“Selamat tinggal, Salsa! Aku tidak tahu apa kita akan bisa berjumpa lagi.” Aku menggumam di sela langkah. Hampa sekali hidup ini, aku bahkan juga tidak melihat gadis itu di asrama sebelumnya.Namun, senyumku terkembang, kala melihat sosok gadis yang menyukai warna ungu itu berjalan ke arah kelasnya. Langkah ini kemudian berbelok. Rasanya tidak rela pergi tanpa berpamitan dengannya lebih dulu.“Salsa!” panggilku.Aku berjalan cepat mendekat sambil celingukan, takut jika ada Bianca atau anak buah Om Rudi yang melihatku mendatangi Salsa, kemudian menjadikan gadis itu sebagai target juga. Setelah merasa aman, aku pun terus melangkah tanpa ragu.Gadis itu pun menoleh. Begitu melihatku, dia tampak bingung dan salah tingkah. Sepertinya benar dugaanku, kalau dia menghindariku. Walau awalnya aku berniat menghindarinya, pada kenyataannya aku tak sanggup. Setidaknya, aku perlu memastikan dia baik –baik saja dan tidak marah padaku dulu.“Eh, Junia. Kamu nggak ada kelas?” tanyanya.“Ada, tapi sete
Sepanjang perjalanan, aku sempat bertemu orang yang kukenal dan sengaja tidak menyapa. Jika biasanya jalan yang kulewati adalah jalan utama sebagai penghubung asrama dan kampus, kini aku memutar arah ke jalan lain.Namun, aku dikejutkan oleh sesuatu. Seseorang tiba –tiba meraih lenganku, hingga langkah kaki terhenti. Begitu menoleh, seseorang itu adalah Hasan.“San, kamu ...?” Pertanyaanku menggantung. Bagaimana bisa dia mengenaliku, di saat aku bisa lolos dari Om Rudi dan anak buahnya.Atau ... jangan –jangan hanya aku yang terlalu percaya diri dan merasa sudah lolos dari mereka. Padahal, sekarang mereka sedang mengawasiku? Oh tidak! Itu tidak boleh terjadi. Karena pikiran itulah, kepalaku celingukan ke sana ke mari, memperhatikan sekitar.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Hasan. “Apa kamu mencari seseorang?”Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku jujur pada pria itu? Selagi nyawaku dan Paman Hamzah terancam. Jika kuberitahu pada Hasan, tidak menutup kemungkinan dia akan bercerita kepad
‘Paman! Ayolah! Cepat telepon aku agar ada alasan untuk segera pergi!’ ucapku pada diri sendiri dalam hati.Mataku tertuju pada segerombolan perempuan yang tengah tergelak bersama. Suara mereka yang kencang sampai ke telinganya. Lalu, beberapa pengunjung lain ikut memusatkan pandangan mereka. Tampak mereka pun tak nyaman sepertiku.“Dasar! Mereka tidak mengerti etika. Mereka begitu malah mengganggu kenyaman orang lain,” sungutku saat masih menatap lima perempuan di sebelah kiri. Ah, aku mengucap ini hanya karena kesal pada situasi yang kuhadapi, bukan karena gadis –gadis itu.Mendengar gerutuanku itu, Hasan pun turut mengarahkan pandangan ke sisi kanan dari tempatnya. Dia turut geleng-geleng melihat gerombolan itu yang seakan tak menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu mengganggu. Bahkan, malah semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gaduh. Dan pada akhirnya, seorang pengunjung datang mendekat dan menyela keseruan mereka.“Mereka berbeda sekali dari kamu, Junia,” kata Hasan tiba –tib
Namun tak bisa apa-apa selain menambah kesabaran untuk lebih lama lagi menatap wajah itu yang tampak bodoh di mataku.“Kamu suka hewan apa?” Pertanyaan Hasan itu sontak membuatku menganga dan kehilangan kata-kata.“Suka kucing?” tebaknya dan membuatku mengatupkan rahang, lalu mengerjap-ngerjap saat mendengarnya meneruskan kembali ucapan yang belum selesai itu. “Aku dengar, perempuan rata-rata menyukai hewan itu. Kucing kan lucu, sama kayak kamu, lucu, gemas.”Kantong kresek mana? Tolong. Perutku rasanya mendadak mual, ingin muntah hanya dengar mendengar pujian menjijikan itu terlontar dari bibir Hasan.Sungguh. Aku semakin muak berada di sini. Kaki juga sudah tidak sabar ingin beranjak, tetapi bisa apa? Bagaimana kalau memang informasi yang Hasan bagikan padaku itu sangat penting dan berguna?Baiklah. Aku harus sabar lagi. Tahan saja semua gombalan menjijikan itu dan telan bulat-bulat.“Kan tidak mungkin kalau kamu memiara anjing. Iya, kan?” lanjut Hasan lagi yang kusambut dengan angg
Langkahku memelan, begitu merasa Hasan tidak lagi mengejar. Napas ini tersengal, melihat sekeliling. Syukurlah, pria itu sudah menyerah. Satu bebanku sudah hilang. Seorang Junia sudah putus darinya dan aku tak lagi menyandang status pacar seorang pria.“Untung saja, aku tadi bilang akan ke rumah sakit, dan tidak memberi tahu kalau Salsa memintaku kembali ke asrama. Kalau Hasan tahu, dia pasti akan menyusulku ke sana,” gumamku sembari berbelok memutar arah.Kembali ke asrama, untuk melihat apa yang terjadi pada Paman Hamzah. Tidak jauh, hanya perlu berjalan satu setengah kilo meter dan aku akan sampai di asrama.“Hah, ya, tak jauh,” ucapku membohongi diriku sendiri. Kulap keringat yang sudah membanjiri wajah. Ini sangat jauh.Bagaimana tidak, aku harus terus kabur dan berlarian sejauh satu kilo meter dari kampus, dan sekarang harus memutar arah, satu kilo meter ditambah jarak dari kampus ke asrama 500 meter.“Apa aku menyewa becak saja? Tak masalah merogoh dua puluh ribu untuk menguran
“Sa! Salsa! Buka! Kamu di dalam kan?”Pintu kamar gadis itu terkunci. Bahkan ketika mengetuk dan menggedor sembari mengucap salam gadis itu tak juga membukanya.“Ke mana dia?” dengkusku kecewa.Tak ingin membuang lebih banyak waktu, aku pun merogoh ponsel yang tadi kumasukkan di saku tas dalam gendongan. Lalu menghubungi Salsa. Kenapa kali ini aku merasa Salsa tidak bertanggung jawab dengan ucapannya? Dia memberiku info tak jelas, dan sekarang dia tidak ada di tempat selagi aku membutuhkannya.Kuputuskan mengurus Paman sendiri tanpa mengharap bantuanya. Tak mendapat apa pun dari kamar gadis itu. Kukunci kamarku agar leluasa melakukan segala sesuatunya. Kaki ini terus melangkah dengan buru –buru.Hal pertama yang kulakukan adalah memesan taksi agar kami bisa ke luar dari tempat tak aman ini. Kemudian menyiapkan segala hal yang perlu dibawa. Selembar pakaian ganti dan semua dokumen penting atas namaku yang Paman uruskan sebelumnya. Juga laptop.“Kamu bisa, Jun! Semakin banyak intimidasi
“Gawat Paman! Apa itu mereka?!” tanyaku panik. Kami telah membuang banyak waktu bertahan di tempat ini. Bisa jadi anak buah Om Rudi sudah menemukan kami. Yah, uang memang sangat bermanfaat hingga pergerakan mereka bisa secepat itu.“Junia! Buka!” Suara Salsa terdengar dari sana, hingga aku dan Paman menghela napas lega.“Assalamualaikum!” teriaknya lagi. Tumben dia tidak runut saat bertamu. Biasanya mengucap salam lebih dulu, kemudian mengetuk perlahan. Namun sekarang, sudahlah berteriak, mengetuk keras ditambah mengucap salam ogah –ogahan.Tak membuang waktu, aku pun bergegas ke arah pintu dan membukanya. Setidaknya yang kucemaskan tidak terjadi. Yang di luar adalah Salsa bukan anak buah Om Rudi.“Jun, buk ....” Ucapan gadis itu menggantung karena pintu itu sudah kubuka. Kami saling menatap bingung.Namun, tampaknya Salsa terlihat lebih bingung melihat dari atas hingga bawah kakiku. Lalu celingukan ke dalam seperti mencari sesuatu.“Jun, kamu nggak papa?” tanyanya. Dia sepertinya men
“Paman! Aku bisa jalan sendiri!” protesku di sela langkah.Pria itu mencengkeram tanganku kuat –kuat selagi kami melangkah cepat menuju gerbang belakang asrama. Dia seolah tak percaya padaku dan akan kabur begitu Paman lengah.“Hem, aku tahu. Tapi, terkadang orang yang jatuh cinta tidak bisa berpikir waras. Jadi Paman akan berjaga –jaga.”“Hiss, Paman keterlaluan!” dengkusku. “Apa Paman tahu, sebenarnya aku ingin bertahan selama beberapa menit dan menjelaskan semuanya demi kebaikan Paman.”“Heleh, demi kebaikan Paman apanya? Kamu pintar mencari –cari alasan dan melimpahkan kesalahan pada orang lain.” Pria itu meremehkan ketika aku akan menjelaskan.“Hem, aku serius. Salsa berpikir Paman telah memperkaosku. Jadi aku akan menjelaskan, tapi Paman memaksa pergi!”“Hah! Apa maksudmu?""Ya, baginya aku seorang gadis yang dilecehkan!""Bagaimana Salsa bisa sampai punya pikiran sekotor itu? Apa dia pikir aku tidak punya otak untuk berpikir?! Ah, sudahlah! Apa pentingnya itu? Tak masalah jika