Mardawa kaget mendengar perkataan Oli. Dia tidak menyangka sama sekali jika makhluk kecil itu sudah berani lancang padanya. Membawa ke negerinya tanpa izin terlebih dahulu. Mardawa berhenti dan menolak mengikuti Oli lagi.“Eh … mengapa berhenti? Sudah deket ini,” tanya Oli heran. Dia terbang mendekati Mardawa. Semboja mendekati Mardawa, dia merasa khawatir."Kita kembali!" suruh Mardawa tegas. "Banyak urusan yang aku tinggalkan, sekarang kamu malah menyesatkan aku." Mardawa mengomel panjang lebar. Dia tidak rela jika waktunya terbuang percuma."Aku tidak menyesatkanmu, sengaja karena ada sebuah urusan yang harus kamu selesaikan," ujar Oli sungguh-sungguh. Dia sangat berharap jika Mardawa bersedia menolong dirinya."Urusan apa?" tanya pemuda itu lagi. Dia merasa tidak pernah berurusan dengan peri kecil bersayap itu. Ini saja baru tahu jika ada makhluk seperti itu di dunia. Lah, ini malah disuruh menyelesaikan sebuah urusan. "Ada-ada saja, kamu Oli." "Aku tidak sedang bercanda. Lihat i
“Semboja apakah dirimu akan kuantar ke rumahmu?” tanya Mardawa. Rumah Semboja dekat dari jalan yang akan mereka lewati.“Baiklah, Kakang. Aku akan mampir ke rumah. Besok aku akan pergi ke tempat Eyang Suwita di puncak gunung.Dengan segera Mardawa mengantar Semboja pulang. Dengan penuh kekuatan dia segera berlari menuju puncak gunung di mana pondok Eyang Suwita berada.Mardawa datang tepat saat bulan purnama menghilang karena awan kelabu mulai terlihat. Dia tidak melihat Eyang Suwita, begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma."Mungkin masih tidur," pikir pemuda itu.Mardawa langsung masuk pondok dan berniat tidur karena kepenatan menyiksanya. Perjalanan misterius yang baru saja ditempuhnya sungguh tidak masuk akal."Aku tidak sedang bermimpi, sudah beberapa hari ini Oli mengikuti aku," kata batin Mardawa. Dia memandang langit-langit pondok, banyak sarang laba-laba di sana. Dia tidak ingat kapan terakhir membersihkan pondok itu.Lamunannya melayang, teringat kembali dengan kata-kata Oli. Eyan
“Celaka Eyang … celaka!" seru Mardawa yang tiba-tiba muncul. Wajahnya pucat pasi seperti habis bertemu hantu."Ada apa, Kakang?" tanya Semboja yang sudah datang pagi-pagi sekali. Dia berdiri turut waspada. "Apakah ada binatang buas atau hantu?"Begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma juga hadir. Mereka hanya terpaku melihat tingkah Mardawa."Ikut aku?" Tanpa menunggu jawaban mereka, pemuda melompat dan berlari ke suatu tempat. Eyang Suwita, Dewi Rimbu serta Semboja serentak mengikuti.Mereka terpaku saat melihat Mardawa tengah berbicara dengan seseorang. Suwita berkali-kali mengucek matanya."Oli," kata lelaki tua itu tercekat. Dia tidak mempercayai penglihatannya tapi kenyataannya seperti itu.Dewi Rimbu dan Kusuma hanya saling pandang. Tidak menyangka jika cerita yang baru saja didengar kini ada di hadapan. Peri itu terbang di depan mata. Imajinasi mereka tentang peri terjawab sudah.Mereka tidak berani mendekat, hanya Eyang Suwita yang mendekati Mardawa. Sejenak Oli dan Eyang Suwita bert
Oli cepat-cepat berdiri di samping tempat tidur Ratu Rowina. Begitu juga Eyang Suwita serta Mardawa. Dewi Rimbu dan Semboja ikut bersiaga. Mardawa berbalik menghadap Ratu Rowina."Ratu Zarima," desis Oli. Para peri bersiaga di sekeliling Ratu Rowina. Wajah mereka pucat pasi. Orang yang paling ditakuti saat ini di Negeri Peri itu berdiri dengan pongah."Siapa dia?" bisik Semboja kepada Dewi Rimbu. Kedua gadis itu bersiap dengan jurus masing-masing. Dewi Rimbu menggelengkan kepalanya. Namun, dia memperkirakan jika wanita itu orang jahat."Ahahaha hahaha hahaha. Bagus Holiya … bagus!" seru Ratu Zarima sambil bertepuk tangan. "Kamu sudah bawa sekutu ke sini untuk melawanku!" Sambil bertolak pinggang wanita bangsawan itu mengedarkan pandangan ke arah Mardawa dan kawan-kawannya.Oli diam saja, dia melirik Ratu Rowina, masih berharap wanita itu bangun. Namun, dia tetap tertidur tanpa bergerak. Keajaiban yang diharapkannya tidak kunjung terwujud."Aku tidak membawa sekutu," jawab Oli dengan s
Kalung permata, benda itu sangat berharga bagi masing-masing peri. Begitu pula bagi Ratu Zarima, wanita itu tidak mau kehilangan permata di kalungnya. Ibarat nyawa baginya yang menunjukkan jika dirinya seorang Ratu. “Tidak … tidak! Aku tidak akan mengganggumu lagi, Rowina! Lepaskan tanganku!” teriak Ratu Zarima. Rupanya dia sudah mengukur kemampuannya tidak cukup untuk melawan Ratu Rowina. Wajahnya pucat saat melihat kemarahan pada raut wajah Ratu Rowina. Dia tidak menyangka Ratu yang sudah tertidur puluhan tahun tersebut bisa bangun kembali. Tepat di saat dirinya akan mengambil alih kerajaan tersebut. “Aku terlambat, mengapa tidak dari dulu aku ambil alih kerajaan ini,” pikir Ratu Zarima. Dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Baru terpikir sekarang melakukan kudeta.“Tidak tahu diri!” umpat Ratu Rowina sambil mendorong tangan Ratu Zarima. Ratu zalim itu meluncur tanpa ampun.“Aaa!” Ratu Zarima terjatuh, dia berteriak kencang. Oli dengan sigap memburu wanita tersebut. “Pergi!” R
Mardawa menerima dua kalung dari Oli. Dia melihat permata yang berbeda warna itu dengan seksama. Ada gambar mahkota dalam permata berwarna merah dan gambar seorang ksatria dalam permata berwarna biru."Bisakah kamu memilih?" tanya Oli kepada Mardawa. Sengaja peri tersebut tidak menyebutkan yang mana buat pemuda itu. Gadis itu ingin melihat kejujuran mereka."Aku bisa memilihnya. Ini untukku dan ini buat Eyang Suwita." Mardawa menjawab sambil memberikan kalung permata merah untuk gurunya. Dia cukup tahu diri saat memilih, gambar di permata sudah menunjukkan siapa pemiliknya."Bagus jika kamu bisa memilih. Setelah pernikahan Ratu, kalian boleh kembali." Oli berkata sambil berlalu meninggalkan mereka. Hatinya memuji, di dalam jiwa Mardawa tidak ada keserakahan."Akhirnya, kita bisa kembali." Semboja bertepuk tangan karena gembira. Dia merasa tidak nyaman tinggal di negeri peri."Padahal aku betah di sini. Ratu Kali Wingit tidak bisa menemukanku jika aku tinggal di sini." Kebalikan dari S
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-