‘Paman! Ayolah! Cepat telepon aku agar ada alasan untuk segera pergi!’ ucapku pada diri sendiri dalam hati.Mataku tertuju pada segerombolan perempuan yang tengah tergelak bersama. Suara mereka yang kencang sampai ke telinganya. Lalu, beberapa pengunjung lain ikut memusatkan pandangan mereka. Tampak mereka pun tak nyaman sepertiku.“Dasar! Mereka tidak mengerti etika. Mereka begitu malah mengganggu kenyaman orang lain,” sungutku saat masih menatap lima perempuan di sebelah kiri. Ah, aku mengucap ini hanya karena kesal pada situasi yang kuhadapi, bukan karena gadis –gadis itu.Mendengar gerutuanku itu, Hasan pun turut mengarahkan pandangan ke sisi kanan dari tempatnya. Dia turut geleng-geleng melihat gerombolan itu yang seakan tak menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu mengganggu. Bahkan, malah semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gaduh. Dan pada akhirnya, seorang pengunjung datang mendekat dan menyela keseruan mereka.“Mereka berbeda sekali dari kamu, Junia,” kata Hasan tiba –tib
Namun tak bisa apa-apa selain menambah kesabaran untuk lebih lama lagi menatap wajah itu yang tampak bodoh di mataku.“Kamu suka hewan apa?” Pertanyaan Hasan itu sontak membuatku menganga dan kehilangan kata-kata.“Suka kucing?” tebaknya dan membuatku mengatupkan rahang, lalu mengerjap-ngerjap saat mendengarnya meneruskan kembali ucapan yang belum selesai itu. “Aku dengar, perempuan rata-rata menyukai hewan itu. Kucing kan lucu, sama kayak kamu, lucu, gemas.”Kantong kresek mana? Tolong. Perutku rasanya mendadak mual, ingin muntah hanya dengar mendengar pujian menjijikan itu terlontar dari bibir Hasan.Sungguh. Aku semakin muak berada di sini. Kaki juga sudah tidak sabar ingin beranjak, tetapi bisa apa? Bagaimana kalau memang informasi yang Hasan bagikan padaku itu sangat penting dan berguna?Baiklah. Aku harus sabar lagi. Tahan saja semua gombalan menjijikan itu dan telan bulat-bulat.“Kan tidak mungkin kalau kamu memiara anjing. Iya, kan?” lanjut Hasan lagi yang kusambut dengan angg
Langkahku memelan, begitu merasa Hasan tidak lagi mengejar. Napas ini tersengal, melihat sekeliling. Syukurlah, pria itu sudah menyerah. Satu bebanku sudah hilang. Seorang Junia sudah putus darinya dan aku tak lagi menyandang status pacar seorang pria.“Untung saja, aku tadi bilang akan ke rumah sakit, dan tidak memberi tahu kalau Salsa memintaku kembali ke asrama. Kalau Hasan tahu, dia pasti akan menyusulku ke sana,” gumamku sembari berbelok memutar arah.Kembali ke asrama, untuk melihat apa yang terjadi pada Paman Hamzah. Tidak jauh, hanya perlu berjalan satu setengah kilo meter dan aku akan sampai di asrama.“Hah, ya, tak jauh,” ucapku membohongi diriku sendiri. Kulap keringat yang sudah membanjiri wajah. Ini sangat jauh.Bagaimana tidak, aku harus terus kabur dan berlarian sejauh satu kilo meter dari kampus, dan sekarang harus memutar arah, satu kilo meter ditambah jarak dari kampus ke asrama 500 meter.“Apa aku menyewa becak saja? Tak masalah merogoh dua puluh ribu untuk menguran
“Sa! Salsa! Buka! Kamu di dalam kan?”Pintu kamar gadis itu terkunci. Bahkan ketika mengetuk dan menggedor sembari mengucap salam gadis itu tak juga membukanya.“Ke mana dia?” dengkusku kecewa.Tak ingin membuang lebih banyak waktu, aku pun merogoh ponsel yang tadi kumasukkan di saku tas dalam gendongan. Lalu menghubungi Salsa. Kenapa kali ini aku merasa Salsa tidak bertanggung jawab dengan ucapannya? Dia memberiku info tak jelas, dan sekarang dia tidak ada di tempat selagi aku membutuhkannya.Kuputuskan mengurus Paman sendiri tanpa mengharap bantuanya. Tak mendapat apa pun dari kamar gadis itu. Kukunci kamarku agar leluasa melakukan segala sesuatunya. Kaki ini terus melangkah dengan buru –buru.Hal pertama yang kulakukan adalah memesan taksi agar kami bisa ke luar dari tempat tak aman ini. Kemudian menyiapkan segala hal yang perlu dibawa. Selembar pakaian ganti dan semua dokumen penting atas namaku yang Paman uruskan sebelumnya. Juga laptop.“Kamu bisa, Jun! Semakin banyak intimidasi
“Gawat Paman! Apa itu mereka?!” tanyaku panik. Kami telah membuang banyak waktu bertahan di tempat ini. Bisa jadi anak buah Om Rudi sudah menemukan kami. Yah, uang memang sangat bermanfaat hingga pergerakan mereka bisa secepat itu.“Junia! Buka!” Suara Salsa terdengar dari sana, hingga aku dan Paman menghela napas lega.“Assalamualaikum!” teriaknya lagi. Tumben dia tidak runut saat bertamu. Biasanya mengucap salam lebih dulu, kemudian mengetuk perlahan. Namun sekarang, sudahlah berteriak, mengetuk keras ditambah mengucap salam ogah –ogahan.Tak membuang waktu, aku pun bergegas ke arah pintu dan membukanya. Setidaknya yang kucemaskan tidak terjadi. Yang di luar adalah Salsa bukan anak buah Om Rudi.“Jun, buk ....” Ucapan gadis itu menggantung karena pintu itu sudah kubuka. Kami saling menatap bingung.Namun, tampaknya Salsa terlihat lebih bingung melihat dari atas hingga bawah kakiku. Lalu celingukan ke dalam seperti mencari sesuatu.“Jun, kamu nggak papa?” tanyanya. Dia sepertinya men
“Paman! Aku bisa jalan sendiri!” protesku di sela langkah.Pria itu mencengkeram tanganku kuat –kuat selagi kami melangkah cepat menuju gerbang belakang asrama. Dia seolah tak percaya padaku dan akan kabur begitu Paman lengah.“Hem, aku tahu. Tapi, terkadang orang yang jatuh cinta tidak bisa berpikir waras. Jadi Paman akan berjaga –jaga.”“Hiss, Paman keterlaluan!” dengkusku. “Apa Paman tahu, sebenarnya aku ingin bertahan selama beberapa menit dan menjelaskan semuanya demi kebaikan Paman.”“Heleh, demi kebaikan Paman apanya? Kamu pintar mencari –cari alasan dan melimpahkan kesalahan pada orang lain.” Pria itu meremehkan ketika aku akan menjelaskan.“Hem, aku serius. Salsa berpikir Paman telah memperkaosku. Jadi aku akan menjelaskan, tapi Paman memaksa pergi!”“Hah! Apa maksudmu?""Ya, baginya aku seorang gadis yang dilecehkan!""Bagaimana Salsa bisa sampai punya pikiran sekotor itu? Apa dia pikir aku tidak punya otak untuk berpikir?! Ah, sudahlah! Apa pentingnya itu? Tak masalah jika
“Apa segenting itu situasi kita?” tanyaku. Mencoba untuk menawar keputusan impulsif Paman tersebut.“Stt, sudahlah! Jangan membantah,” tegasnya.Gagal. Pria itu mengunci pertanyaanku. Paman langsung sadar kalau aku keberatan untuk mematikannya.Dengan lemas, aku pun melakukan apa yang diperintahkan. Tak ada pilihan lain. Meski rasanya tidak rela tidak mengatakan apa pun pada Salsa dan membiarkan kesalahpahaman berlarut –larut antara kami.Namun, tetap saja aku harus mendahulukan akal ketimbang emosi. Mendahulukan nyawa kami yang lebih urgent dibanding pandangan Salsa tentang kami. Begitu ponsel mati, aku pun mengembus kasar melihat ke luar jendela mobil, menghindari tatapan dari Paman.Sekilas kulihat pria itu geleng –geleng. Dia pasti menahan kesal karena berpikir tingkah keponakannya yang sangat kekanak –kanakan.“Bersabarlah. Paman tahu kamu sedang jatuh cinta. Tapi kamu juga harus tetap waras agar nyawamu tidak melayang.” Pria itu kembali mengucap dengan nada bijak, dan membuatku
“Tapi kalian tahu kan? Aku tidak menyerah, meski begitu tetap saja yang kukerahkan orang –orang untuk mencarinya sampai mereka menemukannya!” tandas Om Rudi lagi.Ia sepertinya sedang memberi semangat pada anak buahnya itu agar tidak menyerah juga seperti dirinya.“Baik, Tuan. Kali ini akan saya usahakan lebih maksimal!” katanya. Biasanya anak buah para mafia di film –film mengatakan itu untuk kembali melaksanakan perintah bosnya.Siapa sangka yang kusaksikan di film –film itu ternyata benar adanya. Bahkan penjahatnya adalah omku sendiri.“Namun, nyatanya setelah itu kalian masih saja tidak memberiku apa –apa! Aku mulai muak. Apa yang bisa kamu jaminkan sekarang? Kepalamu dan bawahanmu?!” Om Rudi jelas sangat marah sekarang.Sudah bertahun –tahun, bahkan lebih sepuluh tahun dia berjuang menghabisi keluargaku. Di saat menemukan kami, satu dari keturunan Ayah masih hidup dan itu adalah aku.Anak buahnya yang tampaknya memang sangat dipercayai oleh Om Rudi itu hanya diam saja. Dia tahu t
“Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I
“Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
“Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan