Namun, aku terus bergerak meninggalkan mobil pick up itu dan juga Paman. Berdiri di sisi jalan untuk menyetop taksi yang lewat, dan kembali ke Jakarta memastikan keadaan Salsa baik –baik saja.Belum lagi mendapatkan taksi yang akan membawaku, mobil pick up yang tadi membawa kami berputar haluan dan berhenti tepat di depanku.“Jun! Naiklah! Sopirnya sudah bersedia membawa kita ke Jakarta.” Paman bicara sambil enggan menatapku.Meski begitu aku sangat senang melihat ini. Tak masalah jika harus satu ruang dengan kambing selama berjam –jam, yang penting aku bisa menemukan Salsa. Tak membuang waktu lagi, aku pun bergegas naik ke atas bak mobil yang tadi sempat kutinggalkan.“Hehm, lagakmu, Jun. Seperti punya uang saja membayar taksi ke Jakarta!” Paman mencebik meremehkanku.Semua itu memang tak bisa dipungkiri. Ucapan Paman benar, bahwa aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar taksi sampai Jakarta. Pamanlah yang selama ini mengendalikan warisan orang tuaku. Aku benar –benar merasa se
“Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat
"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam