Juragan Pranata yang mempunyai masalalu kasih tak sampai pun masih mengingat Ningrum dalam benaknya. Dia memang tidak tahu lagi wujud gadis kecil itu sekarang. Namun, cinta masa kecil itu begitu membekas dalam ingatannya.Walaupun dirinya sudah mempunyai banyak istri, tetap saja rasa itu tidak pernah hilang. Terbersit keinginannya untuk melihat Ningrum kini. Juragan Pranata teringat nostalgia masa kecil.“Panji!" teriak Juragan Pranata bergema. Dia ingin membuat rencana untuk bertemu dengan Ningrum. Terbayang jika Ningrum juga bahagia berjumpa dirinya.Pemuda yang dipanggil Panji itu datang dengan tergopoh-gopoh. Dia cepat-cepat duduk bersila di hadapan pimpinan perguruan Serigala Putih tersebut. Hatinya cemas takut melakukan kesalahan tanpa disadarinya. Panji tertunduk diam, menunggu perintah."Aku … aku …." Tiba-tiba saja Juragan Pranata tidak bisa berkata-kata. Dirinya yang biasanya galak dan sangar menjadi lembek tatkala teringat Ningrum. Wanita itu membuat lemah hatinya. Dirinya
Semboja menjerit saat tiba-tiba di belakangnya ada seseorang. Dia menyangka itu adalah Mardawa. “Kau … kau ternyata bohong, Serigala Perak!” tuduh Semboja. Gadis itu mundur beberapa langkah, dia takut dengan kekejaman Serigala Perak. Dia masih ingat dengan cerita tentang kematian Intan yang misterius.“Aku ingin menjadikanmu Ratu di sini, Semboja.” Serigala Perak menyampaikan keinginannya. Ternyata semua alasan tentang Tarian Pemikat Serigala itu bohong belaka. Itu hanyalah akal-akalan Serigala Perak agar bisa tinggal.“Aku tidak mau!” ujar Semboja tegas. Dia bersiap untuk berbalik. Dirinya harus segera ke tempat Mardawa tadi.“Tetap di situ!” perintah Serigala Perak. Nada suaranya dingin membuat gadis itu merinding. Gadis itu tetap mundur tanpa memperhatikan jalan. Duk!Hampir copot rasanya jantung Semboja saat punggungnya menabrak seseorang. “Ooh, rupanya kau, Kakang,” gumam Semboja sambil menghela napas lega. “Mundur, Semboja. Biar aku yang hadapi!” suruh Mardawa. Pemuda itu ta
Suwita muda berlari menuju hutan. Dia sudah selesai berguru kepada Eyang Danareksa di puncak Gunung Galunggung. Saatnya kini dirinya kembali dan berbaur dengan masyarakat."Aduh, sakit!"Terdengar suara mengaduh di telinga Suwita. Pemuda itu berhenti sejenak, melihat sekeliling. Tidak ada orang sama sekali. Hutan belantara yang terlihat olehnya."Tolong!" Terdengar kembali suara lamat-lamat di telinga Suwita. Pemuda itu mengernyitkan dahinya. Ada yang aneh dengan suara itu. Terdengar kecil dan lemah, tapi seperti berjarak dekat."Kamu siapa?" Akhirnya Suwita memberanikan diri bertanya. Sikapnya waspada takut ada serangan mendadak yang tidak diduga-duga. "Ini pasti perbuatan siluman," pikir Suwita."Aku di sini!" Teriakan halus kembali terdengar di telinga pemuda itu. Dia makin penasaran, lalu celingukan melihat sekeliling."Di mana?" Suwita bertanya lagi sambil bertolak pinggang. Rupanya dirinya tidak berhasil melihat orang di sekelilingnya. Pemuda itu menggaruk kepalanya karena bin
Mardawa dan Semboja kembali berlari menembus hutan. Mereka harus segera tiba di tempat Eyang Suwita sebelum matahari tenggelam. “Ternyata biang kerok pembunuhan berantai itu adalah Serigala Perak.” Semboja berkata sambil mengatur napasnya yang memburu. “Kita sudah curiga kepada Juragan Pranata.”‘Belum jelas juga apakah pelaku teror itu adalah Serigala Perak. Kalau perampokan sudah tentu dia yang melakukannya.” Mardawa mencoba berpikir bijak.Semboja diam sambil meneruskan kembali perjalanannya. Suasana hening dalam hutan, sepi dan tenang. Sesekali suara kera di kejauhan menjerit. Burung-burung yang hendak pergi tidur juga bercericit.“Ada apa?” tanya Semboja melihat Mardawa berhenti secara mendadak.“Ssst!” Pemuda itu meletakkan telunjuknya di bibir. Semboja menurut, dia ikut waspada dalam diam.“Tolong … tolong!” Terdengar jerit seorang perempuan dari semak-semak. Suaranya terdengar kecil sekali tapi jelas di telinga Mardawa.Itulah mengapa pemuda itu menghentikan larinya mendengar
Rupanya peri itu tidak menyerah. Dirinya tetap membuntuti Mardawa dan Semboja. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus segera diselesaikan. Hanya Mardawa yang bisa membantunya.Tadinya Mardawa tidak sadar jika Oli masih membuntutinya. Dia dan Semboja berlari cepat menuju pondok Eyang Suwita. Namun, tanpa sengaja Mardawa melihat peri tersebut masih terbang di belakangnya. Pemuda itu menghentikan larinya. Semboja turut berhenti.“Kamu pulang sana!” suruh Mardawa kepada Oli. Dia merasa tidak nyaman terus dikuntit oleh makhluk asing itu.“Hihi hihi hihi … ada-ada saja. Tadi ngajak sekarang nyuruh pulang, gak jelas!” seru Holia alias Oli. Biarpun makhluk itu berteriak tetap saja terdengar samar-samar di telinga Mardawa.“Eh, tunggu!” Mardawa menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Tentu saja Oli juga tiba-tiba menghentikan terbangnya. Namun, sial baginya dia mengerem terlalu keras. Badannya yang kecil itu jungkir balik jadinya. Mardawa cepat-cepat menutup mata karena dalaman si Oli ke
Mardawa kaget mendengar perkataan Oli. Dia tidak menyangka sama sekali jika makhluk kecil itu sudah berani lancang padanya. Membawa ke negerinya tanpa izin terlebih dahulu. Mardawa berhenti dan menolak mengikuti Oli lagi.“Eh … mengapa berhenti? Sudah deket ini,” tanya Oli heran. Dia terbang mendekati Mardawa. Semboja mendekati Mardawa, dia merasa khawatir."Kita kembali!" suruh Mardawa tegas. "Banyak urusan yang aku tinggalkan, sekarang kamu malah menyesatkan aku." Mardawa mengomel panjang lebar. Dia tidak rela jika waktunya terbuang percuma."Aku tidak menyesatkanmu, sengaja karena ada sebuah urusan yang harus kamu selesaikan," ujar Oli sungguh-sungguh. Dia sangat berharap jika Mardawa bersedia menolong dirinya."Urusan apa?" tanya pemuda itu lagi. Dia merasa tidak pernah berurusan dengan peri kecil bersayap itu. Ini saja baru tahu jika ada makhluk seperti itu di dunia. Lah, ini malah disuruh menyelesaikan sebuah urusan. "Ada-ada saja, kamu Oli." "Aku tidak sedang bercanda. Lihat i
“Semboja apakah dirimu akan kuantar ke rumahmu?” tanya Mardawa. Rumah Semboja dekat dari jalan yang akan mereka lewati.“Baiklah, Kakang. Aku akan mampir ke rumah. Besok aku akan pergi ke tempat Eyang Suwita di puncak gunung.Dengan segera Mardawa mengantar Semboja pulang. Dengan penuh kekuatan dia segera berlari menuju puncak gunung di mana pondok Eyang Suwita berada.Mardawa datang tepat saat bulan purnama menghilang karena awan kelabu mulai terlihat. Dia tidak melihat Eyang Suwita, begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma."Mungkin masih tidur," pikir pemuda itu.Mardawa langsung masuk pondok dan berniat tidur karena kepenatan menyiksanya. Perjalanan misterius yang baru saja ditempuhnya sungguh tidak masuk akal."Aku tidak sedang bermimpi, sudah beberapa hari ini Oli mengikuti aku," kata batin Mardawa. Dia memandang langit-langit pondok, banyak sarang laba-laba di sana. Dia tidak ingat kapan terakhir membersihkan pondok itu.Lamunannya melayang, teringat kembali dengan kata-kata Oli. Eyan
“Celaka Eyang … celaka!" seru Mardawa yang tiba-tiba muncul. Wajahnya pucat pasi seperti habis bertemu hantu."Ada apa, Kakang?" tanya Semboja yang sudah datang pagi-pagi sekali. Dia berdiri turut waspada. "Apakah ada binatang buas atau hantu?"Begitu juga Dewi Rimbu dan Kusuma juga hadir. Mereka hanya terpaku melihat tingkah Mardawa."Ikut aku?" Tanpa menunggu jawaban mereka, pemuda melompat dan berlari ke suatu tempat. Eyang Suwita, Dewi Rimbu serta Semboja serentak mengikuti.Mereka terpaku saat melihat Mardawa tengah berbicara dengan seseorang. Suwita berkali-kali mengucek matanya."Oli," kata lelaki tua itu tercekat. Dia tidak mempercayai penglihatannya tapi kenyataannya seperti itu.Dewi Rimbu dan Kusuma hanya saling pandang. Tidak menyangka jika cerita yang baru saja didengar kini ada di hadapan. Peri itu terbang di depan mata. Imajinasi mereka tentang peri terjawab sudah.Mereka tidak berani mendekat, hanya Eyang Suwita yang mendekati Mardawa. Sejenak Oli dan Eyang Suwita bert