Demi ditimpa oleh kegamangan yang tidak berakhir, Aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaan ini ke mana. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah dengan diriku. Tiba-tiba aku dapatkan terjebak dalam sebuah pernikahan dengan gadis muda entah kenapa aku tidak menyadarinya."Kemarin aku masih menjadi suami Jannah, dia sudah memberi kesempatan untuk kedua kalinya tapi kenapa aku tiba-tiba menikah dengan Rossa. Ada apa denganku?" tanyaku bingung sambil memijit kepala Aku makin bingung mendapati diriku bertiga di rumah Ibu sementara kedua wanita itu terlihat akrab, ada anak kami yang duduk dan sibuk dengan mainan miliknya tapi hatiku tak bahagia, anak itu asing di mataku, namun bukan berarti aku tak mencintainya.Aku merasa terhimpit dalam situasi yang tidak kuinginkan. Seharusnya aku bersama Jannah dan anak-anak di rumah. Kenapa aku menjadi bingung seperti ini, kenapa aku bisa menikah dan punya anak, apakah pengaruh benda yang kutemukan kemarin sehingga tak kusadari aku kehilangan aka
Keesokan malam, Aku sudah bersiap di rumah hendak pergi menemui Rayan ke tempat Jannah, Rossa yang memperhatikanku berdandan rapi langsung curiga dan bertanya."Mau ke mana Mas udah rapi begitu?" tanya Rossa dengan tatapan menyelidik. Dia menggendong anak kami Marvin hendak mengajaknya berbaring di tempat tidur."Aku ingin keluar bersama teman-temanku.""Kok tumben biasanya masih nggak pernah keluar keluar serabi itu," gumamnya tak suka."Sebenarnya ... begini Rossa, aku ingin pergi menemui Rayan karena sudah sangat merindukannya. Bolehkah aku pergi menemui anakku?""Kenapa tiba-tiba Mas?"wanita itu langsung meluncurkan air mata kesedihannya. Ada hal yang tidak kupahami pada wanita mereka selalu menggunakan air mata sebagai senjata paling ampuh untuk mendapatkan keinginannya."Sebagai pria meski sudah bercerai tanggung jawab ku sebagai seorang ayah tetap berjalan Rossa Aku memang tidak memberikan nafkah uang tapi tanggung jawab untuk bertemu dan memberikan kasih sayang tetap ada.""
Sepanjang perjalanan pulang pikiranku berputar antara kaget dan kesal pada diri sendiri, Suara Jannah yang bahagia ingin menikah terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kucoba mengalihkan semua itu dengan menyetel musik namun tetap saja semakin berusaha melupakan semakin kuat bayangan Jannah mantan istriku yang cantik itu.Aku sampai di rumah dalam keadaan diri linglung dan sempoyongan, kepalaku pusing dan tubuhku mendadak lemas. Aku menyesal kenapa harus mengambil waktu selama ini untuk bisa memperbaiki hubungan dengan Jannah? mengapa harus terlambat lagi? kenapa?Ketika membuka pintu Rossa dan mama tengah duduk di ruang tengah, agak heran melihatku masuk tanpa mengucapkan salam. Mereka cukup curiga dan kaget melihat dengan keadaanku terguncang dan lemas."Ada apa, Mas?"Aku yang sedang banyak pikiran tentu tidak tahu harus menjawab apa, hanya berjalan menuju ke kamar dengan perasaan kosong, ingin sekali menangis rasanya, namun ternyata setelahnya, Rossa mengekoriku dari belakang."
Kukendarai mobil dengan gamang, tak peduli pada berapa kecepatan spedometer mobil, kalau akan mati, ya, aku sudah siap meregang nyawa. Namun, nyatanya Tuhan memberi ksempatan untuk sampai di rumah dengan selamat.Ketika membuka pintu kamar, anak istriku terlihat sudah tidur, ketika masuk, Rossa menyadarinya dan langsung bangkit dari kasur."Mas, kamu dari mana?"Tak mau mengatakan apa-apa, dibarengi asa bersalah aku hanya bisa menjatuhkan diri di kaki istriku, dan memeluknya."Astaghfirullah ,ada apa, Mas?""Maafkan aku Rossa," ucapku sedih."Ada apa lagi, Mas mau meninggalkanku dan Marvin?""Tidak, aku hanya takut kehilangan kamu juga," jawabku dengan air mata bercucuran."Apa yang sebenarnya terjadi, Sayang?""Aku minta maaf karena selama ini masih merindukan Jannah, aku minta maaf karena belum tulus membuka hati untukmu, aku minta maaf karena ternyata aku tidak siap ditambah, telah menemukan bahwa kau ... kau melakukan semua itu ...." Tak tega menyebut ilmu sihir padanya. Aku s
Malam pertama sebagai keluarga baru berjalan lancar, keluarga kedua belah pihak berkumpul di rumah setelah acara, makan malam lalu kembali ke rumah masing-masing, mereka seluruh anggota keluarga antusias dan bahagia dengan pernikahan ini. Hanya saja, satu-satunya orang yang terlihat tidak bersemangat Hanya Rayan, entah kenapa anakku itu menjadi murung dan seperti kehilangan semangat.Di acara makan malam pun dia tidak bergabung, alasannya, tidak enak badan dan lebih memilih untuk tidur. Kucoba tanyakan kepada Raisa tentang apa yang terjadi pada adiknya, namun anak gadisku juga tidak tahu ada apa dengan Rayan.Hati ini merasa cemas, namun aku coba alihkan dengan kembali membaur dengan sisa anggota keluarga sampai mereka semua beranjak ke kamar dan kami--aku dan Mas Vicky masuk juga ke kamar kami.** Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan kesukaan Rayan, tak lupa kubuatkan secangkir susu panas dan membawakan untuknya obat.Kuketuk pintu kamar namun dia tidak men
Karena merasa tidak berhasil mendapatkan titik temu dengan Mas Rafiq, akhirnya aku memutuskan untuk pergi menemui istrinya saja. Mungkin dengan bicara pada Rossa dan berusaha membujuknya wanita itu, bisa jadi dia bisa mengendalikan suaminya.Sebenarnya agak ragu dan khawatir bahwa kedatanganku akan menimbulkan kesalahpahaman, Aku khawatir dengan mencari Rossa dia akan berasumsi bahwa aku akan meminta Mas Rafiq darinya. Lagipula satu-satunya tempat untuk menemukan wanita itu adalah di rumah mertuanya, menemui ibu mertuanya juga sama seperti meletakkan diri di dalam kandang singa.Kuparkirkan mobil di depan rumah yang pernah ku tinggalli selama hampir 1 tahun. Kebetulan ada Pak Eko yang merupakan supir sejak dulu sedang membersihkan mobil Mama mertua."Permisi Pak Eko .....""Oalah, Mbak, Jannah, tumben ...."Pak Eko terlihat senang dengan kedatanganku ia menghampiri lalu menyalami."Gimana kabarnya Pak," tanyaku pada pria baik itu."Baik mbak, Mbaknya kesini ada apa ya? Kok tumben?"
Ditelaah sejak dahulu awal-awal dari kehilangan bahagiaku adalah ketika aku memiliki madu. Setelah itu hidupku bahagia kembali aku memilih sendiri. Nggak tiba-tiba Mas Rafiq meyakinkanku untuk pernikahan. Dan awal petaka yang sesungguhnya adalah dia. Aku tidak menyangka bahwa pria yang ketampanannya melebihi Mas Ikbal akan memberikan penderitaan dan kesusahan yang cukup banyak di dalam hidupku. Aku tidak mengira bahwa takdir yang kupilih untuk bersamanya adalah jalan yang salah.Bahkan ketika kami sudah berpisah dan aku telah menikah lagi kemudian kami menjalani hidup masing-masing, dia tetap sama, masih saja memberiku masalah. Apa sebenarnya yang Mas Rafiq inginkan?Setelah tidak berhasil mempengaruhi untuk rujuk dengannya dia malah mempengaruhi Rayan untuk memberontak pada ibunya sendiri. Jika tidak bisa menjauhkan Mas Rafiq jadi anakku, maka yang harus dijauhkan adalah Rayan darinya.Pukul 7 malam aku menemui putraku di kamarnya, yang terlihat sedang duduk di meja belajar, langs
Hari itu aku dan Mas Vicky pergi menemui Mas Rafiq ke rumahnya, membawa serta Rayan bersama kami, aku berencana untuk memberinya kejutan yang akan membuat dia tidak berkutik.Lagipula bagaimana dia akan terketik jika istri dan ibunya berada di tempat itu.Siang itu dengan mengendarai mobil aku bersama anak dan suamiku sampai tepat di depan rumah megah milik keluarga Mas Rafiq.Kamu yang masuk ke pekarangan utama, dan suasana terlihat lengang tanpa adanya sopir atau tukang kebun. Dilanjutkan ke pintu utama, Rayan yang sejak tadi diberitahu akan menemui ayahnya terlihat tidak menunjukkan ekspresi apapun. Kuketuk pintu dan tak lama kemudian pintunya dibuka oleh si Bibi."Assalamualaikum, apa Mas Rafiq dan Rossa ada di rumah?""Uhmm, ada ... Mbak," jawab si Bibi ragu."Katakan bahwa saya ingin bertemu dengannya, dan katakan juga bahwa Rayan datang." "Baik, Mbak," jawab si Bibi beringsut ke dalam.Tidak lama kemudian Mas Rafiq turun, dia begitu bahagia melihat anaknya, mempercepat langk
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi