Selepas kepergian Mas Rafiq, mobil mertuaku muncul, dia membawa rombongan pengantin, Rosa dan kedua orang tuanya, juga dua orang pemuda, mungkin adik atau kakak si pelakor muda itu.Mereka turun dari mobil dan tanpa basa basi langsung merangsek masuk ke dalam rumah."Jannah, kau mana, Jannah?" tanya Ibu mertua dengan berteriak."Ada apa Mama?" Aku menuruni tangga dengan santainya."Kamu minta maaf sekarang juga sama Rosa dan besanku!" bentaknya sambil menunjukku."Untuk apa?" Aku mengangkat alis sebelah."Kau sudah mengacaukan pernikahan anakku, dasar tidak tahu diuntung!" cecarnya sambil tetap mengacungkan jari.Rasanya harga diriku hancur saat itu juga di depan orang tua perebut suamiku, aku tetap tersenyum getir meski di dalam hati terluka dan berdarah darah. Teganya Ibu mertua melakukan itu padaku, pada wanita yang sudah melahirkan cucunya."Kenapa diam saja, ayo minta maaf!" Teriakan ibu mertua menggelegar."Aku tak mau Mama, aku tak salah, wanita ini yang sudah merebut suamiku,
Selepas kepergian ibu, kurangkul puteraku yang sejak tadi terlihat cemas dan takut, nampak.sekalo dari raut wajahnya bahwa ia sangat syok pada sikap arogan neneknya."Bunda ... kenapa Nenek seperti itu?""Itu ... bunda juga gak bisa menebak dengan benar, tapi mungkin saja, itu karena Nenek tidak punya pilihan lain selain memuliakan menantu baru.""Tapi sampai kapan Bunda diperlakukan seperti ini, kenapa hidup Bunda pahit sekali, sampai dimadu tiga kali?" tanya Raisa yang sukses membuatku terkejut dan sadar bahwa aku sudah semalang itu selama hidup di dunia ini."Itu semua bukan kehendak Bunda," jawabku lirih."Tapi bunda yang memilih takdir demikian, maaf aku bukannya nyalahin Bunda, tapi sekali sakit sudah cukup bikin kita jera!""Tapi, bukannya bunda juga lakuin ini demi anak anak Bunda?""Memang betul aku yang minta Om Rafiq dan Bunda balikan, tapi bukan untuk mengulang lagi kejadian yang dulu," balasnya sambil bangkit dengan wajah kecewa."Naiklah dulu Rayan, Bunda akan membuat
Tak kusangka dia mencariku ke butik, mungkin untuk menjernihkan keraguannya atas apa yang ku bahas ditelepon malam tadi, Sebenarnya aku menatap wajah itu namun ia bersikeras untuk menemuiku."Apa lagi?" tanyaku sambil melipat tangan dan menemuinya di teras, aku risih mengajaknya masuk ke dalam toko kami."Apa yang ingin kau tunjukkan?"Aku buka layar ponsel lalu menunjukkan foto barang temuan yang ada di bawa kasur kami, sebuah kayu yang diikat seperti pocong dan helaian rambut serta foto Mas Rafiq."Ini dari mana?" tanyanya heran dan sekaligus terkejut."Dari bawah kasur di kamar kita.""Siapa yang bisa meletakkan itu di sana? Apa ini hanya akal-akalanmu?" tuduhnya yang langsung membuatku murka."Maaf ya, pekerjaanku sudah banyak aku tidak punya waktu sampai harus membuat drama seperti ini, aku hanya memberitahumu agar kau bisa meruqyah diri sendiri. Tapi jika kau lebih suka berada dan pengaruh ilmu sihir tersebut, ya lakukan saja sesukamu, aku tidak peduli," jawabku sambil membalikk
Ya, berakhir sudah, kusadari pada lembaran hidup yang ujungnya kutemukan kesimpulan bahwa aku memang tidak ditakdirkan Tuhan untuk menjalani waktu dengan seorang pria.Aku tahu harus menjalani semuanya sendirian, meski hari-hari sepi, ditambah menjaga anak-anak dan bisnis yang kukembangkan, dimana beberapa orang menggantungkan hidupnya di sana. Aku harus bisa.Ilham, dia sudah jadi karyawan, kusuruh ia bekerja dan menjaga stok di gudang. Bukan karena aku terpikat pada ketampanannya, tapi lebih pada merasa bahwa itu adalah kesempatan kedua menebus dosa pada mantan suami pertama, meski pemuda itu tidak ada hubungan sama sekali dengan Mas Ikbal.**"Bunda, Bunda bisa jaga Rayan dan Kakak sendirian Tanpa ayah?" tanya anakku pada suatu malam."Insya Allah bisa, kita akan saling menjaga," jawabku sembari merangkulnya."Bunda gak sakit hati pada ayah dan istrinya?""Sakit hati sih, iya, manusiawi tapi membesarkan dendam tak ada artinya, malah kita tak akan fokus dengan langkah sendiri."
"Mas Bangun dulu!" ujarku pada pria yang baru saja kunikahi siang tadi."Iya, sebentar aku masih ngantuk.""Mas! Kamu harus pergi kerja!" Aku mengguncang tubuhnya."Iya Jannah, kamu kok kasar amat?" Ia menggerutu dan sesaat nama yang dia sebutkan tadi bukan namaku."Kamu kok manggil aku Jannah sih, Mas?" Tiba tiba hatiku sakit."Oh, maaf ...." Ia nampak salah tingkah dan tersenyum canggung, sementara aku terlanjur kecewa."Aku gak mau dengar nama Mba Jannah lagi di antara kita berdua, Mas," ungkapku dengan hati kecewa."Maaf, tolong maklumi bahwa aku masih terbiasa dengannya.""Tapi itu menyinggungku ...." ."Iya, maaf, ya, Sayang, istriku yang cantik," bujuknya sambil mencium keningku.Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku harus menuai luka di hari kedua pernikahan.ah, sesaknya.*Sarapan sudah terhidang di meja, sudah kusiapkan teh manis dan juga nasi goreng yang kubuat dengan penuh cinta. Berharap ia akan menikmatinya lalu berterima kasih dan memujiku di depan mertua. Sungguh manis
POV Rafiq."Rosa, Ros ... Aku mencari dompetku," ucapku pada istri yang sedang sibuk di kamar mandi, entah apa yang dia lakukan."Iya, Mas, bentar.""Kamu lagi apa?""Lagi beresin baju kotor," jawabnya."Kamu lihat dompet aku nggak?""Enggak, Mas, tapi coba kamu lihat di laci lemari atau di dekat meja tempat tidur," balasnya sambil mengangkut tumpukan pakaian kotor pada kedua tangannya.Karena ingin segera beragkat ke kantor, aku segera melakukan arahan Rossa untuk menemukan dompetku.Kubuka kedua meja yang berada tempat tidur lalu membongkar-bongkar laci itu namun masih tak menemukannya.Kuangkat bawah bantal dan seprai kemudian tiba tiba aku iseng mengangkat kasur, menebak bahwa mungkin dompetku jatuh ke sela-sela papan tidur, karena biasanya aku meletakkan benda itu di dekat bantalku bersama ponsel.Ketika mengangkat tumpukan busa itu aku langsung terkejut karena menemukan tumpukan bunga setaman yang sudah kering, ada sebuah lipatan kain yang dipintal dengan benang hitam. Kuambil
Demi ditimpa oleh kegamangan yang tidak berakhir, Aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaan ini ke mana. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah dengan diriku. Tiba-tiba aku dapatkan terjebak dalam sebuah pernikahan dengan gadis muda entah kenapa aku tidak menyadarinya."Kemarin aku masih menjadi suami Jannah, dia sudah memberi kesempatan untuk kedua kalinya tapi kenapa aku tiba-tiba menikah dengan Rossa. Ada apa denganku?" tanyaku bingung sambil memijit kepala Aku makin bingung mendapati diriku bertiga di rumah Ibu sementara kedua wanita itu terlihat akrab, ada anak kami yang duduk dan sibuk dengan mainan miliknya tapi hatiku tak bahagia, anak itu asing di mataku, namun bukan berarti aku tak mencintainya.Aku merasa terhimpit dalam situasi yang tidak kuinginkan. Seharusnya aku bersama Jannah dan anak-anak di rumah. Kenapa aku menjadi bingung seperti ini, kenapa aku bisa menikah dan punya anak, apakah pengaruh benda yang kutemukan kemarin sehingga tak kusadari aku kehilangan aka
Keesokan malam, Aku sudah bersiap di rumah hendak pergi menemui Rayan ke tempat Jannah, Rossa yang memperhatikanku berdandan rapi langsung curiga dan bertanya."Mau ke mana Mas udah rapi begitu?" tanya Rossa dengan tatapan menyelidik. Dia menggendong anak kami Marvin hendak mengajaknya berbaring di tempat tidur."Aku ingin keluar bersama teman-temanku.""Kok tumben biasanya masih nggak pernah keluar keluar serabi itu," gumamnya tak suka."Sebenarnya ... begini Rossa, aku ingin pergi menemui Rayan karena sudah sangat merindukannya. Bolehkah aku pergi menemui anakku?""Kenapa tiba-tiba Mas?"wanita itu langsung meluncurkan air mata kesedihannya. Ada hal yang tidak kupahami pada wanita mereka selalu menggunakan air mata sebagai senjata paling ampuh untuk mendapatkan keinginannya."Sebagai pria meski sudah bercerai tanggung jawab ku sebagai seorang ayah tetap berjalan Rossa Aku memang tidak memberikan nafkah uang tapi tanggung jawab untuk bertemu dan memberikan kasih sayang tetap ada.""
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi