakuan penduduk desa tersebut, sejak Wisesa mati karena ulah iblis yang lepas dari hutan, satu demi satu korban berjatuhan dan tak bisa dielakkan. Hampir setiap malam mereka harus berjaga
Bagian 7 Perburuan Ratu Prameswari duduk di dalam ruangannya. Ia secara sembunyi-sembunyi meminta pelayannya untuk mencari beberapa orang pembunuh bayaran yang tangguh dan pilih tanding. Hal demikian terpaksa wanita itu lakukan demi keberlangsungan takhta putranya—Danur Atmaja. Ia tak mau anaknya yang baru saja menjadi raja harus disingkirkan oleh saudara satu ayahnya. Takhta telah menjadi tujuan utama dari janda Danur Seta itu. Kekuatannya di dalam istana hampir tak tertandingi. Tujuh orang pembunuh bayaran dengan tubuh tinggi dan tegap memasuki singgasana sang ratu secara diam-diam. Mereka merupakan manusia yang tak memiliki hati nurani, sebab utama mereka dipilih oleh pesuruh sang ratu. “Bunuh pemuda ini.” Ratu Prameswari melemparkan lukisan wajah Asmarandana pada ketua pembunuh bayaran itu. Hanya sekali lihat saja ia sudah sangat hafal dengan wajah anak yang dulu pernah ia asuh. Ya, mirip dengan Danur Atmaja. “Sampai berapa lama waktu yang dibutuhkan, Gusti Ratu?” tanya sang
Bagian 8 Perguruan Sihir Putih Pondok perguruna sihir itu tak terlalu bersar. Terbuat dari bambu yang diikat dengan tali-temali yang berasal dari serat yang sama. Sebuah tempat bernaung yang diketuai oleh seorang wanita dan anak didiknya juga perempuan semua. Gandari berasal dari sana, ketika ia ditinggalkan begitu saja waktu masih bayi. Tempat itu memang tak menerima kehadiran laki-laki. Mereka meyakini kehadiran makhluk angkuh dan kuat itu hanya untuk menghancurkan wanita saja. Gayatri, adik seperguruan Gandari yang ada di sana setelah Istri Syarif itu telah angkat kaki dari sana. Pondok tersebut tak pernah berganti kepemimpinan. Dengan kata lain usia pemimpinnya sudah hampir ribuan tahun lamanya. Mereka bersekutu dengan makhluk yang konon katanya berhati baik, berbeda dengan iblis yang gemar merusak hati manusia. Bahkan, mereka kerap bersitegang satu sama lain antara ilmu hitam dan ilmu putih. Padahal hakikatnya sama saja, keduanya merupakan tipu daya yang dibisikkan iblis ke
Bagian 9 Dua Penyihir Gayatri membuka matanya ketika ia melihat semua kilasan kejadian yang dalam sekejap mata sanggup menghanguskan perguruan sihir putih. Ia ingin menyusul teman-temannya moksa ke alam gaib, sebab tak ada gunanya lagi hidup seorang diri di dunia yang penuh tipu daya manusia. Namun, belum sempat ia selesai merapal mantra. Gadis yang masih terjaga kesuciannya itu mendengar tawa panjang nan mengerikan yang semakin dekat padanya. Gayatri menoleh, ia melihat sosok dengan pakaian serba hitam terbang rendah menuju ke arahnya. Awal mulanya gadis bermata kelam itu terpana ketika wajah sosok itu sangat mirip dengan gurunya. Akan tetapi, kekagumannya berubah ketika Sila memamerkan taring dan kuku tajamnya. Ia berniat menghabisi semua murid Sita yang masih hidup. Termasuk Gayatri, yang sempat menghadang kedatangannya dulu. “Matilah. Susul guru dan teman-temanmu ke neraka. Aku sudah melihat bagaimana api di dalam sana menari-nari membakar orang seperti kita yang tak jelas tuj
Bagian 10 Rencana Pembunuhan Tiga orang pembunuh yang berpencar atas perintah Ibu Ratu sedari tadi memperhatikan Isnani dan Maulana yang masih berdebat sepanjagn waktu. Mereka dengan mudah mengenali sang pangeran dari raut wajah yang mirip dengan Danur Atmaja. Salah satu di antara pembunuh tersebut mempersiapkan pisau terbang berukuran kecil, membidik tepat di dahi Maulana dan dilemparkan dengan kecepatan sesuai arah angin yang bertiup. Mata Maulana terbelalak. Sedikit lagi nyawanya lepas jika pisau itu tak dihalau oleh belati milik Isnani. Sikap waspadanya memang kalah jauh dari prajurit terlatih seperti gadis di depannya. “Kau pasti membawa musuhmu ke dalam hutan!” gerutu Isnani ketika ia mendongak ke arah pepohonan. Lalu tak lama setelahnya pisau terbang kembali menyambutnya. Gadis tersebut merunduk menyentuh bumi, dan mengambil sebuah batu, melemparnya ke atas dahan tepat mengenai dahi sang pembunuh. Salah satunya jatuh dan mengumpat kepada gadis itu. “Siapa?” tanya Gadis dar
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Bagian 37 Kehilangan Separuh Napas Maulana melangkah dengan gontai menuju kamar Gayatri. Ia sudah sangat lelah menerima tekanan dari berbagai pihak. Samudra Pasai, para bangsawan, bahkan ini ia ditekan oleh seseorang yang metelakkan makhkota di atas kepalanya. Selama menjadi seorang raja ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia senangi. Hidupya berkalung rantai besi. Setiap ia ingin melangkah jauh selalu saja ditarik kembali oleh singgasana yang telah menelan banyak nyawa itu. Kini, ia perlu satu tempat untuk melepas semua penatnya. Tempat yang selama ini hampir ia lupakan, bukan karena ingin, melainkan karena paksaan dari banyak pihak. Terutama Panglima Rangkem yang membawa putri bungsunya. Gusti Prabu yang wajahnya telah sayu itu membuka pintu kamar Gayatri. Ia sudah tak ambil pusing dengan jam malam lagi, walau di depan kamar sang ratu, tidak ada lagi pelayan satu pun. Ketika lelaki berlesung pipi itu membuka kamar wanita yang begitu ia rindukan, sang ratu membelakanginya dengan
Bagian 36 Wajah Asli Gusti Ratu Gayatri merasa kesepian di dalam istana yang megah itu. Sekalipun ia berselimut sutra dan bergelang emas, nyatanya perhatian Maulan berkurang jauh sekali padanya. Bukan karena adanya selir atau wanita lain. Ia masihlah satu-satunya wanita bagi Maulana. Hanya saja kesibukan sebagai seorang raja telah membatasi ruang gerak sepasang insan yang telah menjadi suami istri tersebut. Jika pun bertemu saat pagi hari meski setiap hari, nyatanya hanya makan dan minum bersama. Deretan kewajiban di pundak Maulana telah membuat kedudukan Gayatri bergeser. Wanita itu merasa sebagai patung di dalam istana. Jantungnya tetap berdetak tapi hatinya telah mati. Begitu juga dengan yang dialami Gusti Prabu Maulana. Ia ingin sekali seperti dulu, saat masih bisa bersenda gurau dengan adik-adiknya dan melepaskan rindu bersama Gayatri. Kenyataannya, setelah penobatan bahkan ia seperti sengaja dipisahkan oleh orang-orang yang ia sayangi dengan alasan peraturan. Sangat tidak mas
Bagian 35 Patah Hati Dua panah itu sama-sama lepas dari busurnya, mengenai tubuh Isnani dan Pangeran Antanagra. Wanita itu mundur beberapa langkah. Namun, ia tak merasa kesakitan, hanya seperti dicubit saja. Lalu, saat anak panah itu jatuh darinya. Ujungnya tajamnya ternyata telah dipatahkan oleh suaminya. Sementara Isnani melesatkan anak panah yang berujung tajam. Tubuh Pangeran Antanagra diam di tempat ketika lesatan senjata itu menembus ulu hatinya. Dari seberang lelaki rupawan itu bisa melihat Isnani mencoba menyelamatkannya. Namun, wanita tersebut ditahan oleh Hasan. Sang pangeran roboh dan tak lama kemudian matanya tertutup, ia bisa lihat bagaimana upaya istrinya ingin sampai padanya. Keinginan Pangeran Antanagra untuk menjadikan istrinya seorang ratu kandas sudah. Kapal tersebut karam meski tak tenggelam.“Is, bangun, sadarlah.” Hasan menepuk wajah putrinya yang tak sadarkan diri. Panglima itu kemudian memapah putrinya dan membawanya beristirahat di kamarnya. “Pasti kau san
Bagian 34 Kandas “Engkau sudah siap, Dinda. Kita akan meninggalkan Samudra Pasai dan kedua orang tua juga keluargamu. Untuk beberapa lamanya kita tidak akan kemari.” Pangeran Antanagra memperhatikan istrinya yang masih termenung. Sejak ia mengutarakan rencana kepergiannya, Isnani sedikit bermuram durja. Padahal Pangeran Antanagra tidak menceritakan perihal harta kerajaan yang telah ia curi. “Iya, Cut Abang,” jawab Isnani sembari menyunggingkan senyum pahit. “Laku kenapa kau pucat sekali sejak beberapa hari yang lalu. Apa tak kuasa meninggalkan keluargamu?” “Tidak. Aku hanya sedang kurang sehat saja.” Wanita itu semakin kurus sejak ia tahu suaminya merupakan penjahat yang ia incar. “Mungkin kau tertekan dengan peraturan istana yang begitu banyak. Tenang saja, ketika sampai di rumah baru. Kau yang akan mengatur semuanya. Terserah bagaimana baiknya.” ‘Bukan itu, Kanda. Aku sedang memikirkan bagaimana kita berdua nantinya. Sebuah rumah yang dibangun dari hasil curian tidak akan ada
Bagian 33 Penobatan Istana Kerajaan Hambu Aer masih berada dalam pengawasan Kesultanan Samudra Pasai sepenuhnya. Setelah tewasnya Gusti Ratu Prameswari yang membunuh dirinya sendiri. Lalu dibawanya Danur Atmaja untuk diadili di hadapan Sultan. Putra bungsu Danur Seta tak melakukan pembelaan diri. Ia mengakui perbuatannya meracuni Syarif hingga tewas, sebab ia tak punya pilihan lain dan tak suka diancam. Hukuman mati dijatuhkan demi keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal ini adalah anak-anak Syarif yang telah yatim piatu dan diasuh oleh Maulana dan Gayatri. Meski mereka menyerahkan sepenuhnya pada Kesultanan Samudra Pasai, tetapi Maulana sendiri sudah mulai merasa tidak enak hati. Bibinya sudah pernah memperingati, jika yang satu mati maka yang lain akan naik pula untuk mengisi takhta yang kosong. Detik demi detik hukuman gantung dilaksanakan di tanah lapang. Tempat itu merupakan saksi bisu banyaknya nyawa yang telah direnggut berdasarkan kesalahannya masing-masing. I
Bagian 32 Singgasana Agung Panglima Syamsul Rangkem telah sampai di perbatasan Kerajaan Hambu Aer. Sampai di sana ia memerintahkan para prajurinya untuk beristirahat dan mendirikan tenda terlebih dahulu. Ia masih mengupayakan jalan damai sekali lagi. Tentunya dengan menyerahkan siapa pembunuh Tuan Guru Syarif padanya untuk diadili sesuai hukum Islam. Pagi harinya ia dan dua utusannya bersiap-siap. Panglima Rangkem akan menemui Gusti Prabu Danur Atmaja terlebih dahulu. Konon, menurut Hasan sesuai yang diceritakan Syarif, bahwa temannya sakit sebentar dan langsung meninggal usai meminum air yang diberikan oleh sang raja. “Kita berpuasa saja, daripada kita tak enak hati untuk menolak makanan yang pasti disuguhkan. Mengerti!” perintah Panglima Rangkem pada dua bawahannya. Tiga orang itu telah sampai di depan gerbang istana. Mereka digiring untuk memasuki balai kerajaan. Panglima Rangkem langsung mengerutkan kening ketika yang duduk di sana seorang wanita yang masih amat cantik. Sebab