Setelah mendekat, Reagan baru menyadari bahwa rambut bergelombang Nadine yang indah, kini telah diluruskan dan warna rambut favoritnya dulu, kini kembali menjadi hitam pekat. Nadine tidak memakai riasan dan tidak mengenakan sepatu hak tinggi.Dengan hanya memakai kaus putih, penampilannya sangat sederhana. Namun yang paling mencolok adalah matanya, yang tampak lebih cerah dari sebelumnya, tanpa jejak kesedihan atau keterpurukan karena putus cinta.Jika semua ini hanya berpura-pura, Reagan harus mengakui Nadine melakukannya dengan sangat baik. Saking baiknya, hingga itu berhasil membuatnya marah.Nadine mengerutkan kening. Dia terlalu mengenal Reagan. Ekspresi yang dia lihat sekarang adalah tanda bahwa kemarahannya akan segera meledak."Haha," pria itu tertawa sinis, "Tapi selera kamu buruk sekali. Sudah bertahun-tahun bersamaku, seharusnya kamu punya sedikit standar, 'kan? Jangan sampai asal pilih pria, jangan biarkan sembarang orang mendekat. Kalau nggak, di mana harga diriku sebagai
Nadine sudah lama tidak merasakan pengalaman seperti ini, mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Selama bertahun-tahun bersama Reagan, meskipun tidak hidup sepenuhnya bergantung pada pria itu, pekerjaan fisik seperti ini memang tidak pernah dilakukan Nadine.Bahkan beberapa tahun lalu saat Reagan baru memulai usahanya dan kondisi keuangan mereka masih ketat, mereka tetap mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah setiap minggu.Setelah selesai mengecat satu kaleng, Nadine menggosok pinggangnya yang terasa pegal. Setelah beberapa tahun hidup nyaman, dia memang sudah tidak terbiasa dengan pekerjaan fisik seperti ini ....Nadine keluar ke lorong bermaksud untuk mengambil sisa cat yang masih di luar. Namun tanpa sengaja, langkahnya terlalu cepat dan kakinya menendang salah satu kaleng cat hingga terguling. Meskipun Nadine sudah berusaha mengatasinya dengan cepat, tetap saja ada sedikit cat yang tumpah di depan pintu tetangga sebelah.Dia buru-buru mengambil pel dan mulai m
Nadine berjalan lebih dulu, sementara Arnold mengikuti dari belakang. Jika dibandingkan dengan kegugupannya semalam, kini Nadine tampak sudah kembali normal.Arnold membawa mobilnya ke depan dan Nadine duduk di kursi penumpang. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah supermarket buah-buahan. Nadine tiba-tiba berkata, "Bisa berhenti sebentar? Aku butuh dua menit untuk beli buah.""Buah?" tanya Arnold."Ya, untuk Bu Freya."Arnold menggenggam setir dengan agak kebingungan. "Memangnya perlu seribet itu?"Nadine menoleh dengan ekspresi sedikit geli. "Kamu selalu berkunjung dengan tangan kosong?"Arnold mengangguk dengan jujur. Nadine diam-diam mengacungkan jempol dalam hati. Luar biasa. Mungkin orang-orang hebat memang begitu ... tidak terlalu peduli dengan hal-hal kecil?Meski demikian, Arnold tetap menepikan mobilnya.....Freya tinggal di Jalan Cempaka, tidak jauh dari Universitas Brata. Deretan rumah kecil bergaya campuran antara desain barat dan timur berjejer di kawasan itu. Masing-
Arnold tetap diam. Baginya, makanan hanyalah sesuatu yang berfungsi untuk mengisi energi, bukan soal rasa. "Sudah selesai dicuci," katanya akhirnya.Nadine melirik sekilas pada paprika merah dan sayuran yang sudah tertata rapi seperti hasil kerja orang yang perfeksionis."Kenapa kamu ketawa?" tanya Arnold bingung. Nadine cepat-cepat berdeham, "Nggak apa-apa, kamu bisa keluar dulu.""Oke." Arnold mengeringkan tangannya, lalu mengangguk sedikit dan keluar dari dapur. Nadine kemudian menyiapkan semeja penuh makanan. Semuanya memiliki cita rasa yang ringan, sesuai dengan selera Freya dan jenis makanan yang bisa dikonsumsinya semasa pemulihan."Terima kasih, kamu masih ingat semuanya ....," komentar Freya dengan rasa syukur.Setelah makan, Nadine langsung mengambil inisiatif untuk membereskan piring dan peralatan makan. Arnold kembali masuk ke dapur untuk membantu dengan sukarela.Dia berdiri di bawah cahaya lampu yang hangat dan bayangannya terlihat memanjang di dapur. Dari sudut pandang N
Setelah berkata demikian, Reagan langsung masuk mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Kelly yang benar-benar marah. "Apa-apaan orang ini? Berengsek! Bikin emosi saja!" teriak Kelly sambil mengentakkan kakinya.Dia meraih kerah pria muda di sebelahnya sambil berkata, "Dengar, kali ini Nadine nggak akan kembali padanya! Aku yakin!" Pria muda itu berusaha menenangkan, "Iya, iya, tenang saja ... jangan marah ...."Namun, apakah benar-benar seperti itu?Reagan tampaknya sangat yakin bahwa Nadine pada akhirnya akan kembali. Pria muda itu diam-diam melirik Kelly, berharap dia juga bisa membuat Kelly begitu setia seperti Nadine terhadap Reagan ....Berhenti! Jangan bermimpi! Bahkan dalam mimpinya pun, dia tidak akan berani berpikir sejauh itu.....Di dalam mobil, Reagan menerima panggilan telepon. Dengan suasana hati yang buruk, suaranya terdengar sangat ketus, "Ada apa?""Sayang, aku baru ketemu restoran baru yang luar biasa, kepitingnya gemuk-gemuk. Kebetulan besok Sabtu, g
"Nggak mau." Eva menggelengkan kepalanya. Detik berikutnya, dia menjinjit kakinya sambil tersipu. "Aku masih mau sama kamu lebih lama lagi." Namun sebelum dia bisa mendekat, Reagan justru mengambil inisiatif untuk memeluk pinggang ramping Eva dan menciumnya dengan kuat."Wow!" Kerumunan yang menyaksikan langsung bersorak lagi."Keren ya!""Astaga, pasti cinta banget ya?"Sementara itu, Nadine melihat semua kejadian itu dari jauh. Tangannya yang menggenggam buku terasa tegang, begitu kuat hingga jari-jarinya berubah pucat. Ternyata hatinya masih bisa merasa sakit. Namun ... wajahnya tetap tenang, bahkan terlalu tenang sampai nyaris mati rasa.Dalam hatinya berpikir, 'Nggak apa-apa, lama-lama juga terbiasa.' Sama seperti orang yang baru berhenti merokok, pasti akan menimbulkan efek kecanduan, apalagi setelah mencintai seseorang selama enam tahun.Nadine tidak tinggal lebih lama lagi. Dia berbalik dan langsung pergi ... masih ada banyak buku yang harus dia baca.Namun saat itu, Reagan mer
Dalam pernikahan keluarga kaya, pria yang memiliki wanita simpanan sangat lumrah. Selama rumah tangga tetap terjaga, pria bebas berhubungan dengan siapa saja di luar.Sebagai seorang ibu, Rebecca tidak akan terlalu ikut campur. Hari ini, dia termasuk resmi menawarkan janji kepada Nadine. Namun, ungkapan terima kasih dari Nadine yang Rebecca bayangkan, sama sekali tidak diucapkan. Yang dia dapatkan malah cibiran.Nadine berkata, "Bu Rebecca, sebaiknya berikan niat baikmu sama orang lain saja. Aku nggak layak menerimanya. Selain itu, aku sudah putus sama Reagan. Kalau kelak kita bertemu, lebih baik menjadi orang asing.Dulu, Nadine akan menahan kesabarannya terhadap Rebecca demi Reagan. Rebecca mengeluh Nadine tidak berpendidikan tinggi, tidak punya latar belakang sekolah di luar negeri, dan tidak punya karier atau pekerjaan setelah lulus. Intinya, tidak cocok dengan putranya.Dulu, Nadine mungkin masih akan memikirkan cara untuk menyenangkan calon mertuanya ini. Kini, dia bahkan tidak
"Nggak bisa, aku masih ada urusan. Lain kali kita baru bertemu lagi," ucap Nadine. Hubungannya dengan Philip cukup baik. Jadi, Nadine tetap bersikap ramah kepada Philip meskipun menolak ajakannya.Philip memperhatikan Nadine membawa kotak perhiasan. Sepertinya Nadine memang ada urusan, bukan hanya alasan.Philip mengangguk. Saat dia hendak bicara lagi, Nadine langsung berjalan melewati Reagan dan pergi. Nadine sama sekali tidak melihat Reagan.Ekspresi Reagan menjadi dingin. Philip diam-diam melirik Reagan, lalu menjelaskan, "Itu ... Kak Reagan, mungkin Kak Nadine nggak lihat kamu. Jangan dipermasalahkan ...."Alhasil, ekspresi Reagan makin dingin. Philip berdeham dan tidak berani bicara lagi. Namun, dia merasa kali ini Nadine benar-benar gigih.Staf toko bertanya, "Pak, apa kamu masih mau beli perhiasan?"Reagan melihat staf toko dengan dingin dan menyahut, "Tentu saja aku mau beli. Aku mau yang paling mahal."Jika Nadine tidak menghargai Reagan, masih ada wanita lain yang menghargain
Kota Juanin, Laboratorium Absolut.Untuk ketiga kalinya, Nadine berdiri di depan meja eksperimen untuk mengubah data. Darius dan Mikha saling bertukar pandang. Ada yang tidak beres!"Nad, kamu tadi malam kurang tidur ya? Aku lihat kamu hari ini kayak nggak fokus.""Nggak tahu kenapa, dari tadi mataku terus berkedut, rasanya gelisah sekali.""Mata kiri atau mata kanan?""Dua-duanya."Saat siang, Nadine sempat tidur sebentar dan berharap kondisinya membaik. Namun, matanya tetap terus berkedut, seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Sore hari, setelah akhirnya menyelesaikan pekerjaannya dan memastikan semua data sudah benar, Nadine meregangkan tubuhnya sambil menghela napas."Huh ... akhirnya selesai juga."Mikha berseru, "Aku juga hampir selesai. Darius gimana?""Aku juga sudah beres.""Bagus! Malam ini kita akhirnya bisa tidur nyenyak. Yuk, makan di luar! Aku traktir!"Nadine menggeleng sambil melambaikan tangan. "Kalian saja, aku nggak ikut."Belakangan ini dia benar-benar le
"Nggak usah pura-pura lagi. Bicara terus terang saja.""Aku sudah tanda tangan kontrak samm apenerbit lain. 'Seven Days'yang kamu lihat diterbitkan sama mereka. Jadi, nggak mungkin aku perpanjang kontrak denganmu. Demi hubungan kita selama 10 tahun terakhir, lebih baik kita berpisah baik-baik.""Pisah baik-baik?" Lauren tertawa dingin. Kali ini, dia tidak lagi berpura-pura ramah. "Kamu mau pergi begitu saja? Lalu siapa yang akan mengganti kerugianku?"Irene menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Kerugian? Kerugian apa?""Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk mengontrakmu! Sepuluh tahun, Irene! Selama sepuluh tahun penuh, nggak satu pun buku bestseller yang kamu hasilkan. Tapi begitu kontrak kita habis, kamu langsung menerbitkan buku sama penerbit lain dan sukses besar? Kamu sengaja mau mempermainkanku, ya?""Apa kamu pikir aku nggak mau nulis? Kamu yang selama ini selalu menolak setiap konsep yang kuberikan dan nggak ngasih kesempatan untuk menerbitkannya buatku. Selama sepuluh
Saat itu, Jeremy sedang pergi ke kampus untuk mengajar dan di rumah hanya ada Irene seorang diri.Sejak kembali dari Kota Juanin, dia sudah menyusun kerangka novel barunya. Dia berencana menulis sebuah kisah horor bertema cerita mistis di sekolah.Di tengah kesibukannya, Nadine sempat menelepon untuk mengundang mereka menghadiri peresmian laboratorium barunya. Namun, Jeremy dan Irene terpaksa menolaknya dengan berat hati.Jeremy harus mengajar dan tidak bisa meninggalkan kampus; sementara Irene sedang dalam masa perenungan dan tidak ingin terganggu.Kini, cerita yang sedang dikerjakannya sudah hampir rampung. Bab terakhir sebentar lagi akan selesai, jadi belakangan ini dia benar-benar mengurung diri untuk fokus menulis.Ketika terdengar suara ketukan di pintu, Irene tidak terlalu memikirkan siapa yang datang. Dalam perjalanan menuju pintu, pikirannya masih hanyut dalam plot novelnya. "Kenapa hari ini cepat sekali datangnya? Bukankah ...."Namun, saat pintu terbuka, Irene langsung memat
Lauren memiliki puluhan orang penulis seperti itu di bawah kontraknya!"Astaga! Bisa gitu ya? Para penulis itu bodoh ya? Bukannya menjual hak cipta harus dengan persetujuan dan tanda tangan mereka?"Jihan mendengus. "Kamu nangani dokumen setiap hari, tapi nggak pernah baca detail kontraknya?""Maksudnya?""Waktu Lauren merekrut seorang penulis, dia langsung mengamankan hak eksklusif atas seluruh karya mereka! Jadi, dia nggak perlu minta tanda tangan penulis setiap kali menjual hak cipta.""Asalkan ada cap resmi studio kita saja sudah cukup. Kalau benar-benar butuh tanda tangan? Ya tinggal siapa aja yang tanda tangan, toh pembeli nggak mungkin mengecek langsung ke penulisnya.""Jadi, Lauren bahkan nggak perlu berbagi royalti sama mereka? Penulis nggak tahu, uangnya masuk ke kantong sendiri, dan nggak ada yang mempermasalahkan?"Jihan menyesap kopinya dengan santai. "Tentu saja! Kamu pikir dia dapat uang dari mana buat beli mobil mewah, tinggal di rumah mahal? Dari ujung kepala sampai uj
"Penulisnya bernama Irene. Irene ... Aileen ... bukankah terdengar mirip?"Itulah alasan mengapa Safir langsung tertarik dengan buku ini sejak awal.Saat melihat nama penulis di sampul, dia sempat terdiam. Sementara itu, Corwin hanya bisa menghela napas. Sepertinya, dia juga membaca buku ini karena alasan yang sama. Namun, semakin dibaca, dia semakin terhanyut dalam ceritanya.Awalnya, Safir hanya bertanya dengan santai. Lagi pula, Stendy tidak mungkin tahu segalanya. Namun, tak disangka ...."Aku kenal."Stendy menjelaskan secara singkat hubungannya dengan Irene. Corwin pun langsung mengingat sesuatu. Rupanya, gadis yang dia lihat di Toko Buku Gramilia waktu itu adalah putri Irene. Hari itu sedang diadakan acara penandatanganan buku untuk novel ini di lantai atas.Corwin tak kuasa tersenyum. "Nggak nyangka ternyata ada hubungan seperti ini."Safir juga teringat pada gadis yang dia lihat saat itu. Suaranya lembut, tutur katanya sopan, dan penuh kesantunan. Hatinya tiba-tiba merasa hang
"Jam segini .... Kalau memang mau jenguk kami, biasanya bukan di waktu begini. Nggak seperti kamu."Stendy tersenyum, lalu menuntun Corwin ke ruang tamu. "Aku datang kalau mau, memangnya harus ada waktu khusus? Seperti pertemuan resmi begitu?""Tentu saja. Kamu ini orang sibuk, bisa meluangkan waktu sebentar saja sudah luar biasa.""Kakek, ini sindiran atau pujian?"Corwin tertawa terbahak-bahak.Stendy duduk di sofa, tapi tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawahnya. Dia meraba ke bawah dan mengeluarkan sebuah buku. Saat melihat sampulnya, dia langsung terkejut."Eh? Bukankah ini buku yang ada di mobilku?"Judul yang tertera di sampulnya adalah ....[ Seven Days ]Stendy langsung mengenalinya. Itu bukunya sendiri. Stendy memang punya kebiasaan melipat sudut halaman sebagai penanda, dan lipatan itu masih ada di sana."Benar sekali! Aku ambil dari mobilmu waktu itu. Nggak nyangka isinya menarik sekali!" ujar Corwin dengan santai.Stendy mengangkat alis. "Kakek baca buku i
"Baik." Nadine tersenyum dan mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu. Paman, Bibi, sampai jumpa ....""Jangan! Bawa aku juga! Aku juga searah!" seru Mikha buru-buru.Namun, Darius langsung menariknya ke samping. "Ngapain ikut campur? Nanti aku antar kamu pulang.""Uh ... nggak baik, deh?" Sebenarnya, Mikha takut Darius masih dendam karena tadi dia tertawa terlalu keras. Darius tersenyum tipis. "Menurutku nggak masalah."Mikha terdiam.Sementara itu, Stendy menatap punggung Nadine dan Arnold yang berjalan menjauh. Matanya yang tajam memicing seketika.Saat hendak masuk ke mobil, Nadine melepas syalnya. Arnold refleks mengulurkan tangan untuk menerimanya. Tanpa berpikir panjang, Nadine benar-benar menyerahkannya padanya.Denny berjalan mendekat dan menepuk pundak Stendy sambil berkata, "Kamu masih mau ngantarin orang? Tadi di meja makan kamu minum lumayan banyak. Kita nggak bisa melakukan hal yang melanggar hukum ...."Stendy mengerutkan kening. "Arnold? Dia nggak minum?""Nggak." Denny
Lalu, foto saat usia sepuluh tahun ...."Segendut ini?!" Nadine refleks berseru.Dalam foto itu, Darius sudah kehilangan kelucuannya saat masih kecil. Sekarang dia tampak seperti anak beruang hitam yang gemuk. Ya, bukan hanya gemuk, tapi juga berkulit gelap.Matanya hampir hilang, terhimpit oleh pipi tembamnya. Foto itu diambil saat musim panas, dia hanya mengenakan kaus dalam tipis dan celana pendek, memperlihatkan lengan dan kakinya yang montok.Nadine berdeham, berusaha menahan ekspresinya sebelum menegur Stendy dengan wajah serius, "Jangan lihat! Mengintip privasi orang itu ngga baik.""Bukannya kamu juga ikut lihat?" Stendy membalas santai."Aku nggak sengaja, dan sekarang aku sudah nggak lihat lagi."Namun, Stendy hanya menatap foto itu lebih lama. "Dipasang di sini berarti memang untuk dilihat orang, 'kan? Wah! Bocah gempal ini Darius? Ya ampun, kok bisa mirip balon yang mengembang begini?"Nadine menegur, "Kamu keterlaluan."Stendy menyeringai. "Kalau kamu nggak keterlaluan, co
Namun, sebelum Stendy sempat menyelesaikan kalimatnya, Arnold tiba-tiba membuka mulut."Pak Denny, Anda sudah terlalu banyak minum. Mereka semua masih mahasiswa, pendidikan harus menjadi prioritas utama. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kalau sampai tersebar, itu nggak baik bagi siapa pun."Denny terdiam sejenak, lalu tersadar. "Aduh aku ini ... jadi cerewet setelah minum beberapa gelas .... Benar, mahasiswa memang harus fokus sama pendidikan. Masalah lainnya ... biarkan berjalan secara alami saja!"Setelah berkata demikian, dia pun pergi untuk menyapa tamu lainnya.Arnold tetap berdiri di tempatnya dengan tatapan lurus ke depan. "Kamu nggak seharusnya ngomong begitu tadi."Stendy menyeringai. "Kenapa? Pak Arnold keberatan?""Nggak ada orang tua yang ingin mendengar anak mereka dibicarakan dengan buruk. Pak Stendy memang bisa ngomong sesuka hati, tapi sebelum bicara lain kali, tolong pikirkan apakah itu akan berdampak sama orang lain."Stendy mengerutkan kening. "Maksudmu, aku nggak mem