“Dia ...?” Bianca menunjuk ragu ke arahku. Tampaknya gadis itu baru sadar bahwa ada orang lain antara dirinya dan pria idamannya.“Ah, ya, ini temanku. Dia sangat ingin ikut.”“O ya?” Bianca menyahut pelan. Sangat pelan. Menatapku begitu lama. Seolah mengenaliku.“Hai,” sapaku. Kusodorkan tangan untuk basa –basi menyalaminya. “Andrea,” ucapku menyebut nama belakang dari Junia. Saat menatap sesaat ke arah Hasan, pemuda itu tersenyum. Seolah sedang memuji betapa cerdasnya aku. Memperkenalkan diri dengan nama lain tanpa berbohong. “Kenapa kamu mirip seseorang?” gumamnya. Bianca meraih dan menyalami tanganku dengan malas.“Hem, sebaiknya kita lekas melanjutkan rencana kita.” Hasan berdiri lebih dekat pada Bianca dan jadi penghalang antara kami.Gadis itu pun manggut –manggut setuju. Dia pasti tidak mau membuang waktu untuk membahas hal tak penting, sementara pria yang disukai ada di rumahnya.“Ayo kita ke kamarku saja!” ajaknya.Kami pun mengekornya ketika ia berjalan lebih dulu menuju a
“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa Paman sudah menyelidikinya jika dia bukanlah orang suruhan dari Om Rudi?” tanyaku penasaran.“Sepertinya begitu,” ucap Paman.Aku diam tak lagi menyahuti ucapan Paman, aku kini kembali melanjutkan makan dan membiarkan Paman berada di sini sebentar.“Kenapa kamarmu berantakan lagi?” Paman melihat-lihat kamar yang cukup rapi ini tapi dia masih saja mengatakan jika kamarku tidak rapi. Padahal hanya ada beberapa baju saja yang berserakan di bawah.Lagi pula, kenapa dia bertanya kenapa berantakan lagi? Memangnya kamarku ini museum yang hanya berisi barang pajangan dan tidak digunakan? Jadi rapi terus.“Nanti aku beresin,” ucapku karena masih makan.“Jangan malas jadi orang, kamu itu sudah dewasa,” ucap Paman mulai menasehatiku.“Kamu harus ingat bagaimana kedua orang tua kamu mempertahankan kamu agar tetap hidup, mereka berjuang keras untuk kamu, jadi kamu jangan pernah menyepelekan segala hal yang aku suruh karena itu semua demi kebaikan kamu kedepan
“Ya, aku yakin, Paman. Aku ke sana ‘kan tidak sendiri. Tapi datang bersama gebetan Bianca, jadi ... mereka pasti tidak akan mencurigaiku.”“Gebetan? Gebetan gadis itu? Maksudku Bianca, anaknya Rudi?” tanyanya.“Ya.” Aku mengangguk.Paman kemudian mengerutkan kening. Entah, apa yang dipikirkannya? Terkejut dan membaca sesuatu atau malah tidak tahu sama sekali tentang istilah gebetan.“Gebetan? Kamu ke sana dengan seorang pria?”“Ya.” Aku kembali mengangguk. “Ap –apa yang salah?” Baru saja aku tersadar, bahwa wujudku di kampus adalah seorang Junia. Masa iya dekat dengan pria?“Ehm, jadi ... aku dan gebetannya itu ceritanya dekat, Paman.”“Sedekat apa kalian sampai dia mau membawamu ke tempat Bianca?” Pria itu memelototiku. “Sepertinya dia juga bukan orang miskin, sampai bisa bergaul dengan anak Rudi yang kaya raya. Ada yang tidak beres di sini, Jun.” Pria itu kemudian menatap ke arah laptop dengan merk apel berlubang. Sesuatu yang jelas –jelas sangat mahal. Tentu saja membuat Paman Hamz
Saat akan segera pergi dari sana tiba-tiba saja aku menabrak seseorang karena berjalan tidak berhati-hati melihat ke arah depan. Begitu mendongak, melihat siapa yang baru saja kutabrak, seketika mataku melebar karena terkejut. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa ini karena kunjunganku semalam?Di waktu yang sama, seseorang menyambar tubuhku menjauh dari pria bertubuh tambun itu. Siapa pria ini? Hei, kenapa pria –pria ini berkeliaran di sekitar toilet wanita?“Maaf aku tidak sengaja,” ucapku sembari membungkuk sembari menyembunyikan wajahku.“Lain kali hati –hati. Jauhi pria itu!” tegas seorang pria yang tadi menjauhkanku dari Om Rudi. Pria yang mengenakan setelan rapi. Dia bukan mahasiswa juga dosen yang kukenal di sini.“Masa iya mahasiswa pakai setelan? Apa dosen baru?” gumamku seiring kepergian pria itu menjauh dariku.Aku harus mengendalikan diri dan bergegas dari sana karena takut jika Om Rudi mengenaliku. Setidaknya dia pasti melihat wajah tampanku, meski hanya beberapa detik. K
Setelah membiarkan perdebatan antara anak dan bapak itu terus berlanjut, selagi mereka masih meributkan permasalahanku tadi aku jadikan kesempatan ini untuk diam –diam berada di antara mereka. Aku sedikit berlari kecil untuk segera kembali ke tempat tadi di mana sekarang Om Rudi sudah ditinggal pergi oleh Bianca.Sekarang situasinya semakin rumit, aku tahu mungkin saja mereka tidak akan mengenali Arjuna secara pasti. Akan tetapi aku hanya waspada, hingga memilih untuk sembunyi sampai mereka pergi. Kini aku masih bersembunyi pada salah satu pohon besar yang tidak jauh dari mereka, dan setelah nanti melihat mereka melewatiku begitu saja, aku baru akan bernapas dengan lega.“Putriku baru saja pergi dari sini, aku minta, kalian mengawasi setiap gerak –geriknya dan jangan biarkan mencari tahu masalaluku, jangan sampai dia tahu semuanya!” perintah Om Rudi kepada anak buahnya.“Siap, Tuan!” sahut mereka berdua.“Periksa setiap detail, tentang gadis yang mirip Arjuna itu, juga jangan lupa unt
“Selamat tinggal, Salsa! Aku tidak tahu apa kita akan bisa berjumpa lagi.” Aku menggumam di sela langkah. Hampa sekali hidup ini, aku bahkan juga tidak melihat gadis itu di asrama sebelumnya.Namun, senyumku terkembang, kala melihat sosok gadis yang menyukai warna ungu itu berjalan ke arah kelasnya. Langkah ini kemudian berbelok. Rasanya tidak rela pergi tanpa berpamitan dengannya lebih dulu.“Salsa!” panggilku.Aku berjalan cepat mendekat sambil celingukan, takut jika ada Bianca atau anak buah Om Rudi yang melihatku mendatangi Salsa, kemudian menjadikan gadis itu sebagai target juga. Setelah merasa aman, aku pun terus melangkah tanpa ragu.Gadis itu pun menoleh. Begitu melihatku, dia tampak bingung dan salah tingkah. Sepertinya benar dugaanku, kalau dia menghindariku. Walau awalnya aku berniat menghindarinya, pada kenyataannya aku tak sanggup. Setidaknya, aku perlu memastikan dia baik –baik saja dan tidak marah padaku dulu.“Eh, Junia. Kamu nggak ada kelas?” tanyanya.“Ada, tapi sete
Sepanjang perjalanan, aku sempat bertemu orang yang kukenal dan sengaja tidak menyapa. Jika biasanya jalan yang kulewati adalah jalan utama sebagai penghubung asrama dan kampus, kini aku memutar arah ke jalan lain.Namun, aku dikejutkan oleh sesuatu. Seseorang tiba –tiba meraih lenganku, hingga langkah kaki terhenti. Begitu menoleh, seseorang itu adalah Hasan.“San, kamu ...?” Pertanyaanku menggantung. Bagaimana bisa dia mengenaliku, di saat aku bisa lolos dari Om Rudi dan anak buahnya.Atau ... jangan –jangan hanya aku yang terlalu percaya diri dan merasa sudah lolos dari mereka. Padahal, sekarang mereka sedang mengawasiku? Oh tidak! Itu tidak boleh terjadi. Karena pikiran itulah, kepalaku celingukan ke sana ke mari, memperhatikan sekitar.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Hasan. “Apa kamu mencari seseorang?”Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku jujur pada pria itu? Selagi nyawaku dan Paman Hamzah terancam. Jika kuberitahu pada Hasan, tidak menutup kemungkinan dia akan bercerita kepad
‘Paman! Ayolah! Cepat telepon aku agar ada alasan untuk segera pergi!’ ucapku pada diri sendiri dalam hati.Mataku tertuju pada segerombolan perempuan yang tengah tergelak bersama. Suara mereka yang kencang sampai ke telinganya. Lalu, beberapa pengunjung lain ikut memusatkan pandangan mereka. Tampak mereka pun tak nyaman sepertiku.“Dasar! Mereka tidak mengerti etika. Mereka begitu malah mengganggu kenyaman orang lain,” sungutku saat masih menatap lima perempuan di sebelah kiri. Ah, aku mengucap ini hanya karena kesal pada situasi yang kuhadapi, bukan karena gadis –gadis itu.Mendengar gerutuanku itu, Hasan pun turut mengarahkan pandangan ke sisi kanan dari tempatnya. Dia turut geleng-geleng melihat gerombolan itu yang seakan tak menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu mengganggu. Bahkan, malah semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gaduh. Dan pada akhirnya, seorang pengunjung datang mendekat dan menyela keseruan mereka.“Mereka berbeda sekali dari kamu, Junia,” kata Hasan tiba –tib