Pria pilihan hati Kalila pergi dan menikahi perempuan lain. Patah hati, Kalila menerima perjodohan yang diputuskan sang papa. Ia dinikahkan dengan Farhan, salah satu teman papanya. Perbedaan usia yang jauh, perbedaan karakter, dan hati tanpa cinta menjadi batu sandungan keduanya. Mampukah Kalila menerima Farhan? Sanggupkah Farhan mempertahankan pernikahannya jika hanya dirinya yang berjuang?
view more“Harus banget gitu, Pa, nerima Bang Farhan?”
Tatap takut-takut Kalila menyapu wajah laki-laki berusia 50 tahun yang duduk di kursi malas ruang tengah. Bukan ingin membantah, tetapi sebelum hari ini, Kalila tidak pernah diajak bicara tentang rencana perjodohan atau pernikahan. Ia tidak habis pikir, tidak ada angin tidak ada badai, papanya mendadak memintanya agar menerrima Farhan. Jangan-jangan Papa kena pelet Bang Farhan.
“Farhan baik, La. Papa kira tidak ada alasan untuk menolak lamarannya.” Wisnu berdiri lalu meletakkan buku di rak. Ia beralih ke sofa di dekat dinding, duduk di samping Kalila. Salah satu tangannya diletakkan di bahu sofa, tepat di belakang Kalila.
Kalila menghela napas. Wangi mint dan melati dari cangkir tehnya tidak mampu mengusir gelisah di hati. Farhan memang manusia nyaris tanpa cela. Banyak orang mengidamkan kulkas tujuh pintu itu menjadi pendamping hidup. Namun, tidak bagi Kalila. Jarak usia yang cukup jauh, sikap dingin Farhan, menjadi alasan baginya untuk menolak. Selain itu, Farhan adalah kolega sang papa di kampus. Kalila sudah overthinking membayangkan komentar teman-temannya jika pernikahannya dengan Farhan terjadi.
“Lila masih unyu-unyu, Pa. Kenapa Lila harus menikah secepat ini?”
Hening sesaat. Wisnu mengalihkan pandangan ke foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tengah merangkap ruang makan. Tiba-tiba saja dadanya sedikit sesak sehingga ia perlu menarik napas dalam-dalam dengan mengeluarkannya perlahan. Bayang wajah istrinya mengapung di depan mata selama sekian detik sebelum akhirnya berhasil ditepisnya. Pria yang masih bugar di usia lewat setengah abad itu tidak ingin menangis di depan sang putri.
“La ....”
Kalila menoleh, menunggu Wisnu melanjutkan kata. Genggaman tangan pada cangkir mengerat. Gadis itu hapal, jika papanya berbicara dengan suara berat dan pelan, itu artinya akan ada hal serius yang akan dia ucapkan.
‘Papa nggak tahu bisa nemenin kamu sampai kapan. Papa takut, Papa pergi sementara kamu belum ada yang mengayomi.” Terdiam sesaat, Wisnu berusaha melerai duka. “Mama sudah nggak ada. Cuma kamu anak Papa, harta Papa. Papa ingin lihat kamu bahagia. Papa tidak ingin kamu hidup sendiri.”
Masalah itu lagi. Kalila membatin. Beberapa kali papanya menyinggung tentang usia dan akhir kehidupan. Kalila tidak suka. Bukan ingin menolak takdir, tetapi Kalila ingin membiarkan hidup ini mengalir apa adanya. Jika saat perpisahan itu tiba, Kalila tahu tidak akan siap dan pasti butuh waktu untuk melepas duka. Namun, Kalila juga tahu, Allah tentu sudah menyiapkan jalan agar hidupnya tetap baik-baik saja. Bukankah skenerio-Nya selalu yang terbaik?
“Papa akan tenang kalau kamu sudah menikah dengan laki-laki yang tepat. Menurut Papa, Farhan laki-laki yang tepat buatmu.” Wisnu mengangkat tangannya lalu mengusap pipi Kalila. Hatinya menghangat. Paras Kalila sangat mirip dengan sang mama. “Kalau soal umur, dua puluh dua tahun tidak terlalu muda. Dulu Mama nikah sama papa setahun lebih muda dan tidak masalah.”
Pandangan Kalila tertuju pada dua lembar daun mint pada permukaan air di cangkirnya. Bibirnya terkatup rapat sementara saraf-saraf otaknya sibuk mencari jawaban.
“Atau kamu punya calon lain? Kalau lebih baik dari Farhan, pasti Papa terima.”
Manik mata gelap milik Wisnu Naratama menelisik paras Kalila. Selarik senyum tipis tersungging di bibirnya. Sebenarnya ia memang sudah lama ingin menjodohkan putri tunggalnya dengan salah satu dosen terbaik di fakultasnya itu. Namun, Wisnu harus menunggunya sampai selesai S3 dan mengajar kembali di Fakultas Teknik.
Rupanya semesta menyimpan harapan Wisnu. Farhan memiliki keinginan serupa. Ketika dosen muda itu datang ke rumah untuk melamar Kalila, tanpa pikir panjang Wisnu mengiyakan. Ia sudah mengenal Farhan sejak lama dan yakin kalau laki-laki itu tepat untuk Kalila.
Kepala Kalila tertunduk. Ditelannya ludah yang mendadak terasa sedikit pahit. Lalu, tiba-tiba wajah Haiyan, salah satu dosen di fakultas yang sama dengan Wisnu dan Farhan mengisi kepala, mengoyak hatinya untuk berkata “ya” demi membebaskan diri dari tuntutan sang papa agar menerima Farhan.
Wisnu memindai wajah Kalila. Ia tahu putrinya menyimpan sesuatu. “Gimana, kamu ada calon lain? Kalau dia memenuhi syarat 3T pasti Papa terima.” Bibir Wisnu membusur.
“Tiga T apaan, Pa?”
“Masa kamu tidak tahu? Papa saja tahu. Kudet kamu.” Kali ini Wisnu berujar santai dan tenang.
Kalila melongo.
“Tiga T itu Tampan, Takwa, Tajir. Kalau ada cowok kayak gitu, auto Papa terima buat gantiin Farhan.”
“Memangnya Bang Farhan punya 3T?” Kalila menatap sangsi sang papa. Seingatnya, jangankan mobil, laki-laki itu malah ke mana-mana ditemani vespa jadul, membuatnya mirip manusia dari masa lalu yang tiba-tiba muncul dari mesin waktu.
“Dia cuma 2T. Nggak tajir.” Wisnu terkekeh.
“Terus kenapa Papa terima?”
“Duit bisa dicari, La. Tapi kalau iman, itu yang susah.”
“Manusia bisa berubah, Pa. Hari ini buruk, belum tentu esok lusa jelek. Mana tahu justru dia bertobat dan jadi jauh lebih baik.”
“Menikah itu bukan coba-coba, La. Mendingan cari suami yang memang bener-bener baik. Kamu nggak akan mungkin mengubah manusia yang sudah melewatkan dua puluh tahun lebih umurnya. Kamu nggak sekuat itu. Kamu bukan wonder woman atau cat woman.”
Ucapan Wisnu disambut tawa Kalila. “Papa ada-ada saja,” ujarnya setelah tawanya reda. “Tapi Bang Farhan sudah tua, Pa. Lagian kita, kan, nggak bisa lihat iman orang lain. Dari mana Papa tahu kalau Bang Farhan baik imannya?”
Kali ini Kalila memasang tampang memelas. Tidak terbayang oleh Kalila akan menikah dengan laki-laki yang terpaut dua belas tahun dengannya. Duh, mimpi apa dia sampai harus nikah dengan om-om. Kalila bergidik.
“Papa sudah sering nginep sama Farhan. Dia tidak pernah tinggal salat, bisa baca Quran dengan baik. Papa anggap itu cukup jadi bekal menikahi kamu.” Wisnu menjeda kalimat dengan helaan napas dan mengusap kepala Kalila. “Kalau soal umur, justru karena itu Papa pilih Farhan.” Wisnu mengelus punggung Kalila. “Kamu itu manja, gampang nangis, baperan. Cocok sama Farhan yang tenang dan sabar.”
“Papa, kok gitu, sih?” Kalila beringsut, menjauhi tubuh Wisnu lalu menatap kesal lelaki itu.
Jangan ngambek dulu. Wisnu tersenyum geli. “Papa yakin Farhan bisa bimbing kamu.”
“Nggak cuma Bang Farhan yang bisa bimbing Lila. Memangnya nggak ada gitu, orang lain yang lebih muda dari Bang Farhan, Pa? Masa iya aku nikah sama om-om?”
“Yang lebih muda banyak. Tapi yang cocok sama kamu, cuma Farhan.” Wisnu menjawab dengan yakin. Ia sudah memikirkannya sejak lama. Wisnu juga sudah meminta petunjuk pada Allah. Dia benar-benar yakin dengan pilihannya. Ia hanya perlu memberi waktu pada Kalila untuk berpikir jernih dan memilih dengan hati tenang.
“Tapi, Pa ….”
“Sudah cukup pembicaraan kita, La. Tolong kamu pikirkan permintaan Papa. Jangan lupa istikharah.” Wisnu bangkit kemudian meninggalkan ruang tengah, membiarkan Kalila duduk dengan raut muka jengkel.
***
Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir
Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu
Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan
Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments