Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Tolong ... tolong!" jerit seorang gadis sambil berlari sekuat tenaga. Ia tengah berusaha lolos dari kejaran seekor binatang buas. Napasnya terengah-engah tidak karuan. Degup jantungnya semakin cepat seiring gerakan kakinya berlari. Ia setengah mati membagi fokus antara jalan di depan dan binatang buas di belakang.Gadis itu terus berlari. Wajahnya pucat hampir putus asa. Di depan sana, tepat di sebelah pepohonan, ia melihat semak-semak. Secepat kilat ia melewati pepohonan lalu melesat menyelinap ke balik semak. Diam, ketakutan bercampur kewaspadaan yang tak boleh berkurang sedikit pun. Dia menunggu, hingga sekian waktu tak didapatinya suara langkah maupun tanda-tanda binatang yang mengejarnya tadi. Ia pun bisa menghela napas. Sebuah kelegaan hingga bisa meluruskan kakinya yang pegal dan sakit. Tanpa alas kaki, berlari di tengah hutan dengan membabi buta, tentu saja kaki dipenuhi goresan luka. Dengan meringis menahan perih, dirinya memijat pelan kedua kaki. Dalam hati berpikir, akhir
Mardawa terus berlari tanpa henti. Dia harus mencapai kampung terdekat sebelum malam tiba. Perasaan was-was muncul seketika karena tidak ada yang dikenalnya di daerah itu. Dirinya adalah orang asing, tak lepas kemungkinan dicurigai oleh masyarakat atas kejadian pembunuhan yang tengah meneror warga. Tiba di pinggir sungai Mardawa berhenti. Dia melepas dahaga dengan meminum air sungai itu. Tanpa disadari ada sepasang mata yang mengawasi dengan raut wajah ketakutan.“Aaah … segarnya.” Mardawa berdiri sambil mengusap wajah. Sejenak dia memandang berkeliling sambil bertolak pinggang. “Aduh.” Seseorang terdengar mengaduh.Mardawa cepat menoleh ke asal suara. Terlihat oleh pemuda itu seorang gadis sedang memegang salah satu kakinya yang berdarah. Dengan sigap Mardawa mendekati gadis tersebut.“Mengapa kamu terluka? Tunggu, aku cari obatnya!” Mardawa tidak menunggu jawaban gadis itu. Dia segera mencari daun-daunan untuk menghentikan darah dari luka gadis tersebut. Gadis itu hanya melongo, d
Pranata sangat disegani sekaligus ditakuti. Selain wajah yang angker, perangainya juga sangat buruk. Setiap ada gadis cantik pasti selalu diambil paksa untuk dijadikan gundik. Belum keonaran yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum jika dia adalah dalang di setiap perampokan.“Lamun teu kauntun tipung, katambang beas hlahhksana kapiduriat. Matak paeh ngabale bangke, matak edan leuleuweungan.” Nyi Ronggeng masih nyinden sambil menari. Wajahnya yang cantik semakin bersinar di bawah cahaya lampu yang benderang. “Sawer … sawer!” Penduduk ramai berteriak-teriak. Tentu saja Pranata semakin bersemangat melemparkan uang. Sinden itu mandi uang dengan kepingan-kepingan logam tersebut di seluruh tubuhnya. Pranata membisikkan sesuatu ke telinga sinden. Gadis itu sekilas tampak kaget, lalu tersenyum masam menanggapinya.Dengan tanpa malu-malu, laki-laki itu melingkarkan tangan di pinggang ramping sinden. Tentu saja penonton tambah ramai bersorak. Pranata semakin bersemangat, beberapa pundi kepin
Secercah harapan terbit tentang terkuaknya misteri ini. Mardawa memandang lekat pemuda di hadapan. Dia merasa penasaran dengan ucapan pemuda tadi.“Apa maksudmu? Cepat katakan!” desak Mardawa karena pemuda itu hanya diam. Orang-orang menjadi terbagi perhatian oleh ucapan Mardawa.“Dia … dia … Nyi Ronggeng yang tadi malam menari bersama dengan Pranata.” Lelaki itu berbisik dengan suara gemetar. “Pantas aku seperti pernah melihatmu. Apakah kamu tukang kendang yang ikut pertunjukan tadi?” tanya Mardawa penasaran.Lelaki itu menoleh melihat sekitar. Dia seperti merasa ada yang memperhatikannya dengan penuh ancaman hingga dia merasa sangat ketakutan. Mardawa mengikuti pandangan lelaki tersebut, tapi dia tidak menemukan orang yang mencurigakan.“Ya. Akang harus mencari Sari Semboja, dia tahu sesuatu. Sekarang aku harus pergi.” Tanpa basa-basi lagi pemuda itu cepat berlalu dari tempat tersebut.“Hei, tunggu!” seru Mardawa. Pemuda itu berniat mengejar, karena apa yang dikatakannya tidak jela
Set set set jleng!Tiba-tiba dihadapan Sari sudah berdiri seorang laki-laki yang menatap tajam dirinya. Sari kaget, refleks dia mendekap kantong kecil yang berisi uang hasil saweran.Semboja mundur sambil memeluk kantong kain erat-erat. Dia tidak tahu siapa yang datang tersebut. Gadis yang tengah menantikan seseorang itu hanya terdiam. Tidak berani bergerak apalagi berlari, kakinya seperti terpaku ke bumi. Dia bersiaga, jika laki-laki itu berniat jahat, dirinya akan melawan sekuat tenaga. Orang yang ditunggu-tunggu juga tak kunjung muncul. Sang paman yang menjadi penjemput setia pun tidak juga tiba.“Kemanakah dia? Biasanya tak pernah terlambat.” Gadis itu mengeluh dalam hati. Dia merasa terancam dengan kehadiran sosok di hadapan.Sari yakin, sosok yang mencegatnya adalah seorang lelaki. Dia merasa mengenal sosok itu dari perawakan tubuhnya. Bersembunyi di balik penutup muka berwarna hitam, mata tajamnya benar-benar mengintimidasi Sari untuk tidak beranjak dari tempat berdiri. Sosok
Semboja menghentikan langkahnya dan melihat pemuda asing itu. Dia tidak percaya jika Mardawa mengenal Intan."Apa? Kamu kenal dengannya?" tanya Semboja. Pemuda itu menggeleng. Semboja tambah tidak mengerti dengan perkataan Mardawa tadi. Apa maksud pemuda itu bercerita tentang Intan."Lalu …." Kalimat Semboja menggantung. "Dia semalam terbunuh." Lemas lutut Semboja mendengarnya. Kaget sekaligus tidak percaya dengan ucapan pemuda di depannya."Jangan berkata sembarangan!" Semboja mendelik. Dia marah dengan ucapan Mardawa yang dikiranya bercanda. Cepat-cepat dia berjalan mendahului pemuda itu. Dadanya gemuruh dengan bermacam-macam perasaan. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang dikabarkan Mardawa."Dia tewas dibunuh binatang buas." Mardawa meyakinkan sambil menjejeri langkah gadis tersebut. Pemuda itu bahkan sampai berlari kecil karena Semboja gesit berjalan cepat."A … apa?" Dengan terbata-bata Semboja bertanya. Terbayang olehnya wajah Intan yang cantik. Dirinya begitu mengagumi s
Mardawa duduk melamun di cabang sebatang pohon. Wajah Semboja masih menggoda hatinya. Senyum gadis itu meluluhkan hatinya. Biasanya dia hanya bertemu dengan Eyang Suwita. Kini, banyak gadis cantik yang tersenyum begitu manis padanya. "Hehehe." Mardawa tertawa sendiri. Dia cengar-cengir macam orang gila. Terbayang jika dirinya dicintai banyak wanita. "Tentu menyenangkan. Hihihi." Wajah jahilnya menyeringai. Dia jadi ingin mencoba. "Aaauuuuu!"Hampir terjatuh Mardawa mendengar suara itu. Dia yang tengah bersantai dengan bertumpang kaki sambil rebahan kaget seketika. "Ada suara serigala? Dari mana?" batinnya. Pemuda itu segera duduk menjuntaikan kaki. Matanya nyalang menyisir sekitarnya. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. "Jelas sekali kalau itu suara serigala." Mardawa meyakinkan dirinya. Dia tahu karena sering mendengar tapi belum pernah bersua. Hidupnya dari kecil tinggal di hutan, jadi dia tahu jenis-jenis suara binatang."Di mana serigala itu?" Mardawa masih menyelidiki dari t