Setelah berkata demikian, Reagan langsung masuk mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Kelly yang benar-benar marah. "Apa-apaan orang ini? Berengsek! Bikin emosi saja!" teriak Kelly sambil mengentakkan kakinya.Dia meraih kerah pria muda di sebelahnya sambil berkata, "Dengar, kali ini Nadine nggak akan kembali padanya! Aku yakin!" Pria muda itu berusaha menenangkan, "Iya, iya, tenang saja ... jangan marah ...."Namun, apakah benar-benar seperti itu?Reagan tampaknya sangat yakin bahwa Nadine pada akhirnya akan kembali. Pria muda itu diam-diam melirik Kelly, berharap dia juga bisa membuat Kelly begitu setia seperti Nadine terhadap Reagan ....Berhenti! Jangan bermimpi! Bahkan dalam mimpinya pun, dia tidak akan berani berpikir sejauh itu.....Di dalam mobil, Reagan menerima panggilan telepon. Dengan suasana hati yang buruk, suaranya terdengar sangat ketus, "Ada apa?""Sayang, aku baru ketemu restoran baru yang luar biasa, kepitingnya gemuk-gemuk. Kebetulan besok Sabtu, g
"Nggak mau." Eva menggelengkan kepalanya. Detik berikutnya, dia menjinjit kakinya sambil tersipu. "Aku masih mau sama kamu lebih lama lagi." Namun sebelum dia bisa mendekat, Reagan justru mengambil inisiatif untuk memeluk pinggang ramping Eva dan menciumnya dengan kuat."Wow!" Kerumunan yang menyaksikan langsung bersorak lagi."Keren ya!""Astaga, pasti cinta banget ya?"Sementara itu, Nadine melihat semua kejadian itu dari jauh. Tangannya yang menggenggam buku terasa tegang, begitu kuat hingga jari-jarinya berubah pucat. Ternyata hatinya masih bisa merasa sakit. Namun ... wajahnya tetap tenang, bahkan terlalu tenang sampai nyaris mati rasa.Dalam hatinya berpikir, 'Nggak apa-apa, lama-lama juga terbiasa.' Sama seperti orang yang baru berhenti merokok, pasti akan menimbulkan efek kecanduan, apalagi setelah mencintai seseorang selama enam tahun.Nadine tidak tinggal lebih lama lagi. Dia berbalik dan langsung pergi ... masih ada banyak buku yang harus dia baca.Namun saat itu, Reagan mer
Dalam pernikahan keluarga kaya, pria yang memiliki wanita simpanan sangat lumrah. Selama rumah tangga tetap terjaga, pria bebas berhubungan dengan siapa saja di luar.Sebagai seorang ibu, Rebecca tidak akan terlalu ikut campur. Hari ini, dia termasuk resmi menawarkan janji kepada Nadine. Namun, ungkapan terima kasih dari Nadine yang Rebecca bayangkan, sama sekali tidak diucapkan. Yang dia dapatkan malah cibiran.Nadine berkata, "Bu Rebecca, sebaiknya berikan niat baikmu sama orang lain saja. Aku nggak layak menerimanya. Selain itu, aku sudah putus sama Reagan. Kalau kelak kita bertemu, lebih baik menjadi orang asing.Dulu, Nadine akan menahan kesabarannya terhadap Rebecca demi Reagan. Rebecca mengeluh Nadine tidak berpendidikan tinggi, tidak punya latar belakang sekolah di luar negeri, dan tidak punya karier atau pekerjaan setelah lulus. Intinya, tidak cocok dengan putranya.Dulu, Nadine mungkin masih akan memikirkan cara untuk menyenangkan calon mertuanya ini. Kini, dia bahkan tidak
"Nggak bisa, aku masih ada urusan. Lain kali kita baru bertemu lagi," ucap Nadine. Hubungannya dengan Philip cukup baik. Jadi, Nadine tetap bersikap ramah kepada Philip meskipun menolak ajakannya.Philip memperhatikan Nadine membawa kotak perhiasan. Sepertinya Nadine memang ada urusan, bukan hanya alasan.Philip mengangguk. Saat dia hendak bicara lagi, Nadine langsung berjalan melewati Reagan dan pergi. Nadine sama sekali tidak melihat Reagan.Ekspresi Reagan menjadi dingin. Philip diam-diam melirik Reagan, lalu menjelaskan, "Itu ... Kak Reagan, mungkin Kak Nadine nggak lihat kamu. Jangan dipermasalahkan ...."Alhasil, ekspresi Reagan makin dingin. Philip berdeham dan tidak berani bicara lagi. Namun, dia merasa kali ini Nadine benar-benar gigih.Staf toko bertanya, "Pak, apa kamu masih mau beli perhiasan?"Reagan melihat staf toko dengan dingin dan menyahut, "Tentu saja aku mau beli. Aku mau yang paling mahal."Jika Nadine tidak menghargai Reagan, masih ada wanita lain yang menghargain
Eden mengantar Nadine ke bawah apartemennya. Setelah mengucapkan terima kasih, Nadine tidak langsung naik ke atas melainkan mampir ke pasar sayur di sebelah.Dua puluh menit kemudian, dia kembali dengan membawa banyak kantong belanjaan. Saat hendak naik ke apartemen, dia melihat Arnold berjalan mendekat dari arah matahari terbenam.Langit sudah mulai gelap, tetapi tubuhnya yang tinggi dibalut oleh sinar jingga senja membuat bayangannya makin panjang. Wajah Arnold serius dan setiap langkahnya terlihat penuh perhatian."Kebetulan banget, kita bertemu lagi," sapa Nadine dengan ramah.Arnold menoleh dan mendorong kacamata ke atas hidungnya. Dia membalas, "Ya, kebetulan banget.""Kamu sudah makan malam? Aku baru beli bahan makanan, mau makan bareng?" tawar Nadine.Arnold ingin menolak, tetapi tanpa sadar mengangguk karena mengingat keahlian memasaknya. Ini pertama kalinya Arnold datang ke rumah Nadine.Di depannya, ada balkon dengan bunga tulip yang sedang mekar. Di sebelahnya, ada sebuah a
Kelly suka sashimi, jadi dia memesan salmon segar dan beberapa seafood lainnya seperti udang besar.Sementara itu, Nadine tidak terbiasa makan makanan mentah. Jadi, dia memesan semangkuk ramen dan beberapa sushi. Rasanya ramen biasa saja, tetapi bahan-bahannya segar.Melihat Nadine makan dengan rapi, Kelly meledek, "Daging salmon ini segar dan lembut, masa kamu nggak mau coba? Siapa tahu bakal menemukan selera baru."Nadine menolak dengan sopan, "Kamu tahu jelas aku nggak bisa makan makanan mentah. Dari dulu, aku nggak bisa terima hal ini dari segi psikologis. Mending aku makan ramenku saja.""Kamu masih saja sama seperti dulu," ucap Kelly. Dari pertama kali mengenal Nadine, dia sudah tahu bahwa orang ini sangat teguh pada apa yang dia suka, begitu pula dengan hal-hal yang tidak disukainya.Kelly berujar, "Omong-omong, aku sudah beberapa hari nggak ke spa. Karena sibuk, tanganku sampai kasar."Kemudian, Kelly menghela napas sebelum mengeluh lagi, "Semuanya gara-gara ayahku. Belakangan
Sambil mendorong kacamatanya, Arnold menambahkan, "Fisika itu nggak bisa selesai dalam sekejap. Ilmu ini punya ritme dan jalurnya sendiri, bukan sesuatu yang bisa kamu hentikan seenaknya."Penanggung jawab tadi pun membalas sambil tersenyum kecut, "Aku cuma sampaikan pendapatku kok ...." Akhirnya, mereka berpisah dengan suasana yang kurang baik.Setelah berbalik, Arnold melihat Nadine yang tersenyum sambil melambai padanya. Wanita itu menyapa, "Lama nggak bertemu, Tetangga."Mereka berjalan berdampingan di jalan menuju rumah. Nadine sengaja tidak membahas masalah tadi dan hanya mengobrol ringan. Dia berujar, "Makasih untuk bantuanmu waktu itu. Beberapa hari ini, aku lancar mengerjakan soal."Arnold tidak merasa perlu mengambil pujian sehingga membalas, "Itu karena kamu memang pintar. Beberapa hari ini, kamu sudah mengunjungi Bu Freya?"Nadine berjalan pelan sambil melihat ke bawah. Dia menjawab, "Belum, cuma bicara lewat telepon beberapa kali. Kesehatannya sudah membaik. Dua hari lagi,
Eva bergegas menuju ke gerbang universitas. Dia langsung melihat mobil Reagan yang diparkir di pinggir jalan.Reagan duduk di kepala mobil. Dia memakai kaus putih, jas panjang abu-abu tua, dan celana kasual hitam. Penampilannya terlihat seperti mahasiswa. Muda dan keren. Orang-orang di sekitar tidak berhenti memandangnya.Dalam 3 menit, Reagan telah memeriksa jamnya sebanyak 3 kali. Eva terlambat keluar. Reagan pun mengeluarkan ponselnya untuk mencari nomor Eva. Ketika dia hendak membuat panggilan, aroma yang wangi tiba-tiba tercium.Eva melingkari leher Reagan, lalu bertanya dengan centil, "Kamu sudah tunggu lama ya?""Kamu terlambat." Reagan melirik Eva dengan tatapan mendalam. Kedua tangannya diletakkan di dalam saku."Maaf, aku nggak bakal telat lagi lain kali. Janji." Eva menghela napas lega melihat Reagan tidak bersikap perhitungan padanya."Masuk mobil." Reagan bukan tidak tahu isi pikiran Eva, tetapi malas membongkarnya.Eva langsung duduk di samping kursi pengemudi. Sepanjang
"Olive?" Wilfred memanggilnya sekali lagi."Ada apa?""Tadi kamu telepon agen properti, mau cari rumah ya?"Hati Olive gelisah, takut Wilfred bertanya lebih jauh. Dengan nada ketus, dia menjawab, "Tanya banyak banget sih?! Apa urusannya sama kamu?!"Wilfred merasa sedikit terluka, tapi tidak menunjukkan perasaannya. "Aku 'kan pacarmu, tentu aku peduli.""Aku ini cari pacar, bukan cari bapak.""Kalau kamu merasa aku terlalu cerewet, ya ... aku akan lebih sedikit bicara mulai sekarang." Wilfred berkata hati-hati, takut membuat Olive semakin marah.Melihat Wilfred tidak bertanya lagi soal sewa rumah, Olive diam-diam menghela napas lega. Sikapnya pun mulai melunak. "Berikan padaku." Dia mengulurkan tangan."Apa?""Bubble tea di tanganmu itu, bukannya untukku?""Oh, iya! Hampir lupa ...." Wilfred tersenyum cerah.....Setelah berkutat di laboratorium selama seminggu penuh, akhirnya dua set data berhasil didapatkan. Pekerjaan mereka kini tidak terlalu mendesak lagi. Pada hari Sabtu, Nadine m
Sambil berkata demikian, Nadine menyerahkan kertas dan pena. "Kalau begitu, aku pamit dulu."Stendy hanya bisa tersenyum, "Baik. Sampai jumpa.""Hmm, ayo Pak Arnold. Kedai bubble tea itu kebetulan ada di dekat tempat tinggal kita, cukup menyeberang jalan saja sudah sampai."Terakhir kali dia dan Stendy membahas sesuatu, mereka juga pergi ke tempat itu....."Bubble tea sudah sampai!"Calvin, Kamila, dan Wilfred langsung muncul setelah mendengar kabar itu."Terima kasih, Pak Arnold. Terima kasih juga, Nadine! Membuat dua orang sibuk seperti kalian jadi kurir benar-benar keterlaluan!"Calvin menusukkan sedotan dan mengisapnya dalam-dalam, "Ah, nikmat sekali ...."Kamila mengerutkan dahi, "Seperti itu berlebihan banget nggak, sih?"Wilfred mengambil bubble tea miliknya dan milik Olive, lalu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada Arnold dan Nadine. Setelah itu, dia membawanya ke Olive dengan antusias."Olive, ini punyamu.""Oh."Mendengar bahwa Nadine pergi bersama Arnold untuk m
Nadine dan Stendy duduk di samping meja batu dan berbincang tentang sesuatu. Keduanya duduk sangat dekat. Wajah Nadine terlihat serius, sementara Stendy mendengarkan dengan saksama dan sesekali mengangguk.Arnold tidak melewatkan senyum tipis yang muncul di sudut bibir Stendy. Bahkan dari jarak sejauh ini, dia bisa merasakan aura godaan yang memancar. Tatapan Arnold tiba-tiba menjadi lebih dalam.Detik berikutnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Calvin."Halo, Arnold, ada apa?""Kamu mau minum bubble tea?""Hah?" Calvin menurunkan ponselnya, memeriksa layar untuk memastikan itu benar-benar Arnold yang menelepon. "Apa maksudnya? Kok tiba-tiba ngomong soal bubble tea?""Mau atau nggak? Aku yang traktir. Kamu bisa tanyakan ke yang lain juga."Calvin langsung berseru dengan suaranya yang keras, "Pak Arnold traktir bubble tea! Siapa yang nggak mau, angkat tangan! Bagus, nggak ada. Jadi kita semua mau.""Baik. Aku akan pergi beli.""Eh ... kenapa nggak pesan saja lewat aplikasi? Kan le
Pukul setengah delapan, Nadine sudah sampai. Orang lain belum datang, tiba-tiba terdengar suara dari ruang istirahat. Diiringi suara langkah kaki, Arnold keluar dari dalam. Mata mereka bertemu, keduanya tertegun.Arnold teringat pelariannya yang tergesa-gesa kemarin, merasa sedikit canggung. Nadine mengingat dirinya yang pura-pura tidur dan tanpa sengaja melihat kejadian itu .... Dia pun merasa tak nyaman."Selamat pagi." Pria itu lebih dulu membuka suara.Nadine mengangguk sedikit, "Pagi."Setelah itu, dia langsung melesat ke meja kerjanya dan mulai sibuk bekerja, sampai-sampai lupa menaruh makan siang yang dibawanya ke dalam kulkas.Arnold berkata, "Kebetulan aku mau ke pantri, aku bantu taruh."Nadine menjawab, "Terima kasih."Saat waktu makan siang, Nadine meninggalkan laboratorium. Baru saja keluar dari gedung, dia melihat Stendy berdiri tidak jauh dengan kedua tangan dimasukkan ke saku.Pria itu mengenakan kemeja dengan gaya santai, kerahnya sedikit terbuka, dipadukan dengan cela
"Waktu ibumu terbuang sia-sia selama ini."Hati Nadine mencelos mendengarnya. Hugo ingin bertemu dengan Irene, tetapi Nadine mengatakan ibunya sedang berada di kota lain. Lagi pula, kontrak Irene dengan Lauren belum berakhir. Nadine tidak ingin merusak mood ibunya.Setelah mendengar tentang kontrak, Hugo langsung meminta salinan elektroniknya dari Nadine. "Nggak usah terburu-buru. Aku akan pelajari kontrak ibumu. Kalau ada apa-apa, aku hubungi kamu. Aku pasti akan tanda tangan kontrak dengan ibumu!"Kalimat terakhir membuat Nadine agak ragu. Bukankah Hugo tidak menandatangani kontrak dengan penulis dan hanya melihat hasil karya?Nadine merasa mungkin Hugo salah bicara atau mungkin dia yang salah dengar. Jadi, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.Saat melihat putrinya begitu serius, Jeremy segera menghentikan pekerjaannya. "Ada apa, Nad? Apa ibumu ada masalah dengan editor itu?""Ada sedikit masalah, bukan masalah besar. Aku sudah mencari cara untuk mengatasinya. Jangan kas
"Ya sudah. Kamu ini memang sibuk sekali, lebih sibuk daripada dekan ....""Kalau begitu, aku pergi dulu.""Oh ya, aku lupa tanya. Kamu ambil apa tadi?" teriak Calvin kepada Arnold."Pertanyaanmu terlalu banyak."Setelah Arnold pergi, Nadine tidur lagi sebentar. Jika tidak tidur, dia akan mengantuk saat kerja. Hal ini akan memengaruhi efisiensinya.Pukul 2 siang, Nadine bangun dan mencuci wajahnya sebelum kembali ke laboratorium. Kamila dan lainnya juga sudah kembali ke meja masing-masing."Nad, kenapa wajahmu merah? Kamu kepanasan ya?"Nadine segera meraba wajahnya. "Merah ya? Mungkin ....""Bukannya di dalam buka AC? Kenapa kepanasan begini?" tanya Calvin."Aku lupa buka AC hari ini.""Sepertinya kamu dan Pak Arnold sama-sama takut panas. Tadi aku ketemu dia di luar ruang istirahat. Wajahnya juga merah karena kepanasan."Kamila tidak bisa menahan tawa. "Masa sampai seperti itu? Eee, Nad, sepertinya wajahmu semakin merah. Wilfred, buat AC-nya lebih dingin."Nadine tidak bisa berkata-ka
Pada jam istirahat siang, seluruh laboratorium sangat sepi. Arnold membuka pintu ruang istirahatnya, lalu mencuci tangan dan wajahnya di wastafel. Kemudian dia berjalan ke dalam.Pakaian gantinya disimpan di dalam. Arnold membuka pintu, lalu menuju ke lemari sambil membuka kancing kemejanya. Kemudian, dia mengambil pakaian bersih.Nadine terbangun saat Arnold membuka pintu. Ranjang lipatnya diletakkan di belakang pintu. Begitu pintu didorong, Tubuhnya pun terhalangi.Namun, itu bukan berarti sosoknya tak terlihat. Jadi, begitu membuka matanya, Nadine bisa melihat Arnold sedang melepaskan kemejanya.Nadine pun terkejut, tidak tahu harus memperingatkan Arnold bahwa dia ada di sini atau tidak. Kini, Arnold telanjang dada.Ketika melihat situasi ini, Nadine tahu berbicara hanya akan membuat mereka merasa canggung. Dia memilih untuk memejamkan mata dan berpura-pura tidur.Nadine bisa melihat otot-otot Arnold yang kekar. Bahunya lebar dan pinggangnya ramping. Pemandangan ini terus terbayang
Eva marah hingga hampir menangis. Dengan suara serak, dia berteriak, "Aku bilang aku nggak punya uang! Nggak punya uang! Pokoknya nggak punya uang! Sekalipun kamu membunuhku, aku tetap nggak punya uang! Kamu mau apa?"Yang terdengar oleh Lupita hanya tiga kata, yaitu tidak punya uang."Kalau nggak punya uang, tidur saja sama pria! Setelah itu, kamu dapat uang, 'kan? Aku sudah ajarin kamu ini dari kecil! Kenapa masih nggak ngerti?""Pria dari mana? Nggak ada lagi yang mau sama aku! Aku mau tidur sama siapa?" pekik Eva.Lupita akhirnya menangkap ada yang aneh dari nada bicara Eva. Karena hal ini menyangkut masa depannya, apakah dia masih bisa mendapat uang dari Eva atau tidak, jadi dia meninggalkan mejanya dan mencari tempat yang lebih sepi."Maksudmu gimana? Kenapa bilang nggak ada yang mau sama kamu lagi? Pacar kayamu itu mana? Bukannya waktu itu kamu bilang bakal segera nikah sama orang kaya? Apa yang terjadi? Apa pernikahanmu dibatalkan?"Ketika mendengar suara ibunya yang emosional,
Teman asramanya."Eva, kenapa kamu jadi kurus begini?" Zovein meraih tangan Eva yang dingin dan kaku. "Kudengar kamu keguguran. Kamu harus istirahat dengan baik supaya nggak jadi penyakit. Jangan ...."Begitu mendengar kata keguguran, tatapan Eva langsung menjadi tajam. "Kamu bilang siapa keguguran?"Zovein termangu."Kamu yang keguguran! Aku baik-baik saja. Aku nggak apa-apa!""Eva, kamu ....""Kamu datang untuk mentertawaiku ya? Jangan mimpi!" Eva duduk tegak. Tubuhnya dipenuhi penolakan. "Kamu kira kamu bisa menginjakku karena situasiku seperti ini?""Zovein, singkirkan ekspresi kasihanmu itu. Kamu kira aku nggak tahu kamu iri karena aku punya pacar kaya?""Asal kamu tahu, aku jauh lebih hebat darimu. Meskipun aku di rumah sakit sekarang, aku pernah memiliki sesuatu yang nggak bakal pernah kamu miliki seumur hidup!"Zovein tidak bisa merespons. Dia tidak mengerti kenapa Eva menggila seperti ini.Eva terkekeh-kekeh. "Kamu nggak tulus ingin menjengukku. Kamu cuma ingin kenal orang kay