Suwita melihat makhluk pengganggunya sudah pergi. Di hadapannya kini berdiri sesosok lelaki tua. Berpakaian putih panjang menjela serta berjenggot putih. Dalam hati pemuda itu gembira, semoga kali ini kakek tua itu adalah penolongnya. “Dasar Jurig Jarian! Mengganggu orang kerjanya!” gerutu kakek tersebut. Dia melihat ke arah Suwita yang masih gemetar ketakutan. “Kamu siapa, Nak?”“Namaku … namaku Suwita, Kek.” Suwita menjawab sambil terbata-bata. Dunia luar baginya sangat menakutkan dari bayangan. Rasanya dia tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Bapaknya dulu seorang pejabat di kampung, jadi bila dirinya ingin berjalan-jalan keluar selalu ada yang menemani. Entah dua atau tiga orang pembantunya.“Dari mana asalmu? Mengapa kamu tersesat di sini?” tanya kakek tua itu. Dia memandang lekat Suwita. Heran, mengapa ada anak kecil tersesat di wilayahnya. Berpuluh-puluh tahun dirinya menghuni Gunung Galunggung, tidak ada satu pun manusia yang tersesat sampai ke wilayahnya. Dirinya m
Suwita meluruskan tangan karena pegal. Sudah begitu lama dia menggendong bayi, tapi ibunya tak kunjung muncul. Suwita berdiri, berniat untuk kembali ke pondok. Namun karena masih ragu-ragu, akhirnya dia duduk kembali untuk menanti. Siapa tahu ibu bayi ini muncul karena hari sudah mulai malam.Pemuda itu baru saja ditinggal meninggal oleh gurunya. Tadi mendengar suara berisik ketika sedang bersemedi. Tidak disangka dirinya malah mendapat seorang bayi. Suwita benar-benar bingung, apa yang harus dilakukannya.“Apakah bayi ini tidak akan dijemput ibunya lagi?” gumam Suwita. Dia mendongak ke langit, hari sudah menjelang malam. Pemuda itu menengok bayi yang tampak mulai gelisah. “Dia kelaparan,” bisiknya sambil menyodorkan jari ke bibir bayi tersebut. Dengan segera bayi itu membuka mulut sambil menjulurkan lidahnya keluar-masuk.“Baiklah, aku akan membawamu pergi. Hup!” Suwita melompat dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Dia merasa ibunya bayi tersebut sudah tak mungkin kembali lagi.
Suatu pagi di pondok Eyang Suwita. Mardawa memandang Eyang Suwita yang sedang duduk termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki tua itu. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati gurunya. “Ada apa, Eyang?” tanya Mardawa.“Aku teringat dengan masa kecilku.” Eyang Suwita memandang Mardawa.“Cerita, Eyang!” suruh Mardawa. Pemuda itu duduk bersila, siap mendengarkan cerita masa kecil gurunya.**“Pranata … itu punya Ibu! Jangan coba-coba mengambil sesuatu di kamar Ibu!” Suwita menghardik adiknya. Dia memergoki adiknya tersebut mengambil kotak kayu berukir dari kamar ibunya. “Aku hanya ingin melihat saja bukan mencurinya, Kakang.” Pranata menjawab sambil tetap memegang kotak kayu itu.“Sini berikan! Nanti Ibu marah.” Suwita hendak mengambil paksa kotak tersebut. Namun, Pranata mempertahankannya. “Ya sudah lihat … nanti cepat kamu kembalikan sebelum Ibu tahu.” Seorang bocah perempuan mengawasi Pranata dan Suwita saat beradu mulut. Dia tidak berkata apa pun hanya terdiam mematung.Akhir
“Haha haha. Bagus Panji ... kamu berhasil!” seru Juragan Pranata gembira. Matanya berbinar melihat hasil rampokan anak buahnya itu. Tidak sia-sia dia membuat kerusuhan tadi di tempat hajatan.“Ide Juragan hebat!” Panji balik memuji Juragan Pranata. Lelaki yang dipuji tertawa senang sambil memelintir kumisnya.“Ayo pisah-pisahin! Emas dan uang kasih sini!” Juragan Pranata berteriak lagi. Anak buahnya dengan cekatan memisahkan hasil rampokan mereka. Beberapa kantong uang koin dan kotak perhiasan penduduk berpindah tangan.Juragan Pranata memeriksa sebuah kotak perhiasan yang tampak lain ukirannya. Dia membolak-balik kotak tersebut sambil mengingat-ingat. “Aku pernah melihat kotak ini dulu … tapi di mana, ya?” tanya Juragan Pranata pada dirinya sendiri. Dia memeras ingatannya untuk mengingat kembali semua peristiwa dalam hidupnya.Lama Juragan Pranata membolak-balik kotak tersebut. Memori masa kecilnya dipaksakan untuk mengingat semuanya. Lambat laun dia ingat dengan masa lalunya. Masa
Juragan Pranata yang mempunyai masalalu kasih tak sampai pun masih mengingat Ningrum dalam benaknya. Dia memang tidak tahu lagi wujud gadis kecil itu sekarang. Namun, cinta masa kecil itu begitu membekas dalam ingatannya.Walaupun dirinya sudah mempunyai banyak istri, tetap saja rasa itu tidak pernah hilang. Terbersit keinginannya untuk melihat Ningrum kini. Juragan Pranata teringat nostalgia masa kecil.“Panji!" teriak Juragan Pranata bergema. Dia ingin membuat rencana untuk bertemu dengan Ningrum. Terbayang jika Ningrum juga bahagia berjumpa dirinya.Pemuda yang dipanggil Panji itu datang dengan tergopoh-gopoh. Dia cepat-cepat duduk bersila di hadapan pimpinan perguruan Serigala Putih tersebut. Hatinya cemas takut melakukan kesalahan tanpa disadarinya. Panji tertunduk diam, menunggu perintah."Aku … aku …." Tiba-tiba saja Juragan Pranata tidak bisa berkata-kata. Dirinya yang biasanya galak dan sangar menjadi lembek tatkala teringat Ningrum. Wanita itu membuat lemah hatinya. Dirinya
Semboja menjerit saat tiba-tiba di belakangnya ada seseorang. Dia menyangka itu adalah Mardawa. “Kau … kau ternyata bohong, Serigala Perak!” tuduh Semboja. Gadis itu mundur beberapa langkah, dia takut dengan kekejaman Serigala Perak. Dia masih ingat dengan cerita tentang kematian Intan yang misterius.“Aku ingin menjadikanmu Ratu di sini, Semboja.” Serigala Perak menyampaikan keinginannya. Ternyata semua alasan tentang Tarian Pemikat Serigala itu bohong belaka. Itu hanyalah akal-akalan Serigala Perak agar bisa tinggal.“Aku tidak mau!” ujar Semboja tegas. Dia bersiap untuk berbalik. Dirinya harus segera ke tempat Mardawa tadi.“Tetap di situ!” perintah Serigala Perak. Nada suaranya dingin membuat gadis itu merinding. Gadis itu tetap mundur tanpa memperhatikan jalan. Duk!Hampir copot rasanya jantung Semboja saat punggungnya menabrak seseorang. “Ooh, rupanya kau, Kakang,” gumam Semboja sambil menghela napas lega. “Mundur, Semboja. Biar aku yang hadapi!” suruh Mardawa. Pemuda itu ta
Suwita muda berlari menuju hutan. Dia sudah selesai berguru kepada Eyang Danareksa di puncak Gunung Galunggung. Saatnya kini dirinya kembali dan berbaur dengan masyarakat."Aduh, sakit!"Terdengar suara mengaduh di telinga Suwita. Pemuda itu berhenti sejenak, melihat sekeliling. Tidak ada orang sama sekali. Hutan belantara yang terlihat olehnya."Tolong!" Terdengar kembali suara lamat-lamat di telinga Suwita. Pemuda itu mengernyitkan dahinya. Ada yang aneh dengan suara itu. Terdengar kecil dan lemah, tapi seperti berjarak dekat."Kamu siapa?" Akhirnya Suwita memberanikan diri bertanya. Sikapnya waspada takut ada serangan mendadak yang tidak diduga-duga. "Ini pasti perbuatan siluman," pikir Suwita."Aku di sini!" Teriakan halus kembali terdengar di telinga pemuda itu. Dia makin penasaran, lalu celingukan melihat sekeliling."Di mana?" Suwita bertanya lagi sambil bertolak pinggang. Rupanya dirinya tidak berhasil melihat orang di sekelilingnya. Pemuda itu menggaruk kepalanya karena bin
Mardawa dan Semboja kembali berlari menembus hutan. Mereka harus segera tiba di tempat Eyang Suwita sebelum matahari tenggelam. “Ternyata biang kerok pembunuhan berantai itu adalah Serigala Perak.” Semboja berkata sambil mengatur napasnya yang memburu. “Kita sudah curiga kepada Juragan Pranata.”‘Belum jelas juga apakah pelaku teror itu adalah Serigala Perak. Kalau perampokan sudah tentu dia yang melakukannya.” Mardawa mencoba berpikir bijak.Semboja diam sambil meneruskan kembali perjalanannya. Suasana hening dalam hutan, sepi dan tenang. Sesekali suara kera di kejauhan menjerit. Burung-burung yang hendak pergi tidur juga bercericit.“Ada apa?” tanya Semboja melihat Mardawa berhenti secara mendadak.“Ssst!” Pemuda itu meletakkan telunjuknya di bibir. Semboja menurut, dia ikut waspada dalam diam.“Tolong … tolong!” Terdengar jerit seorang perempuan dari semak-semak. Suaranya terdengar kecil sekali tapi jelas di telinga Mardawa.Itulah mengapa pemuda itu menghentikan larinya mendengar