Semboja menjerit saat tiba-tiba di belakangnya ada seseorang. Dia menyangka itu adalah Mardawa. “Kau … kau ternyata bohong, Serigala Perak!” tuduh Semboja. Gadis itu mundur beberapa langkah, dia takut dengan kekejaman Serigala Perak. Dia masih ingat dengan cerita tentang kematian Intan yang misterius.“Aku ingin menjadikanmu Ratu di sini, Semboja.” Serigala Perak menyampaikan keinginannya. Ternyata semua alasan tentang Tarian Pemikat Serigala itu bohong belaka. Itu hanyalah akal-akalan Serigala Perak agar bisa tinggal.“Aku tidak mau!” ujar Semboja tegas. Dia bersiap untuk berbalik. Dirinya harus segera ke tempat Mardawa tadi.“Tetap di situ!” perintah Serigala Perak. Nada suaranya dingin membuat gadis itu merinding. Gadis itu tetap mundur tanpa memperhatikan jalan. Duk!Hampir copot rasanya jantung Semboja saat punggungnya menabrak seseorang. “Ooh, rupanya kau, Kakang,” gumam Semboja sambil menghela napas lega. “Mundur, Semboja. Biar aku yang hadapi!” suruh Mardawa. Pemuda itu ta
Suwita muda berlari menuju hutan. Dia sudah selesai berguru kepada Eyang Danareksa di puncak Gunung Galunggung. Saatnya kini dirinya kembali dan berbaur dengan masyarakat."Aduh, sakit!"Terdengar suara mengaduh di telinga Suwita. Pemuda itu berhenti sejenak, melihat sekeliling. Tidak ada orang sama sekali. Hutan belantara yang terlihat olehnya."Tolong!" Terdengar kembali suara lamat-lamat di telinga Suwita. Pemuda itu mengernyitkan dahinya. Ada yang aneh dengan suara itu. Terdengar kecil dan lemah, tapi seperti berjarak dekat."Kamu siapa?" Akhirnya Suwita memberanikan diri bertanya. Sikapnya waspada takut ada serangan mendadak yang tidak diduga-duga. "Ini pasti perbuatan siluman," pikir Suwita."Aku di sini!" Teriakan halus kembali terdengar di telinga pemuda itu. Dia makin penasaran, lalu celingukan melihat sekeliling."Di mana?" Suwita bertanya lagi sambil bertolak pinggang. Rupanya dirinya tidak berhasil melihat orang di sekelilingnya. Pemuda itu menggaruk kepalanya karena bin
Mardawa dan Semboja kembali berlari menembus hutan. Mereka harus segera tiba di tempat Eyang Suwita sebelum matahari tenggelam. “Ternyata biang kerok pembunuhan berantai itu adalah Serigala Perak.” Semboja berkata sambil mengatur napasnya yang memburu. “Kita sudah curiga kepada Juragan Pranata.”‘Belum jelas juga apakah pelaku teror itu adalah Serigala Perak. Kalau perampokan sudah tentu dia yang melakukannya.” Mardawa mencoba berpikir bijak.Semboja diam sambil meneruskan kembali perjalanannya. Suasana hening dalam hutan, sepi dan tenang. Sesekali suara kera di kejauhan menjerit. Burung-burung yang hendak pergi tidur juga bercericit.“Ada apa?” tanya Semboja melihat Mardawa berhenti secara mendadak.“Ssst!” Pemuda itu meletakkan telunjuknya di bibir. Semboja menurut, dia ikut waspada dalam diam.“Tolong … tolong!” Terdengar jerit seorang perempuan dari semak-semak. Suaranya terdengar kecil sekali tapi jelas di telinga Mardawa.Itulah mengapa pemuda itu menghentikan larinya mendengar
Rupanya peri itu tidak menyerah. Dirinya tetap membuntuti Mardawa dan Semboja. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus segera diselesaikan. Hanya Mardawa yang bisa membantunya.Tadinya Mardawa tidak sadar jika Oli masih membuntutinya. Dia dan Semboja berlari cepat menuju pondok Eyang Suwita. Namun, tanpa sengaja Mardawa melihat peri tersebut masih terbang di belakangnya. Pemuda itu menghentikan larinya. Semboja turut berhenti.“Kamu pulang sana!” suruh Mardawa kepada Oli. Dia merasa tidak nyaman terus dikuntit oleh makhluk asing itu.“Hihi hihi hihi … ada-ada saja. Tadi ngajak sekarang nyuruh pulang, gak jelas!” seru Holia alias Oli. Biarpun makhluk itu berteriak tetap saja terdengar samar-samar di telinga Mardawa.“Eh, tunggu!” Mardawa menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Tentu saja Oli juga tiba-tiba menghentikan terbangnya. Namun, sial baginya dia mengerem terlalu keras. Badannya yang kecil itu jungkir balik jadinya. Mardawa cepat-cepat menutup mata karena dalaman si Oli ke
Mardawa kaget mendengar perkataan Oli. Dia tidak menyangka sama sekali jika makhluk kecil itu sudah berani lancang padanya. Membawa ke negerinya tanpa izin terlebih dahulu. Mardawa berhenti dan menolak mengikuti Oli lagi.“Eh … mengapa berhenti? Sudah deket ini,” tanya Oli heran. Dia terbang mendekati Mardawa. Semboja mendekati Mardawa, dia merasa khawatir."Kita kembali!" suruh Mardawa tegas. "Banyak urusan yang aku tinggalkan, sekarang kamu malah menyesatkan aku." Mardawa mengomel panjang lebar. Dia tidak rela jika waktunya terbuang percuma."Aku tidak menyesatkanmu, sengaja karena ada sebuah urusan yang harus kamu selesaikan," ujar Oli sungguh-sungguh. Dia sangat berharap jika Mardawa bersedia menolong dirinya."Urusan apa?" tanya pemuda itu lagi. Dia merasa tidak pernah berurusan dengan peri kecil bersayap itu. Ini saja baru tahu jika ada makhluk seperti itu di dunia. Lah, ini malah disuruh menyelesaikan sebuah urusan. "Ada-ada saja, kamu Oli." "Aku tidak sedang bercanda. Lihat i
“Semboja apakah dirimu akan kuantar ke rumahmu?” tanya Mardawa. Rumah Semboja dekat dari jalan yang akan mereka lewati.“Baiklah, Kakang. Aku akan mampir ke rumah. Besok aku akan pergi ke tempat Eyang Suwita di puncak gunung.Dengan segera Mardawa mengantar Semboja pulang. Dengan penuh kekuatan dia segera berlari menuju puncak gunung di mana pondok Eyang Suwita berada.Mardawa datang tepat saat bulan purnama menghilang karena awan kelabu mulai terlihat. Dia tidak melihat Eyang Suwita, begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma."Mungkin masih tidur," pikir pemuda itu.Mardawa langsung masuk pondok dan berniat tidur karena kepenatan menyiksanya. Perjalanan misterius yang baru saja ditempuhnya sungguh tidak masuk akal."Aku tidak sedang bermimpi, sudah beberapa hari ini Oli mengikuti aku," kata batin Mardawa. Dia memandang langit-langit pondok, banyak sarang laba-laba di sana. Dia tidak ingat kapan terakhir membersihkan pondok itu.Lamunannya melayang, teringat kembali dengan kata-kata Oli. Eyan
“Celaka Eyang … celaka!" seru Mardawa yang tiba-tiba muncul. Wajahnya pucat pasi seperti habis bertemu hantu."Ada apa, Kakang?" tanya Semboja yang sudah datang pagi-pagi sekali. Dia berdiri turut waspada. "Apakah ada binatang buas atau hantu?"Begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma juga hadir. Mereka hanya terpaku melihat tingkah Mardawa."Ikut aku?" Tanpa menunggu jawaban mereka, pemuda melompat dan berlari ke suatu tempat. Eyang Suwita, Dewi Rimbu serta Semboja serentak mengikuti.Mereka terpaku saat melihat Mardawa tengah berbicara dengan seseorang. Suwita berkali-kali mengucek matanya."Oli," kata lelaki tua itu tercekat. Dia tidak mempercayai penglihatannya tapi kenyataannya seperti itu.Dewi Rimbu dan Kusuma hanya saling pandang. Tidak menyangka jika cerita yang baru saja didengar kini ada di hadapan. Peri itu terbang di depan mata. Imajinasi mereka tentang peri terjawab sudah.Mereka tidak berani mendekat, hanya Eyang Suwita yang mendekati Mardawa. Sejenak Oli dan Eyang Suwita bert
Oli cepat-cepat berdiri di samping tempat tidur Ratu Rowina. Begitu juga Eyang Suwita serta Mardawa. Dewi Rimbu dan Semboja ikut bersiaga. Mardawa berbalik menghadap Ratu Rowina."Ratu Zarima," desis Oli. Para peri bersiaga di sekeliling Ratu Rowina. Wajah mereka pucat pasi. Orang yang paling ditakuti saat ini di Negeri Peri itu berdiri dengan pongah."Siapa dia?" bisik Semboja kepada Dewi Rimbu. Kedua gadis itu bersiap dengan jurus masing-masing. Dewi Rimbu menggelengkan kepalanya. Namun, dia memperkirakan jika wanita itu orang jahat."Ahahaha hahaha hahaha. Bagus Holiya … bagus!" seru Ratu Zarima sambil bertepuk tangan. "Kamu sudah bawa sekutu ke sini untuk melawanku!" Sambil bertolak pinggang wanita bangsawan itu mengedarkan pandangan ke arah Mardawa dan kawan-kawannya.Oli diam saja, dia melirik Ratu Rowina, masih berharap wanita itu bangun. Namun, dia tetap tertidur tanpa bergerak. Keajaiban yang diharapkannya tidak kunjung terwujud."Aku tidak membawa sekutu," jawab Oli dengan s
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti