Share

Bab 3

"Nggak nemu tempat parkir yang bagus ya? Aku keluar untuk bantu ...." Saat menyadari ekspresi Reagan yang muram, Philip baru tersadar. "Hah! Kak Reagan, jangan-jangan ... Kak Nadine masih belum kembali?"

Sekarang ini sudah lewat dari tiga jam.

Reagan membuka tangannya sambil mengangkat bahu. "Balik apanya? Kamu kira putus itu candaan?" Setelah berkata demikian, dia berjalan melewati Philip dan duduk di sofa.

Philip menggaruk kepalanya. Apakah kali ini mereka benar-benar putus? Namun, dia langsung menggelengkan kepala mengenyahkan pemikiran itu. Dia percaya bahwa Reagan tega memutuskan hubungan, tetapi Nadine ....

Semua wanita di dunia ini mungkin bisa menerima putus, tapi Nadine sudah pasti tidak bisa. Hal ini adalah fakta yang telah diakui dalam lingkaran pertemanan mereka selama ini.

"Reagan, kenapa kamu sendirian?" tanya Teddy sambil tersenyum sinis. "Tiga jam sudah lewat, sekarang sudah seharian."

Reagan menyeringai, "Aku kalah taruhan, jadi harus terima hukumannya. Apa hukumannya?"

Teddy mengangkat alis, "Hari ini kita main yang beda, nggak usah minum alkohol."

Reagan kebingungan.

"Kamu telepon Nadine, lalu ngomong dengan suaramu yang paling lembut, 'Maaf, aku salah. Aku cinta kamu.'"

"Hahaha ...." Semua orang langsung tertawa terbahak-bahak.

Philip bahkan langsung mengambil ponsel Reagan dan menelepon Nadine. Setelah beberapa kali nada tunggu, terdengar pesan suara, "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi ...."

Ini ... apakah dia sudah diblokir? Reagan terlihat agak terkejut. Tawa di sekitar mereka mereda dan semua orang mulai saling memandang.

Philip segera memutuskan sambungan telepon, lalu menyerahkan kembali ponsel Reagan sambil mencoba mencairkan suasana, "Mungkin memang lagi nggak bisa dihubungi. Mana mungkin Kak Nadine blokir Reagan, kecuali turun hujan batu ... hahaha ...."

Pada akhirnya, dia sendiri merasa canggung.

Teddy terlihat merenung saat berkata, "Mungkin kali ini Nadine serius."

Reagan mendengus ringan, "Memangnya ada yang main-main waktu mengatakan putus? Aku nggak mau main permainan yang sama lagi untuk kedua kalinya. Mulai sekarang, siapa pun yang berani menyebut nama Nadine lagi, jangan harap kita masih bisa berteman."

Mata Teddy agak memicing, lalu setelah beberapa saat, dia berkata pelan, "Asal kamu nggak nyesal saja nanti."

Reagan menyeringai tipis dengan tak acuh. Dia tidak pernah menyesali apa pun yang dilakukannya. Melihat situasi yang semakin tegang, Stendy segera mencoba mencairkan suasana "Jangan terlalu serius, hahaha .... Kita semua sahabat, bukan?"

....

Pukul tujuh pagi keesokan harinya.

Kelly baru saja selesai jogging pagi. Begitu masuk rumah, dia langsung mencium aroma masakan yang lezat. Nadine keluar dari dapur dengan membawa bubur hangat dan mengenakan gaun motif houndstooth yang menampilkan kaki putih dan jenjangnya.

Meski tanpa riasan, kecantikannya tampak begitu mencolok. "Cepat mandi, habis mandi sarapan" kata Nadine.

Kelly mengerutkan alisnya, "Eh? Kamu ganti model rambut? Rambut hitam dengan kucir kuda? Dandan secantik ini, mau balik ke rumah? Atau Reagan mau jemput kamu?"

Nadine tertawa pelan, "Bisa nggak kamu doain yang baik-baik saja buat aku?"

"Reagan sudah inisiatif jemput kamu, itu masih belum cukup bagus?" Kelly berjalan ke samping meja makan dan melihat sarapan yang mewah.

"Mandi sana." Nadine menepis tangan Kelly yang mencoba mengambil makanan sambil mengeluh, "Kamu kotor sekali."

"Kamu ini pilih kasih, ya? Waktu Reagan pakai tangan, kenapa kamu nggak nepis tangannya?" tanya Kelly.

"Ya, kalau ada kesempatan lagi pasti akan kupukul."

"Siapa juga yang percaya ...."

Setelah Kelly selesai mandi, Nadine sudah pergi membawa kotak makanan.

"Cih, padahal sarapannya dimasakkin buatku, tapi tetap saja nggak lupa untuk nyisihkan sebagian buat pria itu. Dasar pilih kasih ...."

Di kamar rawat inap pribadi Rumah Sakit Weston.

"Freya, gimana perasaanmu hari ini?"

Freya menurunkan jurnal ilmiah yang sedang dibacanya dan mendorong kacamatanya ke atas, "Mario? Kenapa kamu bisa di sini?"

"Jangan bergerak." Mario buru-buru menambahkan bantal di belakang Freya sambil berkata, "Lukamu belum sembuh sepenuhnya."

"Radang usus buntu, operasi kecil saja, kok. Cuma karena sudah tua, kemampuan pemulihannya juga sangat lambat, makanya dokter menahanku lebih lama. Ngomong-ngomong, kuota penerimaan mahasiswa magister sudah turun tahun ini?"

"Sudah turun. Kamu dapat tiga, aku empat."

"Tiga ya ...," gumam Freya.

"Kenapa? Kamu tetap cuma mau ambil dua orang tahun ini?"

"Iya, sudah tua, jadi cuma bisa bimbing dua orang."

Mario mencibir. Padahal Freya memang sengaja mau menyisakan satu kuota untuk orang itu, tapi malah tidak mau mengakuinya.

"Bu Freya ... eh? Pak Mario juga ada di sini?" Taufan membawa dua adik kelasnya sambil meletakkan buah dan bunga segar. "Kami datang untuk jenguk Bu Freya."

Di tengah obrolan mereka, salah satu mahasiswa mengungkit, "Kudengar tahun ini ada adik kelas yang hebat sekali. Dia bisa langsung mendapatkan kualifikasi program S1 sampai S3 di fakultas kita."

Perlu diketahui, di Fakultas Ilmu Hayati Universitas Brata, jumlah mahasiswa yang langsung masuk program doktor tidak lebih dari tiga orang dalam sepuluh tahun terakhir.

"Katanya, tahun lalu adik kelas ini meraih dua medali emas di Olimpiade Matematika dan Komputer Internasional, lalu langsung diterima di fakultas kita."

"Dua medali emas? Biasa saja. Seingatku, ada seorang kakak kelas ... sepertinya murid Bu Freya, ya? Waktu masuk kuliah, dia sudah punya empat medali emas di tangannya ... matematika, fisika, kimia, dan komputer, semua diborongnya! Sepertinya namanya Na ... Nadine?"

"Oke, waktunya sudah habis." Mario langsung bergegas menghentikannya, "Kalian balik saja dulu ke kampus."

"Oh, kalau begitu ... kami pamit dulu."

"Ya."

Setelah keluar dari kamar pasien, mahasiswa itu menunduk dengan lesu. "Kak Taufan, aku salah bicara ya? Kenapa wajah Bu Freya sama Pak Mario kelihatannya muram sekali?"

Taufan juga merasa heran.

Di dalam kamar pasien.

Mario menghiburnya, "Anak-anak itu nggak sengaja, nggak usah diambil hati."

Freya melambaikan tangan, tetapi bibirnya terus gemetaran. Air mata yang menggenang, akhirnya berlinang juga.

"Genius sepertinya itu benar-benar nggak seharusnya begitu! Tapi kenapa ... kenapa dia nggak menghargai bakatnya sendiri?"

Mario menghibur, "Jangan emosi ...."

"Mario, tahu nggak apa yang dibilangnya waktu terakhir kali kita bertemu? Katanya dia menginginkan cinta ... hahaha ... cinta? Dia benar-benar menyakiti hatiku ...."

Nadine yang berdiri di luar pintu sambil memegang kotak makanan juga ikut meneteskan air mata. 'Maafkan aku, Bu Freya ...."

Pada akhirnya, Nadine tetap tidak berani masuk. Dia hanya meninggalkan kotak makanan itu di meja perawat. "Ini untuk Bu Freya, tolong bantu aku antarkan ya. Terima kasih."

"Hei ... kamu belum daftarkan namamu! Kenapa pergi begitu saja?"

Nadine berlari ke luar gedung dan menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar. Namun, perasaan bersalah itu masih tetap mencekiknya.

"Nadine?" Seorang wanita berpostur tinggi dengan riasan sempurna dan mengenakan sepatu hak tinggi, berjalan mendekatinya sambil membawa tas klasik berwarna hitam.

Dengan setelan blazer yang dipadukan dengan rok pensil dan rambut lurus yang terurai di bahu, sekujur tubuh wanita ini memancarkan aura yang elegan.

Wanita ini bernama Clarine, adik perempuan Reagan.

"Ternyata benar-benar kamu ya? Kenapa nggak di rumah, malah datang ke rumah sakit?" Clarine melirik sekilas gedung di hadapannya adalah gedung rawat inap. Jadi, Nadine seharusnya bukan datang untuk mengunjungi departemen kandungan.

Clarine menghela napas lega mewakili ibunya. Jika Nadine benar-benar harus menikah karena hamil, ibunya pasti akan jatuh pingsan saking kesalnya.

"Clarine," panggil Nadine sambil memaksakan senyuman.

"Kenapa matamu merah sekali? Baru nangis?"

Nadine tidak menjawab.

"Bertengkar sama kakakku lagi ya?" tanya Clarine.

"Bukan."

Clarine hanya menganggap Nadine sedang menyangkalnya, sehingga dia menunjukkan tatapan iba. Sebenarnya, Clarine lumayan menyukai Nadine. Penampilannya sangat cantik dan kepribadiannya jua baik. Sayangnya, dia masih kurang berkompeten untuk menikah ke keluarga mereka.

Terutama karena ibunya, Rebecca, sangat mementingkan jenjang pendidikan dan hanya menyukai menantu yang berasal dari perguruan tinggi ternama.

"Capek sekali ya pacaran sama kakakku? Temperamennya buruk, kamu harus banyak bersabar."

Nadine berkata, "Sebenarnya, kami sudah ...."

"Duh, aku lagi ada urusan, nggak bisa banyak ngobrol sama kamu." Setelah berkata demikian, dia melirik jam tangannya dan berjalan menuju gedung.

Clarine datang untuk menjenguk Profesor Freya. Berhubung dia mendengar orang mengatakan bahwa Freya menyukai mahasiswa yang pintar dan patuh, Clarine sengaja berdandan rapi. Apakah dia bisa mendapatkan kesempatan program doktor langsung atau tidak, semuanya bergantung pada kunjungan kali ini .…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status