Langkahku memelan, begitu merasa Hasan tidak lagi mengejar. Napas ini tersengal, melihat sekeliling. Syukurlah, pria itu sudah menyerah. Satu bebanku sudah hilang. Seorang Junia sudah putus darinya dan aku tak lagi menyandang status pacar seorang pria.“Untung saja, aku tadi bilang akan ke rumah sakit, dan tidak memberi tahu kalau Salsa memintaku kembali ke asrama. Kalau Hasan tahu, dia pasti akan menyusulku ke sana,” gumamku sembari berbelok memutar arah.Kembali ke asrama, untuk melihat apa yang terjadi pada Paman Hamzah. Tidak jauh, hanya perlu berjalan satu setengah kilo meter dan aku akan sampai di asrama.“Hah, ya, tak jauh,” ucapku membohongi diriku sendiri. Kulap keringat yang sudah membanjiri wajah. Ini sangat jauh.Bagaimana tidak, aku harus terus kabur dan berlarian sejauh satu kilo meter dari kampus, dan sekarang harus memutar arah, satu kilo meter ditambah jarak dari kampus ke asrama 500 meter.“Apa aku menyewa becak saja? Tak masalah merogoh dua puluh ribu untuk menguran
“Sa! Salsa! Buka! Kamu di dalam kan?”Pintu kamar gadis itu terkunci. Bahkan ketika mengetuk dan menggedor sembari mengucap salam gadis itu tak juga membukanya.“Ke mana dia?” dengkusku kecewa.Tak ingin membuang lebih banyak waktu, aku pun merogoh ponsel yang tadi kumasukkan di saku tas dalam gendongan. Lalu menghubungi Salsa. Kenapa kali ini aku merasa Salsa tidak bertanggung jawab dengan ucapannya? Dia memberiku info tak jelas, dan sekarang dia tidak ada di tempat selagi aku membutuhkannya.Kuputuskan mengurus Paman sendiri tanpa mengharap bantuanya. Tak mendapat apa pun dari kamar gadis itu. Kukunci kamarku agar leluasa melakukan segala sesuatunya. Kaki ini terus melangkah dengan buru –buru.Hal pertama yang kulakukan adalah memesan taksi agar kami bisa ke luar dari tempat tak aman ini. Kemudian menyiapkan segala hal yang perlu dibawa. Selembar pakaian ganti dan semua dokumen penting atas namaku yang Paman uruskan sebelumnya. Juga laptop.“Kamu bisa, Jun! Semakin banyak intimidasi
“Gawat Paman! Apa itu mereka?!” tanyaku panik. Kami telah membuang banyak waktu bertahan di tempat ini. Bisa jadi anak buah Om Rudi sudah menemukan kami. Yah, uang memang sangat bermanfaat hingga pergerakan mereka bisa secepat itu.“Junia! Buka!” Suara Salsa terdengar dari sana, hingga aku dan Paman menghela napas lega.“Assalamualaikum!” teriaknya lagi. Tumben dia tidak runut saat bertamu. Biasanya mengucap salam lebih dulu, kemudian mengetuk perlahan. Namun sekarang, sudahlah berteriak, mengetuk keras ditambah mengucap salam ogah –ogahan.Tak membuang waktu, aku pun bergegas ke arah pintu dan membukanya. Setidaknya yang kucemaskan tidak terjadi. Yang di luar adalah Salsa bukan anak buah Om Rudi.“Jun, buk ....” Ucapan gadis itu menggantung karena pintu itu sudah kubuka. Kami saling menatap bingung.Namun, tampaknya Salsa terlihat lebih bingung melihat dari atas hingga bawah kakiku. Lalu celingukan ke dalam seperti mencari sesuatu.“Jun, kamu nggak papa?” tanyanya. Dia sepertinya men
“Paman! Aku bisa jalan sendiri!” protesku di sela langkah.Pria itu mencengkeram tanganku kuat –kuat selagi kami melangkah cepat menuju gerbang belakang asrama. Dia seolah tak percaya padaku dan akan kabur begitu Paman lengah.“Hem, aku tahu. Tapi, terkadang orang yang jatuh cinta tidak bisa berpikir waras. Jadi Paman akan berjaga –jaga.”“Hiss, Paman keterlaluan!” dengkusku. “Apa Paman tahu, sebenarnya aku ingin bertahan selama beberapa menit dan menjelaskan semuanya demi kebaikan Paman.”“Heleh, demi kebaikan Paman apanya? Kamu pintar mencari –cari alasan dan melimpahkan kesalahan pada orang lain.” Pria itu meremehkan ketika aku akan menjelaskan.“Hem, aku serius. Salsa berpikir Paman telah memperkaosku. Jadi aku akan menjelaskan, tapi Paman memaksa pergi!”“Hah! Apa maksudmu?""Ya, baginya aku seorang gadis yang dilecehkan!""Bagaimana Salsa bisa sampai punya pikiran sekotor itu? Apa dia pikir aku tidak punya otak untuk berpikir?! Ah, sudahlah! Apa pentingnya itu? Tak masalah jika
“Apa segenting itu situasi kita?” tanyaku. Mencoba untuk menawar keputusan impulsif Paman tersebut.“Stt, sudahlah! Jangan membantah,” tegasnya.Gagal. Pria itu mengunci pertanyaanku. Paman langsung sadar kalau aku keberatan untuk mematikannya.Dengan lemas, aku pun melakukan apa yang diperintahkan. Tak ada pilihan lain. Meski rasanya tidak rela tidak mengatakan apa pun pada Salsa dan membiarkan kesalahpahaman berlarut –larut antara kami.Namun, tetap saja aku harus mendahulukan akal ketimbang emosi. Mendahulukan nyawa kami yang lebih urgent dibanding pandangan Salsa tentang kami. Begitu ponsel mati, aku pun mengembus kasar melihat ke luar jendela mobil, menghindari tatapan dari Paman.Sekilas kulihat pria itu geleng –geleng. Dia pasti menahan kesal karena berpikir tingkah keponakannya yang sangat kekanak –kanakan.“Bersabarlah. Paman tahu kamu sedang jatuh cinta. Tapi kamu juga harus tetap waras agar nyawamu tidak melayang.” Pria itu kembali mengucap dengan nada bijak, dan membuatku
“Tapi kalian tahu kan? Aku tidak menyerah, meski begitu tetap saja yang kukerahkan orang –orang untuk mencarinya sampai mereka menemukannya!” tandas Om Rudi lagi.Ia sepertinya sedang memberi semangat pada anak buahnya itu agar tidak menyerah juga seperti dirinya.“Baik, Tuan. Kali ini akan saya usahakan lebih maksimal!” katanya. Biasanya anak buah para mafia di film –film mengatakan itu untuk kembali melaksanakan perintah bosnya.Siapa sangka yang kusaksikan di film –film itu ternyata benar adanya. Bahkan penjahatnya adalah omku sendiri.“Namun, nyatanya setelah itu kalian masih saja tidak memberiku apa –apa! Aku mulai muak. Apa yang bisa kamu jaminkan sekarang? Kepalamu dan bawahanmu?!” Om Rudi jelas sangat marah sekarang.Sudah bertahun –tahun, bahkan lebih sepuluh tahun dia berjuang menghabisi keluargaku. Di saat menemukan kami, satu dari keturunan Ayah masih hidup dan itu adalah aku.Anak buahnya yang tampaknya memang sangat dipercayai oleh Om Rudi itu hanya diam saja. Dia tahu t
“Ya, Pa? Apa ada yang bisa kulakukan untuk Papa?” tanya Om Rudi yang kini berdiri berhadapan dengan Kakek Brawijaya.“Rud, bagaimana? Apa ada info dari Arjuna? Ada kabar terbaru? Belakangan ini sepertinya kamu bergerak lebih aktif dari biasanya?” tanya Kakek yang membuat mataku melebar.Kakek tahu aku masih hidup? Dan bahkan mencariku? Ya Tuhan, ini benar –benar anugrah jika benar. Tunggu sebentar. Itu artinya Kakek tahu kalau aku masih hidup. Namun, kenapa Cuma aku yang Kakek cari? Apa pria yang sangat tua itu, sudah tahu kalau anak dan menantunya serta cucunya selain aku sudah mati?Pertanyaan –pertanyaan itu berkelebatan dalam kepala. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa seolah –olah Kakek dan Om Rudi sedang bekerja sama untuk menangkapku? Apalagi, melihat pria yang berada di belakang Kakek. Seseorang yang tampak membingungkan, tanpa kutahu apakah dia ada di pihakku atau Om Rudi atau malah tidak ke duanya karena tidak tahu sama sekali duduk permasalahannya.“Ah, ya benar, Pa. Aku se
Aku kesampingkan pikiran yang tidak –tidak dan menahanku dari menghubungi sang gadis pujaan. Lalu, menyalakan ponsel lama begitu saja. Tak lama setelahnya, pesan beruntun masuk dari nomor Salsa. Sebuah pesan yang membuatku fokus memikirkannya.[ Aku mendengar dengan telingaku, Jun. Kamu pasti sangat menderita.][ Ketika tersadar, bahwa aku mendapati diriku mengucap kalimat istigfar entah berapa kali. Karena bahkan ada beberapa yang terucap tanpa sadar. Saat itu aku tidak bisa berpikir apa-apa selain pikiranku yang disita penuh oleh Junia di dalam ruangan tertutup bersama pamanmu. Rasanya tak karuan, bahkan untuk diriku yang hanya menjadi seorang penduga.Memang tidak ada bukti, tapi bagaimana situasi yang dibuat oleh Junia di dalam sana membuatku berpikir bahwa dugaanku itu logis, bahwa Paman sedang memaksa Junia melayaninya.Memikirkan dan membayangkannya. Apa yang sedang Junia lakukan di dalam sana? Bagaimana ia merespon perlakuan pamannya yang keji? Apakah ia meronta-ronta? Apakah