Oli cepat-cepat berdiri di samping tempat tidur Ratu Rowina. Begitu juga Eyang Suwita serta Mardawa. Dewi Rimbu dan Semboja ikut bersiaga. Mardawa berbalik menghadap Ratu Rowina."Ratu Zarima," desis Oli. Para peri bersiaga di sekeliling Ratu Rowina. Wajah mereka pucat pasi. Orang yang paling ditakuti saat ini di Negeri Peri itu berdiri dengan pongah."Siapa dia?" bisik Semboja kepada Dewi Rimbu. Kedua gadis itu bersiap dengan jurus masing-masing. Dewi Rimbu menggelengkan kepalanya. Namun, dia memperkirakan jika wanita itu orang jahat."Ahahaha hahaha hahaha. Bagus Holiya … bagus!" seru Ratu Zarima sambil bertepuk tangan. "Kamu sudah bawa sekutu ke sini untuk melawanku!" Sambil bertolak pinggang wanita bangsawan itu mengedarkan pandangan ke arah Mardawa dan kawan-kawannya.Oli diam saja, dia melirik Ratu Rowina, masih berharap wanita itu bangun. Namun, dia tetap tertidur tanpa bergerak. Keajaiban yang diharapkannya tidak kunjung terwujud."Aku tidak membawa sekutu," jawab Oli dengan s
Kalung permata, benda itu sangat berharga bagi masing-masing peri. Begitu pula bagi Ratu Zarima, wanita itu tidak mau kehilangan permata di kalungnya. Ibarat nyawa baginya yang menunjukkan jika dirinya seorang Ratu. “Tidak … tidak! Aku tidak akan mengganggumu lagi, Rowina! Lepaskan tanganku!” teriak Ratu Zarima. Rupanya dia sudah mengukur kemampuannya tidak cukup untuk melawan Ratu Rowina. Wajahnya pucat saat melihat kemarahan pada raut wajah Ratu Rowina. Dia tidak menyangka Ratu yang sudah tertidur puluhan tahun tersebut bisa bangun kembali. Tepat di saat dirinya akan mengambil alih kerajaan tersebut. “Aku terlambat, mengapa tidak dari dulu aku ambil alih kerajaan ini,” pikir Ratu Zarima. Dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Baru terpikir sekarang melakukan kudeta.“Tidak tahu diri!” umpat Ratu Rowina sambil mendorong tangan Ratu Zarima. Ratu zalim itu meluncur tanpa ampun.“Aaa!” Ratu Zarima terjatuh, dia berteriak kencang. Oli dengan sigap memburu wanita tersebut. “Pergi!” R
Mardawa menerima dua kalung dari Oli. Dia melihat permata yang berbeda warna itu dengan seksama. Ada gambar mahkota dalam permata berwarna merah dan gambar seorang ksatria dalam permata berwarna biru."Bisakah kamu memilih?" tanya Oli kepada Mardawa. Sengaja peri tersebut tidak menyebutkan yang mana buat pemuda itu. Gadis itu ingin melihat kejujuran mereka."Aku bisa memilihnya. Ini untukku dan ini buat Eyang Suwita." Mardawa menjawab sambil memberikan kalung permata merah untuk gurunya. Dia cukup tahu diri saat memilih, gambar di permata sudah menunjukkan siapa pemiliknya."Bagus jika kamu bisa memilih. Setelah pernikahan Ratu, kalian boleh kembali." Oli berkata sambil berlalu meninggalkan mereka. Hatinya memuji, di dalam jiwa Mardawa tidak ada keserakahan."Akhirnya, kita bisa kembali." Semboja bertepuk tangan karena gembira. Dia merasa tidak nyaman tinggal di negeri peri."Padahal aku betah di sini. Ratu Kali Wingit tidak bisa menemukanku jika aku tinggal di sini." Kebalikan dari S
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi