Share

Bab 5

"Kenapa Kak Reagan?" Philip melirik sekilas pria yang sedang minum sendirian. Dia diam-diam menggeser duduknya mendekat ke Teddy. Sejak Reagan masuk, wajahnya sudah tampak muram, membuat suasana yang tadinya ramai mendadak menjadi hening.

"Diblokir seseorang," ucap Teddy yang mengetahui situasinya, menikmati drama yang sedang terjadi ini. Mendengar komentarnya, wajah Reagan semakin muram.

Prang!

Gelas di tangannya membentur meja kaca dengan keras. Dengan gusar, dia membuka kancing kemejanya dengan satu tangan.

"Sudah kubilang jangan sebut namanya lagi. Nggak ngerti bahasa manusia ya?"

Teddy mengangkat bahunya dan tidak berkomentar lagi. Suasana langsung berubah. Orang-orang yang tadinya bernyanyi memilih untuk diam. Orang lainnya juga ikut bungkam karena takut memancing kemarahan Reagan.

Philip tersedak oleh alkohol yang baru diminumnya. Ternyata Nadine serius kali ini?

Stendy yang sudah agak mabuk, berpaling dan menanyakan Philip, "Nadine sudah balik belum?"

Philip menggelengkan kepalanya. Mana mungkin dia berani mengatakan apa pun, Dia hanya menjawab tidak tahu. Mendengar hal itu, Stendy langsung paham bahwa sepertinya Nadine masih belum kembali.

Bartender datang membawa lima krat minuman, lalu ada seseorang yang memberanikan diri mengusulkan, "Gimana kalau kita main 'Truth or Dare'?"

Semua orang di sini cukup cerdas dan masing-masing juga membawa pasangan. Mendengar usul itu, mereka langsung paham dan berusaha menghidupkan kembali suasana yang canggung.

"Truth or Dare, bagus juga. Aku paling suka main Truth or Dare," kata salah satu wanita sambil tersenyum lebar. Saat itu, seorang wanita baru saja masuk.

"Tania, sini. Kebetulan Kak Reagan nggak ada pasangan ..." seru seseorang sambil mendorong wanita itu untuk duduk di samping Reagan. Dia adalah salah satu wanita favorit di tempat itu dan jelas bukan pertama kalinya menemani Reagan.

"Kak Reagan ..." sapanya lembut.

Namun, Reagan tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan cepat, tanpa minat sedikit pun. "Kalian main saja, aku pulang dulu." Dia meninggalkan semua orang yang terkejut, termasuk Tania yang kecewa kehilangan kesempatan mendapatkan bayaran besar malam itu.

....

Setelah keluar dari bar, sopir bertanya ke Reagan yang duduk di kursi belakang, "Mau ke mana?"

Kepala Reagan terasa pusing setelah menenggak dua gelas brandy tadi. Saat teringat dengan bayangan vila yang kosong, Reagan menjawab, "Ke kantor."

"Pak Reagan? Kenapa Anda ke sini?"

Saat ini sudah pukul 10 malam. Asistennya yang baru saja beres-beres untuk pulang, terkejut melihat Reagan keluar dari lift.

Ekspresi terkejut dari asistennya malah membuat Reagan semakin jengkel. Biasanya pada jam segini, Nadine selalu mengingatkannya untuk tidur lebih awal karena khawatir dengan pola tidurnya yang tidak teratur. Jika dia tidak menurut, Nadine akan merengek manja sampai akhirnya dia menyerah dan berbaring.

"Kamu mau pulang?"

"Iya, ada yang bisa saya bantu lagi?"

Reagan ingin mengatakan tidak. Namun, karena belum makan sejak siang dan setelah minum dua gelas alkohol, perutnya mulai terasa sakit. Dengan wajah pucat, dia berkata, "Tolong belikan bubur untukku."

Setelah berpikir sejenak, dia menambahkan, "Dari restoran terbaik."

Asisten Reagan bergegas menjalankan perintahnya. Dua puluh menit kemudian, dia kembali dengan membawa bubur yang dikemas dengan rapi dan mewah, lalu menyerahkannya kepada Reagan. Namun saat Reagan membukanya, dia langsung mengernyit.

"Kenapa bubur seafood?"

Asisten itu terlihat bingung, "Restoran paling terkenal di sekitar sini punya menu andalan bubur seafood, saya kira ...."

"Sudahlah, keluar saja."

Bubur seafood itu tampak sempurna. Begitu dimasukkan ke mulut, aroma wangi yang samar langsung menyebar dan rasa manis dari seafood-nya juga sangat terasa. Namun, baru makan beberapa suap saja, Reagan sudah kehilangan selera dan meletakkan sendoknya.

Tanpa disadari, dia mulai merindukan bubur buatan Nadine.

"Sialan!" Dia mengutuk pelan. Kenapa dia masih terus memikirkan Nadine?

Dia sangat terobsesi!

....

Setelah kembali dari rumah sakit ke apartemen, Nadine meraba sakelar di dinding dan menekannya. Seketika, terdengar suara napas yang berat dan penuh dengan keintiman. Saat lampu menyala terang, yang pertama dilihatnya adalah Kelly mengenakan gaun tidur sutra seksi dengan tali tipis dan sedang bermesraan dengan seorang pria muda.

Keduanya berada di sofa. Tangan Kelly yang lembut bergerak bebas di bawah baju pria itu, menyentuh perutnya yang berotot. Bibir mereka juga sibuk saling mencumbu. Leher Kelly memperlihatkan bekas-bekas berwarna merah yang tampak sangat mencolok.

Suasana di ruangan itu penuh gairah dan kemesraan.

Kelly sempat terkejut oleh cahaya lampu yang menyilaukan. Wajahnya tampak bingung sejenak, lalu secara refleks menghentikan pria itu yang hendak menciumnya lagi.

"Eh? Nadine, kamu sudah pulang."

"Uh, sebaiknya kalian pakai baju dulu."

Nadine tersenyum kaku dan buru-buru membalikkan tubuhnya, memberikan waktu bagi mereka untuk merapikan diri.

Nadine menghela napas sejenak. Sepertinya dia tidak bisa tinggal di tempat Kelly terlalu lama. Sekalipun teman baik, setiap orang punya privasi masing-masing. Tinggal bersama dalam waktu lama pasti tidak akan nyaman untuk keduanya.

Dengan sikap santainya, Kelly tersenyum menggoda. Dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan apa yang baru saja terjadi. Dia merapikan tali gaunnya yang melorot ke lengan, lalu mengambil jaket dan mengenakannya dan melemparkan jas di lantai ke arah pria itu.

Wajah tampan pria tersebut masih dihiasi noda lipstik dan matanya masih agak merah. Kelly menepuk pipinya dengan lembut, "Manis, tunggu aku di kamar, ya."

Pria itu mengangkat pakaiannya dengan patuh untuk menutupi dadanya yang penuh bekas ciuman. Kemudian, dia tersenyum dengan percaya diri ke arah Nadine, "Halo, Kak, selamat malam."

Nadine secara refleks menjawab, "Hai, Keven."

Pria itu hanya tersenyum lagi dan masuk ke kamar tanpa berkata apa pun.

Kelly menuang segelas anggur merah untuk dirinya sendiri, lalu menyesapnya. Rasa manis yang bercampur dengan sedikit rasa pahit, menyebar di pangkal lidahnya. Dia berdecak puas, lalu mengoreksi Nadine dengan santai, "Yang ini namanya Steven, bukan Keven."

Nadine terdiam.

"Ke mana saja baru pulang semalam ini?" Melihat mata Nadine yang agak memerah, Kelly mengerutkan alisnya. "Kamu baru nangis?"

Nadine menuangkan segelas air hangat untuk dirinya sendiri, lalu berkata dengan tidak fokus, "Hari ini aku jenguk Bu Freya di rumah sakit."

Keduanya adalah teman seangkatan di universitas dan sama-sama merupakan murid dari Freya. Kelly masih berada di grup WhatsApp universitas mereka, jadi dia pernah mendengar tentang masalah ini.

Dia melirik Nadine dengan hati-hati, "Kamu ...."

Baru saja hendak mengatakan sesuatu, Kelly ragu untuk melanjutkannya.

Dulu, Nadine adalah salah satu murid yang paling disayangi oleh Freya. Orang lain mungkin tidak tahu, tetapi sebagai teman sekamar dan sahabat terdekatnya, Kelly menyaksikan langsung bagaimana profesor tersebut memberi perhatian khusus pada Nadine.

Bahkan, Freya memberinya proyek-proyek khusus dan membimbingnya dalam menulis makalah. Padahal, Nadine masih seorang mahasiswa sarjana dan Freya bukan pembimbing akademis resminya.

Namun, Freya rela memberikan begitu banyak sumber daya akademik untuknya.

Jika Nadine mengikuti rencana karier yang telah disusun oleh Freya dan melakukannya dengan baik, tidak ada yang mustahil bagi Nadine untuk menjadi doktor biologi termuda di dalam negeri dalam lima tahun.

Sampai hari ini, Kelly masih tidak mengerti mengapa Nadine memutuskan untuk meninggalkan jenjang pendidikannya.

Mengingat bagaimana Freya sangat menyayanginya, Kelly tidak bisa menahan diri untuk berpikir, 'Mungkin orang yang mendapatkan segalanya dengan mudah, memang cenderung tidak menghargainya.'

Seorang genius memang punya hak untuk bertindak sesuka hati.

"Dengar-dengar, profesor sakit parah kali ini. Gimana kondisi pemulihannya setelah operasi?" tanya Kelly.

Nadine hanya menggelengkan kepala. Kelly tertawa dengan kesal, "Kamu ini gimana, sih? Kamu pergi jenguk orang, tapi nggak tahu apa-apa sama kondisi pasien?"

"Aku nggak berani masuk."

"Pengecut sekali?" Melihat ekspresi Nadine, Kelly tak bisa menahan diri untuk mengejek, "Kamu memang pantas mendapatkannya!"

Bulu mata Nadine bergetar, tapi dia tidak berkata apa-apa. Kelly segera menyadari sesuatu saat melihat sikap keras kepala Nadine. Ternyata makanan yang dibawa pagi tadi itu untuk profesor.

"Kamu mau terus begini?"

Kelly yang biasanya tegas dan pemberani, tidak menyangka sahabatnya menjadi begitu pengecut hingga tidak berani menampakkan wajahnya.

Nadine termasuk cukup rasional saat menjawab, "Cepat atau lambat, aku harus ketemu Bu Freya. Memang ada beberapa masalah dan orang yang nggak bisa diselesaikan dengan menghindar."

Beberapa detik kemudian, Nadine menatap Kelly, "Kelly, boleh temani aku ketemu sama Bu Freya?"

"Kamu mau ngapain?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status