“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa Paman sudah menyelidikinya jika dia bukanlah orang suruhan dari Om Rudi?” tanyaku penasaran.“Sepertinya begitu,” ucap Paman.Aku diam tak lagi menyahuti ucapan Paman, aku kini kembali melanjutkan makan dan membiarkan Paman berada di sini sebentar.“Kenapa kamarmu berantakan lagi?” Paman melihat-lihat kamar yang cukup rapi ini tapi dia masih saja mengatakan jika kamarku tidak rapi. Padahal hanya ada beberapa baju saja yang berserakan di bawah.Lagi pula, kenapa dia bertanya kenapa berantakan lagi? Memangnya kamarku ini museum yang hanya berisi barang pajangan dan tidak digunakan? Jadi rapi terus.“Nanti aku beresin,” ucapku karena masih makan.“Jangan malas jadi orang, kamu itu sudah dewasa,” ucap Paman mulai menasehatiku.“Kamu harus ingat bagaimana kedua orang tua kamu mempertahankan kamu agar tetap hidup, mereka berjuang keras untuk kamu, jadi kamu jangan pernah menyepelekan segala hal yang aku suruh karena itu semua demi kebaikan kamu kedepan
“Ya, aku yakin, Paman. Aku ke sana ‘kan tidak sendiri. Tapi datang bersama gebetan Bianca, jadi ... mereka pasti tidak akan mencurigaiku.”“Gebetan? Gebetan gadis itu? Maksudku Bianca, anaknya Rudi?” tanyanya.“Ya.” Aku mengangguk.Paman kemudian mengerutkan kening. Entah, apa yang dipikirkannya? Terkejut dan membaca sesuatu atau malah tidak tahu sama sekali tentang istilah gebetan.“Gebetan? Kamu ke sana dengan seorang pria?”“Ya.” Aku kembali mengangguk. “Ap –apa yang salah?” Baru saja aku tersadar, bahwa wujudku di kampus adalah seorang Junia. Masa iya dekat dengan pria?“Ehm, jadi ... aku dan gebetannya itu ceritanya dekat, Paman.”“Sedekat apa kalian sampai dia mau membawamu ke tempat Bianca?” Pria itu memelototiku. “Sepertinya dia juga bukan orang miskin, sampai bisa bergaul dengan anak Rudi yang kaya raya. Ada yang tidak beres di sini, Jun.” Pria itu kemudian menatap ke arah laptop dengan merk apel berlubang. Sesuatu yang jelas –jelas sangat mahal. Tentu saja membuat Paman Hamz
Saat akan segera pergi dari sana tiba-tiba saja aku menabrak seseorang karena berjalan tidak berhati-hati melihat ke arah depan. Begitu mendongak, melihat siapa yang baru saja kutabrak, seketika mataku melebar karena terkejut. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa ini karena kunjunganku semalam?Di waktu yang sama, seseorang menyambar tubuhku menjauh dari pria bertubuh tambun itu. Siapa pria ini? Hei, kenapa pria –pria ini berkeliaran di sekitar toilet wanita?“Maaf aku tidak sengaja,” ucapku sembari membungkuk sembari menyembunyikan wajahku.“Lain kali hati –hati. Jauhi pria itu!” tegas seorang pria yang tadi menjauhkanku dari Om Rudi. Pria yang mengenakan setelan rapi. Dia bukan mahasiswa juga dosen yang kukenal di sini.“Masa iya mahasiswa pakai setelan? Apa dosen baru?” gumamku seiring kepergian pria itu menjauh dariku.Aku harus mengendalikan diri dan bergegas dari sana karena takut jika Om Rudi mengenaliku. Setidaknya dia pasti melihat wajah tampanku, meski hanya beberapa detik. K
Setelah membiarkan perdebatan antara anak dan bapak itu terus berlanjut, selagi mereka masih meributkan permasalahanku tadi aku jadikan kesempatan ini untuk diam –diam berada di antara mereka. Aku sedikit berlari kecil untuk segera kembali ke tempat tadi di mana sekarang Om Rudi sudah ditinggal pergi oleh Bianca.Sekarang situasinya semakin rumit, aku tahu mungkin saja mereka tidak akan mengenali Arjuna secara pasti. Akan tetapi aku hanya waspada, hingga memilih untuk sembunyi sampai mereka pergi. Kini aku masih bersembunyi pada salah satu pohon besar yang tidak jauh dari mereka, dan setelah nanti melihat mereka melewatiku begitu saja, aku baru akan bernapas dengan lega.“Putriku baru saja pergi dari sini, aku minta, kalian mengawasi setiap gerak –geriknya dan jangan biarkan mencari tahu masalaluku, jangan sampai dia tahu semuanya!” perintah Om Rudi kepada anak buahnya.“Siap, Tuan!” sahut mereka berdua.“Periksa setiap detail, tentang gadis yang mirip Arjuna itu, juga jangan lupa unt
“Selamat tinggal, Salsa! Aku tidak tahu apa kita akan bisa berjumpa lagi.” Aku menggumam di sela langkah. Hampa sekali hidup ini, aku bahkan juga tidak melihat gadis itu di asrama sebelumnya.Namun, senyumku terkembang, kala melihat sosok gadis yang menyukai warna ungu itu berjalan ke arah kelasnya. Langkah ini kemudian berbelok. Rasanya tidak rela pergi tanpa berpamitan dengannya lebih dulu.“Salsa!” panggilku.Aku berjalan cepat mendekat sambil celingukan, takut jika ada Bianca atau anak buah Om Rudi yang melihatku mendatangi Salsa, kemudian menjadikan gadis itu sebagai target juga. Setelah merasa aman, aku pun terus melangkah tanpa ragu.Gadis itu pun menoleh. Begitu melihatku, dia tampak bingung dan salah tingkah. Sepertinya benar dugaanku, kalau dia menghindariku. Walau awalnya aku berniat menghindarinya, pada kenyataannya aku tak sanggup. Setidaknya, aku perlu memastikan dia baik –baik saja dan tidak marah padaku dulu.“Eh, Junia. Kamu nggak ada kelas?” tanyanya.“Ada, tapi sete
Sepanjang perjalanan, aku sempat bertemu orang yang kukenal dan sengaja tidak menyapa. Jika biasanya jalan yang kulewati adalah jalan utama sebagai penghubung asrama dan kampus, kini aku memutar arah ke jalan lain.Namun, aku dikejutkan oleh sesuatu. Seseorang tiba –tiba meraih lenganku, hingga langkah kaki terhenti. Begitu menoleh, seseorang itu adalah Hasan.“San, kamu ...?” Pertanyaanku menggantung. Bagaimana bisa dia mengenaliku, di saat aku bisa lolos dari Om Rudi dan anak buahnya.Atau ... jangan –jangan hanya aku yang terlalu percaya diri dan merasa sudah lolos dari mereka. Padahal, sekarang mereka sedang mengawasiku? Oh tidak! Itu tidak boleh terjadi. Karena pikiran itulah, kepalaku celingukan ke sana ke mari, memperhatikan sekitar.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Hasan. “Apa kamu mencari seseorang?”Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku jujur pada pria itu? Selagi nyawaku dan Paman Hamzah terancam. Jika kuberitahu pada Hasan, tidak menutup kemungkinan dia akan bercerita kepad
‘Paman! Ayolah! Cepat telepon aku agar ada alasan untuk segera pergi!’ ucapku pada diri sendiri dalam hati.Mataku tertuju pada segerombolan perempuan yang tengah tergelak bersama. Suara mereka yang kencang sampai ke telinganya. Lalu, beberapa pengunjung lain ikut memusatkan pandangan mereka. Tampak mereka pun tak nyaman sepertiku.“Dasar! Mereka tidak mengerti etika. Mereka begitu malah mengganggu kenyaman orang lain,” sungutku saat masih menatap lima perempuan di sebelah kiri. Ah, aku mengucap ini hanya karena kesal pada situasi yang kuhadapi, bukan karena gadis –gadis itu.Mendengar gerutuanku itu, Hasan pun turut mengarahkan pandangan ke sisi kanan dari tempatnya. Dia turut geleng-geleng melihat gerombolan itu yang seakan tak menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu mengganggu. Bahkan, malah semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gaduh. Dan pada akhirnya, seorang pengunjung datang mendekat dan menyela keseruan mereka.“Mereka berbeda sekali dari kamu, Junia,” kata Hasan tiba –tib
Namun tak bisa apa-apa selain menambah kesabaran untuk lebih lama lagi menatap wajah itu yang tampak bodoh di mataku.“Kamu suka hewan apa?” Pertanyaan Hasan itu sontak membuatku menganga dan kehilangan kata-kata.“Suka kucing?” tebaknya dan membuatku mengatupkan rahang, lalu mengerjap-ngerjap saat mendengarnya meneruskan kembali ucapan yang belum selesai itu. “Aku dengar, perempuan rata-rata menyukai hewan itu. Kucing kan lucu, sama kayak kamu, lucu, gemas.”Kantong kresek mana? Tolong. Perutku rasanya mendadak mual, ingin muntah hanya dengar mendengar pujian menjijikan itu terlontar dari bibir Hasan.Sungguh. Aku semakin muak berada di sini. Kaki juga sudah tidak sabar ingin beranjak, tetapi bisa apa? Bagaimana kalau memang informasi yang Hasan bagikan padaku itu sangat penting dan berguna?Baiklah. Aku harus sabar lagi. Tahan saja semua gombalan menjijikan itu dan telan bulat-bulat.“Kan tidak mungkin kalau kamu memiara anjing. Iya, kan?” lanjut Hasan lagi yang kusambut dengan angg
“Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I
“Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
“Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan