“Ya, Pa? Apa ada yang bisa kulakukan untuk Papa?” tanya Om Rudi yang kini berdiri berhadapan dengan Kakek Brawijaya.“Rud, bagaimana? Apa ada info dari Arjuna? Ada kabar terbaru? Belakangan ini sepertinya kamu bergerak lebih aktif dari biasanya?” tanya Kakek yang membuat mataku melebar.Kakek tahu aku masih hidup? Dan bahkan mencariku? Ya Tuhan, ini benar –benar anugrah jika benar. Tunggu sebentar. Itu artinya Kakek tahu kalau aku masih hidup. Namun, kenapa Cuma aku yang Kakek cari? Apa pria yang sangat tua itu, sudah tahu kalau anak dan menantunya serta cucunya selain aku sudah mati?Pertanyaan –pertanyaan itu berkelebatan dalam kepala. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa seolah –olah Kakek dan Om Rudi sedang bekerja sama untuk menangkapku? Apalagi, melihat pria yang berada di belakang Kakek. Seseorang yang tampak membingungkan, tanpa kutahu apakah dia ada di pihakku atau Om Rudi atau malah tidak ke duanya karena tidak tahu sama sekali duduk permasalahannya.“Ah, ya benar, Pa. Aku se
Aku kesampingkan pikiran yang tidak –tidak dan menahanku dari menghubungi sang gadis pujaan. Lalu, menyalakan ponsel lama begitu saja. Tak lama setelahnya, pesan beruntun masuk dari nomor Salsa. Sebuah pesan yang membuatku fokus memikirkannya.[ Aku mendengar dengan telingaku, Jun. Kamu pasti sangat menderita.][ Ketika tersadar, bahwa aku mendapati diriku mengucap kalimat istigfar entah berapa kali. Karena bahkan ada beberapa yang terucap tanpa sadar. Saat itu aku tidak bisa berpikir apa-apa selain pikiranku yang disita penuh oleh Junia di dalam ruangan tertutup bersama pamanmu. Rasanya tak karuan, bahkan untuk diriku yang hanya menjadi seorang penduga.Memang tidak ada bukti, tapi bagaimana situasi yang dibuat oleh Junia di dalam sana membuatku berpikir bahwa dugaanku itu logis, bahwa Paman sedang memaksa Junia melayaninya.Memikirkan dan membayangkannya. Apa yang sedang Junia lakukan di dalam sana? Bagaimana ia merespon perlakuan pamannya yang keji? Apakah ia meronta-ronta? Apakah
“Gawat! Kalau begitu ... kita harus segera pergi dari sini!” ucap Paman sembari mematikan ponsel sendiri.Ucapan Paman seperti komando yang kemudian menjadi perintah alam bawah sadar untuk segera berkemas dan pergi. Sekarang bukan saatnya bersantai memikirkan hal lain, karena kalau sampai mereka menemukannya, tamatlah riwayat kami.Pelayan warung bengong melihat aku dan Paman yang tampak sibuk membereskan barang –barang dan meletakkan kembali ke gendongan.“Maaf, makanannya sudah siap,” ujar wanita yang kutaksir usianya sekitar 25 tahun tersebut. “Apa kalian akan pergi?” tanyanya kemudian.Ada raut kecewa di wajah perempuan dengan kerudung pendek yang tidak menutup bagian dadanya itu. Tentu saja karena dia sudah repot –repot menyiapkan pesanan pelanggan tapi malah dibatalkan. Dan alasan yang lebih menyesakkan adalah karena pasti makanan itu memerlukan modal, yang tidak kembali jika kami tidak membayarnya.“Ah, ya. Maaf untuk Mbak saja!” jawab Paman.“Tapi ....” perempuan itu tampak ak
Namun, aku terus bergerak meninggalkan mobil pick up itu dan juga Paman. Berdiri di sisi jalan untuk menyetop taksi yang lewat, dan kembali ke Jakarta memastikan keadaan Salsa baik –baik saja.Belum lagi mendapatkan taksi yang akan membawaku, mobil pick up yang tadi membawa kami berputar haluan dan berhenti tepat di depanku.“Jun! Naiklah! Sopirnya sudah bersedia membawa kita ke Jakarta.” Paman bicara sambil enggan menatapku.Meski begitu aku sangat senang melihat ini. Tak masalah jika harus satu ruang dengan kambing selama berjam –jam, yang penting aku bisa menemukan Salsa. Tak membuang waktu lagi, aku pun bergegas naik ke atas bak mobil yang tadi sempat kutinggalkan.“Hehm, lagakmu, Jun. Seperti punya uang saja membayar taksi ke Jakarta!” Paman mencebik meremehkanku.Semua itu memang tak bisa dipungkiri. Ucapan Paman benar, bahwa aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar taksi sampai Jakarta. Pamanlah yang selama ini mengendalikan warisan orang tuaku. Aku benar –benar merasa se
“Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat