"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Satu tahun kemudian ....âKenapa wajahmu tertekuk begitu?â tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. âBukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.âAku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar âbesaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri âsantri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam âdiam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal âhal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
âEhm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.ââYa?ââApa benar Ning Salsa sudah punya calon?ââAh, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.âHatiku seperti dicabik âcabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.âEhm, Mas Juna kenal Salsa?ââAh, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.ââOh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.â Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.âKalau begitu saya permisi, Gus.â Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.âAh, ya.ââAssalamualaikum.ââWaalaikumussalam.â"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
âSiapa dia?ââAnak temannya Paman.ââNamanya?ââSalsa.ââHa ha ha.â Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."âHem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.â Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? âOya?!â Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.âUntung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.ââI
âIbu, aku âkan laki-laki? Kenapa pakai kerudung?â tanyaku polos kala itu.âGak papa, Sayang. Ibu lebih ingin kamu terlihat cantik.â Wanita itu membenarkan posisi kerudung yang membingkai kepala ini, lalu beralih ke rok berwarna merah, yang harus dikenakan di sekolah.âIngat, kamu tidak boleh mengatakan pada siapa pun, kalau kamu anak laki-laki, oke!?â Ibu memperingatkan.Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Hari di mana aku sudah fasih membaca Al-Qurâan dan mendengar kartun muslim, kemudian tahu bahwa seorang pria tidak boleh berlaku layaknya seorang perempuan. Itulah sebabnya aku pun protes kepada Ibu.âTapi, kita nanti disiksa kalau mengubah ciptaan Allah. Berbohong kan juga dosa, Bu.ââSttt, ini hanya untuk pura-pura. Supaya Om jahat tidak menemukan kamu, Sayang. Kalau tidak dia akan âŠ.â Ucapan ibu menggantung.Maksud ibu adalah Om Rudi, kakak dari ayah. Setiap pagi sebelum pergi, kami diminta untuk melihat fotonya dari waktu ke waktu agar bisa menghindar dan bersembunyi jik
âJadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?â Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.âKenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?ââItu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!â Nada suaraku meninggi.Saat menyamar menjadi perempuan, aku pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari siswa laki-laki, dan itu sangat mengganggu. Mereka memegang tanganku seolah aku ini seorang gadis cantik yang hidup dalam mimpi mereka. Astagfirullah.âSudahlah, Juna! Cepat ganti baju, dan berkemas!â Paman Hamzah tak peduli atas semua keluhan, dan meski telah protes sedemikian rupa.âTidak mau!ââTerserah. Pergilah semaumu kalau begitu. Jangan dikira aku senang karena harus menjagamu. Ini semua kulakukan demi ibumu.â Pria itu bangkit. Berdiri di depan pintu.Sedikit saja aku tak melihat ke arahnya, agar Paman tahu bahwa aku akan sa
âApa aku harus kuliah, Paman? Malas sekali rasanya,â tanyaku yang duduk di teras pos satpam sambil menikmati es krim yang Paman belikan.âYa, itu harus. Setidaknya kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan.â Paman tengah duduk di belakangku, di dalam pos. Mencatat sesuatu, entah apa?âAku malas bertemu banyak orang atau pun para pria.â.âKenapa? Kamu kan juga pria? Kamu terlalu banyak mengeluh, Jun. Kemarin bilang benci para gadis, sekarang benci bertemu pria! Plin-plan dan suka mengeluh. Heuh.â Paman memakiku. Laki-laki itu sifatnya sangat ceplas-ceplos. Aneh juga, kenapa orang sepertinya yang harus menjagaku?âHarusnya aku jadi pria biar bisa bergabung dan berteman dengan mereka,â protesku.âSudahlah, jangan terlalu banyak mengeluh. Serius belajar dari sekarang. Ingat nanti sore jadwal karate. Semua aturan paman harus kamu ikuti agarâ,â ucap Paman menggantung.âAgar aku tetap bisa hidup!â serobotku yang sudah sangat hafal kata-kata Paman.âYah, itu. Begitu kamu terlatih, dan
âSiapa dia?ââAnak temannya Paman.ââNamanya?ââSalsa.ââHa ha ha.â Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."âHem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.â Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? âOya?!â Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.âUntung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.ââI
âEhm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.ââYa?ââApa benar Ning Salsa sudah punya calon?ââAh, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.âHatiku seperti dicabik âcabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.âEhm, Mas Juna kenal Salsa?ââAh, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.ââOh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.â Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.âKalau begitu saya permisi, Gus.â Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.âAh, ya.ââAssalamualaikum.ââWaalaikumussalam.â"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri âsantri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam âdiam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal âhal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
Satu tahun kemudian ....âKenapa wajahmu tertekuk begitu?â tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. âBukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.âAku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar âbesaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.âPaman mengagetkan saja,â keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. âArahkan teropongmu ke sana!â Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap âendap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik âbaik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang âorang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.âHem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.â Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela âjendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
âJun?â tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.âOh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya âJun!â Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.âOh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?â tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan