Share

Di Asrama Wanita

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2023-06-13 15:28:33

“Jadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?” Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.

“Kenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?”

“Itu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!” Nada suaraku meninggi.

Saat menyamar menjadi perempuan, aku pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari siswa laki-laki, dan itu sangat mengganggu. Mereka memegang tanganku seolah aku ini seorang gadis cantik yang hidup dalam mimpi mereka. Astagfirullah.

“Sudahlah, Juna! Cepat ganti baju, dan berkemas!” Paman Hamzah tak peduli atas semua keluhan, dan meski telah protes sedemikian rupa.

“Tidak mau!”

“Terserah. Pergilah semaumu kalau begitu. Jangan dikira aku senang karena harus menjagamu. Ini semua kulakukan demi ibumu.” Pria itu bangkit. Berdiri di depan pintu.

Sedikit saja aku tak melihat ke arahnya, agar Paman tahu bahwa aku akan sangat membenci identitasku sebagai Junia.

“Hiduplah sesukamu. Dan hati-hati. Anak buah Rudi ada di segala penjuru.” Paman masih juga bicara mengingatkan. Mungkin dikira aku akan luluh karena perhatiannya. Dia saja yang tidak tahu bahwa Juna bukan pria yang mudah.

Tak lama langkah Paman terdengar, bayangannya bergerak pergi. Meninggalkanku sendiri dalam kesunyian.

Yah, pergilah! Jangan memaksaku jadi orang lain, apalagi jadi perempuan!

Setelah Paman pergi, aku pun memutuskan pergi juga dan mencari tempat tinggal. Pria itu sengaja hanya membayar penginapan untuk satu malam saja. Mungkin supaya keponakannya ini kesulitan dan mencarinya kemudian.

Heh! Jangan harap. Lebih baik aku mati daripada mengikuti kemauannya. Ini bukan hanya soal keamanan, tapi juga harga diri sebagai pria.

“Ah … inilah yang dinamakan hidup! Aku adalah pria bebas yang kuat dan tak terintimidasi apa pun.” Kuhirup udara dalam-dalam di luar ruangan. Aku harus tetap hidup, tidak terpuruk terus-terusan, agar keadilan bisa ditegakkan.

Pada akhirnya nanti aku yakin bisa masuk ke dalam keluarga Brawijaya dan menyingkirkan Om Rudi yang perilakunya suka memangsa seperti binatang itu.

Baru saja ke luar gang penginapan, ada sekitar lima orang dengan tubuh besar berdiri di depan sebuah gambar seorang pemuda. Mataku melebar. Itu adalah fotoku! Bahkan di sepanjang trotoar fotoku disebar.

Arhg! Sial!

Aku beringsut, menyembunyikan diri di balik dinding pagar dan segera mencari tempat bersembunyi. Napasku tersengal. Ada ketakutan yang merayapi pikiran. Bayangan kematian dan pembantaian keluargaku kembali terekam dalam ingatan. Tidak mungkin menghadapi mereka dalam trauma begini. Sendirian pula. Aku butuh rencana.

Di saat seperti ini aku harus berpikir cepat jika tak ingin tertangkap. Lalu tiba-tiba saja ucapan Paman Hamzah terngiang di telinga.

“Ini satu-satunya cara agar kamu bisa hidup dan mendapat keadilan suatu hari nanti.” Begitu katanya semalam.

Kurogoh kertas yang Paman Hamzah berikan tadi pagi dalam saku. Mengamati nama sebuah asrama mahasiswi.

“Tak jauh dari sini,” gumamku sebelum menyelinap pergi, memakai pakaian wanita. Benar kata Paman, bahwa penampilanku sebagai wanita mampu menyihir mata mereka sehingga tidak melihatku.

“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas keamanan bertanya saat aku mendekat ke pos, tempat mereka berjaga.

“Saya ingin mendaftar. Ehem.” Kupegang jakun. Rasanya suara ini terlalu berat, hingga membuat pria yang memakai seragam keamanan di depanku menyipitkan mata.

“Ada apa?” tanya pria lain yang baru datang. Mata pria itu sedikit melebar dengan senyum terkembang di bibirnya kala tatapan kami bertemu.

“Kamu datang juga Junia,” ucapnya. Kentara raut bahagia di wajah Paman Hamzah.

“Bang Hamzah kenal?” tanya petugas yang menyambutku sebelumnya.

“Dia ponakanku. Ayo, masuklah!” Paman menggiringku berjalan masuk, dan meninggalkan rekannya.

Pasrah. Aku mengikutinya, memutar bola mata malas melihat seringai Paman Hamzah saat berjalan mendahului.

Di depan sana banyak terlihat para gadis. Makhluk yang paling kubenci di dunia ini. Berat sekali hidup ini Tuhan! Kapan berakhirnya ujian-ujian yang datang?

“Bagaimana kamarku?”

“Tenang satu kamar satu orang, jadi kamu tak harus melihat mereka dengan aurat terbuka.”

“Bagus.” Aku mengucap dingin.

Tak ada yang peduli pada kedatangan kami di sini. Tentu saja karena penampilan kami, terutama aku yang tampak tidak ada bedanya dengan mereka.

Saat berdiri di belakang Paman, menunggu pria itu membukakan pintu, aku terperangah melihat seorang gadis yang berjalan ke arah kami.

“Cantik,” gumamku.

“Apa?!” Paman menoleh. Dia pasti berpikir aku sedang bicara dengannya.

“Ah, nggak!” sahutku cepat.

Pria itu pun melanjutkan pekerjaannya berjalan masuk lebih dulu ke kamar. Sementara aku, mengedarkan pandang mencari sosok seorang gadis berkerudung yang menggendong ransel. Ke mana dia? Begitu berbalik ke arah gerbang, gadis itu sudah pergi menjauh.

‘Apa dia juga tinggal di sini? Semoga saja.’

_____________

‘Ke mana gadis itu pergi? Siapa namanya?’

Rasa penasaran tiba-tiba muncul merajai hati, sampai tak sadar aku masih celingukan. Memindai keberadaan gadis berkerudung ungu yang mencuri perhatian.

“Jun!” Suara Paman terdengar dari dalam.

“Ya, Paman!” jawabku terhenyak, sebelum masuk mendekat.

“Gimana? Kamu suka?”

“Ya aku suka, dia gadis yang cantik.”

“Apa?” Paman mengerutkan kening.

“Hah?” Mataku melebar karena bingung. Sial. Aku meracau. Ini pasti gara-gara terlalu memikirkan gadis ungu.

“Oh, maksudku —.”

“Sudahlah. Aku hanya belum terbiasa dengan kelakuanmu.

” Paman mengucap dingin. Meremehkan dan menganggapku konyol. Itu lebih baik daripada ketahuan memperhatikan seorang gadis.

“Lihat! Ini lebih baik dari pada rumah Nenek di desa.” Paman Hamzah mengingatkan bagaimana kami menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun di desa. Kami bersembunyi di sana. Lebih tepatnya Paman perlu menyembunyikanku di tempat teraman dan menghindar dari kejaran anak buah Om Rudi.

Memasuki ruangan berukuran tiga kali empat, dengan satu kamar tidur, kamar mandi dan toilet yang terpisah, satu dapur dan pembatas ruang.

Ini cukup. Setidaknya WC terpisah dari tempat mandi dan mencuci pakaian.

“Lumayan. Setidaknya lebih baik dari penjara.”

“Cih, seperti pernah masuk penjara saja kamu, Jun."

"Aku sering melihatnya di film-film."

"Hmmm. Paman tau kamu bakal senang di sini.” Pria itu tersenyum puas.

“Tapi, untuk apa dapur?”

“Hah? Kamu tak tau fungsinya?”

“Ya, aku ngerti Paman. Untuk masak. Tapi aku tak pernah masak. Jadi untuk apa?”

“Lalu bagaimana kamu akan makan?” Dua alis tebal lelaki itu terangkat. Dia seperti sangat kagum kepada keponakannya yang bisa makan tanpa harus memasak lebih dulu.

“Ya, aku makan saja. Biasanya ibu menaruh di meja makan, kadang aku beli di kantin sekolah dan kadang aku pesan online.” Ah, perlukah menceritakan ini.

“Jadi kamu tak pernah masak?” Tangan Paman menyilang di dada.

Aku mengangguk. Lalu mataku melebar karena ingat sesuatu. “Apa …? Aku harus masak sendiri?”

Paman sontak tersenyum sinis. “Yah, tak usah masak. Anggap saja ibumu akan menyiapkan makan di meja. Belilah sesukamu di kantin. Tenang saja! Tapi ketika jatah mingguan habis, bawa tidur saja! Lupakan soal lapar. Karena uang untuk kuliahmu tak mungkin kuserahkan hanya untuk makan.”

“Apa? Berapa jatahku seminggu?”

“200 ribu?”

“Apa? 200 ribu hanya cukup untuk pesan makanan 3 kali.” Itu artinya hanya sehari aku makan tanpa memasak.

“Terserah! Kamu harus berhemat kalau mau tetap hidup!” Paman berlalu pergi meninggalkanku.

“Paman! Tunggu!” Hais. Bagaimana bisa aku hidup dengan uang 200 ribu per Minggu?

Aku harus mendiskusikan ini dengan Paman. Namun, dia malah menjauh dan tak peduli.

Huft. Pelit sekali pria itu. Rasanya ingin mati saja kalau begini. Terkadang di saat putus asa aku berpikir, kenapa juga Tuhan menyisakanku untuk tetap hidup? Dan malah mengambil seluruh keluargaku?

Sebentar, kalau aku mati, siapa yang akan memberi pelajaran pada Om Rudi dan keluarganya? Kalau mati, aku juga tidak akan bertemu dengan gadis ungu. Lagi pula, untuk apa aku bertahan sejauh ini jika bukan untuk hidup? Mengingat kerasnya kehidupan di asrama dan si ungu secara bersamaan, aku pun jadi bertanya-tanya apa si gadis ungu juga menjalani hidup sesulit ini di asrama?

Next...

Related chapters

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bertemu Gadis Ungu

    “Apa aku harus kuliah, Paman? Malas sekali rasanya,” tanyaku yang duduk di teras pos satpam sambil menikmati es krim yang Paman belikan.“Ya, itu harus. Setidaknya kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan.” Paman tengah duduk di belakangku, di dalam pos. Mencatat sesuatu, entah apa?“Aku malas bertemu banyak orang atau pun para pria.”.“Kenapa? Kamu kan juga pria? Kamu terlalu banyak mengeluh, Jun. Kemarin bilang benci para gadis, sekarang benci bertemu pria! Plin-plan dan suka mengeluh. Heuh.” Paman memakiku. Laki-laki itu sifatnya sangat ceplas-ceplos. Aneh juga, kenapa orang sepertinya yang harus menjagaku?“Harusnya aku jadi pria biar bisa bergabung dan berteman dengan mereka,” protesku.“Sudahlah, jangan terlalu banyak mengeluh. Serius belajar dari sekarang. Ingat nanti sore jadwal karate. Semua aturan paman harus kamu ikuti agar–,” ucap Paman menggantung.“Agar aku tetap bisa hidup!” serobotku yang sudah sangat hafal kata-kata Paman.“Yah, itu. Begitu kamu terlatih, dan

    Last Updated : 2023-06-13
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bidadari di Kelas Teknik

    Bayangan gadis itu terlihat.Sontak saja aku yang terkejut, pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya. Justru ini malah bagus sebenarnya, aku saja yang harus membiasakan diri.“Nggak papa, Mbak?”Aku menggeleng. “Nggak papa santai aja. Oya makasih untuk ciloknya, ya.” Kuambil mangkok dan segera menutup pintu. Merasa tidak ad

    Last Updated : 2023-06-13
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bianca Brawijaya

    Kalau begitu dia bisa jadi anaknya Om Rudi.Aku pun celingukan, hingga kudapati dua orang berseragam tampak tengah berdiri di depan jendela. Dan hanya terlihat pundak ke atas. Benar, dia bahkan dijaga bodyguard. Aku yakin antara Bianca, Kakek dan Om Rudi, mereka saling berkaitan. Aku harus menyelidikinya.Benar dugaanku, kala keluar dari kelas. Bianca diikuti dua bodyguard ke luar area kampus. Meski begitu tetap saja mata-mata lelaki melihatnya dengan takjub. Mereka tanpa malu memperhatikan tubuh Bianca yang hanya terbungkus pakaian minim.Sepertinya dia juga tak masalah dengan itu. Itulah kenapa aku tak menyukai wanita seksi, dia akan menjadi pusat perhatian pria lain. Beruntung rasanya bisa mengenal Salsa, meski juga cantik dia tetap memakai pakaian tertutup. Karena sebajingan-bajingannya seorang pria dia tak akan mau mendapat wanita berperilaku buruk.Ah, sudahlah. Kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana? Mentang-mentang sedang jatuh cinta pada Salsa. Aku jadi suka mengaitkan segal

    Last Updated : 2023-06-13
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Ciuman Pertama

    “Ck. Mukanya cakep, muka-muka konglomerat, tapi yang dibeli paling murah Cuma satu pula.” Ia ngedumel memakiku.“Mbak! Aku dengar lo!” seruku pada gadis itu. Hal minim akhlak seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau tidak nanti jadi kebiasaan.“Ah, ya, Mbak! Sebentar!” serunya dari dalam.Saat aku ke luar dari toko, seseorang berseru memanggil namaku.“Junia!”Saat menoleh, seorang gadis yang memakai baju ungu motif bunga datang mendekat. Salsa. Kenapa gadis itu suka sekali memakai gamis berwarna ungu?“Hai, Nona-nona cantik.”Kurang ajar. Jadi mereka mengikuti Salsa karena ingin menggodanya.Aku yang tak terima, refleks berdiri di depan Salsa, menjadi penghalang antara gadis itu dan pria-pria g ila ini.“Wah, ada yang lebih cantik,” goda salah seorang pria menjawil daguku.“Cuih!” Merasa ji jik aku pun refleks meludah ke wajah lelaki tersebut.“Gadis sok kecakepan! Sombong! Tak tahu diri!” Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Ingin sekali kulawan dan menendangnya tapi dua pria lain me

    Last Updated : 2023-06-13
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Pria Mesum

    “Tak tau diuntung!” Dia menamparku lagi hingga aku terjatuh. Dua temannya tak lagi memegangiku. Mungkin karena saking kesalnya. Hingga kurasakan cairan hangat merembes dari hidung dan bibirku bersamaan.Sial aku berdarah. Ah, ini tak masalah. Yang paling buruk dia sudah mencuri ciuman pertamaku. Argh! Menjijikkan sekali!“Woy!” Suara seorang pemuda mendekat. Ternyata dia datang tak sendiri. Melainkan lebih dari dua orang.Pemuda itu ternyata adalah mahasiswa yang menggodaku saat keluar tadi. Dia langsung melayangkan pukulan pada pria-pria itu. Wah, dia benar-benar keren. Seperti sedang memainkan jurus bayangan. Harusnya kuikuti saran Paman, pergi latihan karate agar bisa setidaknya melindungi diri. Jika melindungi diri saja tak bisa, bagaimana aku akan melindungi Salsa.“Dasar preman kurang kerjaan!” seru pemuda itu, kala pria-pria yang usil kepada kami lari tunggang langgang.Kini mahasiswa yang berhasil mengusir preman tersebut melihat ke arahku dan akan menolong.“Kamu gak papa?” t

    Last Updated : 2023-07-20
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Berbagi Rahasia

    “Au!” seruku saat Salsa membersihkan luka-luka di wajahku. Oh God! Wajah kami begitu dekat. Apa dia tak merasakan debaran kencang di dadaku?“Kamu ini terlalu berani untuk ukuran seorang perempuan, Jun. Aku malah gak enak sendiri, kamu menyerahkan diri dihajar buat selamatin aku.”“Ehm, ya. Aku tak suka perempuan dilecehkan,” jawabku meringis. Demi kamu bahkan ciuman pertamaku diambil seorang laki-laki, Sa. Sedih kalau ingat itu, merasa harga diriku sedang dicabik-cabik.“Temenku yang lain gak mungkin kaya kamu, Jun. Mereka pasti kabur dan meninggalkanku sendiri.” Tatapan Salsa kosong. Dia seperti tengah mengenang sesuatu yang buruk terjadi padanya. Apa itu? Aku sangat penasaran.“Jun,” panggil Salsa yang membuatku seketika menoleh.“Ya?”“Apa kamu menyukai Hasan?”“Hah?” Mataku seketika melebar menatap mata Salsa dalam-dalam. Aku cepat menggeleng. Kukira dia akan bercerita. Gak tahunya malah bahas Hasan.“Nggak!” Aku menjawab tegas.Gadis itu lantas tersenyum. Senang sepertinya.“Ken

    Last Updated : 2023-07-20
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Berbagi Rahasia

    “Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si

    Last Updated : 2023-07-20
  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Kamu Mencintainya, Jun?

    “Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si

    Last Updated : 2023-07-20

Latest chapter

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bahagia

    “Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Ingin Nikah, Paman

    “Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Abi Salsa

    Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Melayakkan Diri

    Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Senang Dia Mati

    "Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Tumbangnya Musuh

    Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Kemarahan Seseorang yang Dicintai

    Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Perang Sesungguhnya

    "Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Kejahatan Tidak Termaafkan

    “Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status