Berpuluh-puluh tahun yang silam.Pranata menangis di sisi sebuah pusara. Laki-laki cilik itu baru saja kehilangan bapaknya yang tewas di tangan seorang perampok. Kakaknya--Suwita berdiri mematung melihatnya. Rasa marah dan dendam menguasai hati Pranata, tapi tubuh kecilnya tidak mampu berbuat apa-apa.“Ayah, aku bersumpah untuk menjadi perampok yang paling hebat di jagat raya ini!” seru Pranata sambil berdiri. Bocah kecil itu mengusap ingusnya yang berleleran, matanya garang melihat langit. Tekadnya sudah bulat untuk membalas dendam kematian bapaknya dengan cara menjadi kepala perampok hebat.“Pranata!” teriak Suwita kaget. “Tarik kembali ucapanmu itu!” perintahnya kepada sang adik.Pemuda tanggung itu sangat terkejut mendengar perkataan Adiwangsa. Tidak menyangka sedikit pun ucapan itu keluar dari mulut bocah yang masih berusia sepuluh tahun. “Kita tidak boleh seperti itu, mana boleh balas dendam, Dek!” serunya panik. Suwita mencoba memberi pemahaman kepada Pranata.“Kakang, aku aka
Suwita melihat makhluk pengganggunya sudah pergi. Di hadapannya kini berdiri sesosok lelaki tua. Berpakaian putih panjang menjela serta berjenggot putih. Dalam hati pemuda itu gembira, semoga kali ini kakek tua itu adalah penolongnya. “Dasar Jurig Jarian! Mengganggu orang kerjanya!” gerutu kakek tersebut. Dia melihat ke arah Suwita yang masih gemetar ketakutan. “Kamu siapa, Nak?”“Namaku … namaku Suwita, Kek.” Suwita menjawab sambil terbata-bata. Dunia luar baginya sangat menakutkan dari bayangan. Rasanya dia tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Bapaknya dulu seorang pejabat di kampung, jadi bila dirinya ingin berjalan-jalan keluar selalu ada yang menemani. Entah dua atau tiga orang pembantunya.“Dari mana asalmu? Mengapa kamu tersesat di sini?” tanya kakek tua itu. Dia memandang lekat Suwita. Heran, mengapa ada anak kecil tersesat di wilayahnya. Berpuluh-puluh tahun dirinya menghuni Gunung Galunggung, tidak ada satu pun manusia yang tersesat sampai ke wilayahnya. Dirinya m
Suwita meluruskan tangan karena pegal. Sudah begitu lama dia menggendong bayi, tapi ibunya tak kunjung muncul. Suwita berdiri, berniat untuk kembali ke pondok. Namun karena masih ragu-ragu, akhirnya dia duduk kembali untuk menanti. Siapa tahu ibu bayi ini muncul karena hari sudah mulai malam.Pemuda itu baru saja ditinggal meninggal oleh gurunya. Tadi mendengar suara berisik ketika sedang bersemedi. Tidak disangka dirinya malah mendapat seorang bayi. Suwita benar-benar bingung, apa yang harus dilakukannya.“Apakah bayi ini tidak akan dijemput ibunya lagi?” gumam Suwita. Dia mendongak ke langit, hari sudah menjelang malam. Pemuda itu menengok bayi yang tampak mulai gelisah. “Dia kelaparan,” bisiknya sambil menyodorkan jari ke bibir bayi tersebut. Dengan segera bayi itu membuka mulut sambil menjulurkan lidahnya keluar-masuk.“Baiklah, aku akan membawamu pergi. Hup!” Suwita melompat dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Dia merasa ibunya bayi tersebut sudah tak mungkin kembali lagi.
Suatu pagi di pondok Eyang Suwita. Mardawa memandang Eyang Suwita yang sedang duduk termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki tua itu. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati gurunya. “Ada apa, Eyang?” tanya Mardawa.“Aku teringat dengan masa kecilku.” Eyang Suwita memandang Mardawa.“Cerita, Eyang!” suruh Mardawa. Pemuda itu duduk bersila, siap mendengarkan cerita masa kecil gurunya.**“Pranata … itu punya Ibu! Jangan coba-coba mengambil sesuatu di kamar Ibu!” Suwita menghardik adiknya. Dia memergoki adiknya tersebut mengambil kotak kayu berukir dari kamar ibunya. “Aku hanya ingin melihat saja bukan mencurinya, Kakang.” Pranata menjawab sambil tetap memegang kotak kayu itu.“Sini berikan! Nanti Ibu marah.” Suwita hendak mengambil paksa kotak tersebut. Namun, Pranata mempertahankannya. “Ya sudah lihat … nanti cepat kamu kembalikan sebelum Ibu tahu.” Seorang bocah perempuan mengawasi Pranata dan Suwita saat beradu mulut. Dia tidak berkata apa pun hanya terdiam mematung.Akhir
“Haha haha. Bagus Panji ... kamu berhasil!” seru Juragan Pranata gembira. Matanya berbinar melihat hasil rampokan anak buahnya itu. Tidak sia-sia dia membuat kerusuhan tadi di tempat hajatan.“Ide Juragan hebat!” Panji balik memuji Juragan Pranata. Lelaki yang dipuji tertawa senang sambil memelintir kumisnya.“Ayo pisah-pisahin! Emas dan uang kasih sini!” Juragan Pranata berteriak lagi. Anak buahnya dengan cekatan memisahkan hasil rampokan mereka. Beberapa kantong uang koin dan kotak perhiasan penduduk berpindah tangan.Juragan Pranata memeriksa sebuah kotak perhiasan yang tampak lain ukirannya. Dia membolak-balik kotak tersebut sambil mengingat-ingat. “Aku pernah melihat kotak ini dulu … tapi di mana, ya?” tanya Juragan Pranata pada dirinya sendiri. Dia memeras ingatannya untuk mengingat kembali semua peristiwa dalam hidupnya.Lama Juragan Pranata membolak-balik kotak tersebut. Memori masa kecilnya dipaksakan untuk mengingat semuanya. Lambat laun dia ingat dengan masa lalunya. Masa
Juragan Pranata yang mempunyai masalalu kasih tak sampai pun masih mengingat Ningrum dalam benaknya. Dia memang tidak tahu lagi wujud gadis kecil itu sekarang. Namun, cinta masa kecil itu begitu membekas dalam ingatannya.Walaupun dirinya sudah mempunyai banyak istri, tetap saja rasa itu tidak pernah hilang. Terbersit keinginannya untuk melihat Ningrum kini. Juragan Pranata teringat nostalgia masa kecil.“Panji!" teriak Juragan Pranata bergema. Dia ingin membuat rencana untuk bertemu dengan Ningrum. Terbayang jika Ningrum juga bahagia berjumpa dirinya.Pemuda yang dipanggil Panji itu datang dengan tergopoh-gopoh. Dia cepat-cepat duduk bersila di hadapan pimpinan perguruan Serigala Putih tersebut. Hatinya cemas takut melakukan kesalahan tanpa disadarinya. Panji tertunduk diam, menunggu perintah."Aku … aku …." Tiba-tiba saja Juragan Pranata tidak bisa berkata-kata. Dirinya yang biasanya galak dan sangar menjadi lembek tatkala teringat Ningrum. Wanita itu membuat lemah hatinya. Dirinya
Semboja menjerit saat tiba-tiba di belakangnya ada seseorang. Dia menyangka itu adalah Mardawa. “Kau … kau ternyata bohong, Serigala Perak!” tuduh Semboja. Gadis itu mundur beberapa langkah, dia takut dengan kekejaman Serigala Perak. Dia masih ingat dengan cerita tentang kematian Intan yang misterius.“Aku ingin menjadikanmu Ratu di sini, Semboja.” Serigala Perak menyampaikan keinginannya. Ternyata semua alasan tentang Tarian Pemikat Serigala itu bohong belaka. Itu hanyalah akal-akalan Serigala Perak agar bisa tinggal.“Aku tidak mau!” ujar Semboja tegas. Dia bersiap untuk berbalik. Dirinya harus segera ke tempat Mardawa tadi.“Tetap di situ!” perintah Serigala Perak. Nada suaranya dingin membuat gadis itu merinding. Gadis itu tetap mundur tanpa memperhatikan jalan. Duk!Hampir copot rasanya jantung Semboja saat punggungnya menabrak seseorang. “Ooh, rupanya kau, Kakang,” gumam Semboja sambil menghela napas lega. “Mundur, Semboja. Biar aku yang hadapi!” suruh Mardawa. Pemuda itu ta
Suwita muda berlari menuju hutan. Dia sudah selesai berguru kepada Eyang Danareksa di puncak Gunung Galunggung. Saatnya kini dirinya kembali dan berbaur dengan masyarakat."Aduh, sakit!"Terdengar suara mengaduh di telinga Suwita. Pemuda itu berhenti sejenak, melihat sekeliling. Tidak ada orang sama sekali. Hutan belantara yang terlihat olehnya."Tolong!" Terdengar kembali suara lamat-lamat di telinga Suwita. Pemuda itu mengernyitkan dahinya. Ada yang aneh dengan suara itu. Terdengar kecil dan lemah, tapi seperti berjarak dekat."Kamu siapa?" Akhirnya Suwita memberanikan diri bertanya. Sikapnya waspada takut ada serangan mendadak yang tidak diduga-duga. "Ini pasti perbuatan siluman," pikir Suwita."Aku di sini!" Teriakan halus kembali terdengar di telinga pemuda itu. Dia makin penasaran, lalu celingukan melihat sekeliling."Di mana?" Suwita bertanya lagi sambil bertolak pinggang. Rupanya dirinya tidak berhasil melihat orang di sekelilingnya. Pemuda itu menggaruk kepalanya karena bin
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti