Beranda / Romansa / Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa / Bab 5: Seperti Ajakan Kawin Lari

Share

Bab 5: Seperti Ajakan Kawin Lari

Penulis: HarunaHana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-13 10:32:23

“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila. 

Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila.  

Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini? 

“Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisnu sangat konservatif.” Ia sedikit menjauhkan piring berisi spageti dengan saus carbonara dari hadapannya. Bukan karena tidak lagi berselera, melainkan karena urusan makan sepertinya harus ditunda dulu. Rupanya, Kalila tak seperti apa yang dipikirkannya selama ini. Rasa yang sama tidak lantas membuat Kalila serta merta setuju dengan idenya. 

Kalila memasukkan seiris almond ke mulut dan mengunyahnya perlahan. Papanya memang memiliki pandangan kuno tentang hubungan pria dan wanita. Namun, Kalila tidak menemukan benang merah hal itu dengan permintaan Haiyan. 

“Kalau Prof. Wisnu tahu aku melamarmu, beliau pasti ingin kita segera menikah. Padahal keluargaku, terutama Papa, masih belum setuju.” 

Giliran sepotong tiramisu cokelat mengganti posisi kacang almond yang telah tergelincir ke lambung, meninggalkan jejak rasa manis ketika lapisan cokelatnya lumer di mulut. Kalila mencoba mencerna ucapan Haiyan. Saat berpikir keras, perut Kalila seperti mengembang dua kali lipat. Meski untuk itu, ia harus mengganti dengan bersepeda dua kali lebih jauh demi mengusir lemak yang terlanjur masuk.

“Bagaimana kalau keluarga Mas Haiyan tidak bisa menerimaku. Aku hanya putri dosen biasa, tidak ada darah biru dalam tubuhku.” 

‘Soal itu kamu tidak perlu khawatir. Keluargaku open mind dan tidak konservatif. Papa tidak setuju karena aku belum cukup mapan dalam pandangannya. Papa khawatir, dengan keuanganku saat ini, aku tidak akan bisa memberi mahar yang layak dan menafkahi istri dan anak-anakku.” 

Alasan yang masuk akal, batin Kalila. Ia bisa mengerti kekhawatiran orangtua Haiyan. Bukankah ekonomi sering jadi sebab putusnya ikatan pernikahan. 

“Bagaimana kalau di antara kita ada yang tidak setia?” 

Tiba-tiba Kalila teringat bubarnya banyak hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun karena orang ketiga. Hati manusia siapa tahu. Kadang, kesetiaan dan penantian panjang bisa kalah dengan yang datang belakangan, tetapi intens bertemu. 

“Aku akan setia.” Kalimat itu meluncur cepat dari bibir manis Haiyan. 

Kalila mengganjur napas. Tatapan dan raut muka Haiyan menunjukkan kesungguhan. Hatinya mulai goyah. 

Please, La. Aku serius. Aku Cuma minta waktu satu sampai dua tahun, tidak lebih.” Haiyan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku kemeja dan menyerahkannya pada Kalila. “Kutulis janjiku di sini. Simpan dan pegang kata-kataku.” 

Dada Kalila berdebar hebat ketika membuka dan mengeja setiap kata yang tercetak dengan rapi. Janji Haiyan ditutup dengan puisi karya Sapardi Joko Damono. 

“Aku akan bacakan puisi itu saat kita menikah.” Bibir Haiyan melengkung mencipta dua ceruk di ujungnya. “Kuharap kamu menerima tawaranku.” 

Tepat ketika Ed Shareen selesai menyanyikan Perfect, Kalila mengiyakan permintaan Haiyan. Walaupun belum yakin mampu, ia berjanji dalam hati akan berusaha keras menjaga rahasia mereka. 

Keping-keping kenangan itu memenuhi langit-langit kamar Kalila. Hatinya mendadak ngilu. Jangankan dua tahun, baru enam purnama Haiyan telah berpaling. 

Kalila bangkit dan mengambil surat dari Haiyan lalu meremasnya hingga membentuk bulatan kecil. Kemudian, dia pergi ke halaman belakang dan membakar kertas itu. Dasar pembohong! Ia mengambil kerikil dan melemparnya ke arah dendrobium warisan sang mama. Lagi, Kalila memungut batu kecil. Kolam dari batu menjadi sasaran berikutnya. Andai ikan dan anggrek bisa bicara, mereka pasti akan berteriak-teriak kesakitan. 

Gadis penggemar warna biru itu masih terus melempar kerikil ke sembarang arah demi meluapkan kesal dan kecewa yang bergumpal-gumpal di dada. Lemparannya terhenti ketika pot bayam Brazil hancur berantakan terkena batu. 

Kalila terduduk lesu  dengan kepala kosong. Ia menyelonjorkan kaki. Punggungnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya bertumpu ke lutut. Meski belasan batu kecil telah melayang, tetapi kecewa dan amarah enggan pergi dari hati. Justru dada Kalila sakit dan sesak. Lalu, tangis Kalila pecah bersama dengan gerimis yang rebas ke tanah. 

Kilatan petir dan gelegar guntur mengembalikan kemampuan otak Kalila. Aku harus ketemu Mas Haiyan secepatnya. Kalila bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Diraihnya ponsel lalu mencoba menelepon Haiyan. 

Tiga kali panggilan tanpa jawaban, Kalila menyerah. Mungkin Mas Haiyan sedang sibukAtau dia lagi meeting bareng Papa dan Bang Farhan

“Mas, kapan kamu ada waktu? Aku pengen ketemu.” Kalila memutuskan untuk mengirim pesan W******p.

Semenit.

Dua menit.

Lima menit. 

Centang abu. 

“Aku tunggu jawabanmu, Mas. ASAP. Penting banget.” 

Centang abu. 

Merasa diabaikan, gumpalan rasa kesal di dada Kalila semakin besar. Ia bangkit dari ranjang kemudian melempar ponselnya ke atas kasur. Dihirupnya oksigen beraroma lavender dalam-dalam kemudian pergi ke dapur. Siapa tahu wangi bumbu dan suara-suara dari peralatan dapur yang saling beradu akan mengembalikan suasana hatinya. 

Usai memasak, Kalila kembali menengok ponselnya, berharap ada balasan chat  dari Haiyan. Namun, tanda centang pada pesannya belum berganti warnah. Kalila curiga, Haiyan sebenarnya tidak sedang sibuk, melainkan memang sengaja menghindar. Bisa jadi Haiyan menduga ia tahu dari Gea karena mereka berdua berteman. 

Lelah menunggu jawaban, Kalila menyerah. Meski konsentrasinya tak lagi utuh, ia memutuskan untuk sejenak menepikan masalah dengan Haiyan dan mengerjakan tugas artikel dari salah satu perusahaan kosmetik. Menjadi blogger adalah pekerjaan sampingan Kalila selain sebagai jurnalis kampus dan pemain teater. Sang mama yang memperkenalkannya pada dunia tulis-menulis dan membawa Kalila pada kemapanan finansial. Setidaknya, ia memiliki cukup tabungan dan bisa dipergunakan sesekali untuk bersenang-senang tanpa merepotkan papanya. 

Ponsel Kalila berkedip dan notifikasi pesan dari Haiyan masuk ketika ia mencoba mengecek W******p usai menulis artikel.

Sorry, La. Sampai sebulan ke depan aku bakal sibuk banget.” 

Balasan Haiyan merontokkan semangat yang sempat tumbuh di hati Kalila. 

“Kerjaanku lagi numpuk. Kamu tahu, kan, Prof. Wisnu workholic dan kalau ngasih kerjaan nggak kira-kira.” 

Helaan napas Kalila terasa berat. Ia mulai yakin jika dugaannya tepat. Haiyan memang sedang berusaha menghindar. 

“Semua aku lakukan buatmu, La. Biar kita bisa cepet nikah.” 

***

Bab terkait

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 6: Mengapa Harus Menghindar

    "Sumpah, La, aku dengar sendiri Gea ngomong kalau Mas Haiyan ngelamar dia. Telingaku masih normal, La." Miranti berseru gusar dalam telepon setelah Kalila mengirim screenshot pesan Haiyan. "Kalau nggak percaya, kamu tanya langsung, deh, Gea."Ide bagus. Kalila membatin. Kalau Haiyan susah dihubungi, ia bisa bertanya pada Gea. Tapi nanti, tidak sekarang. Aku harus dapat penjelasan dari Mas Haiyan dulu, bukan Gea."Aku kejar Mas Haiyan dulu, deh. Coba dia ngomong apa.""Coba nanti aku korek-korek lagi Gea. Mana tahu kemarin dia halu setelah nonton drakor." Miranti terkekeh."Dih. Awas kalau sampai kamu salah kasih info, Mir.""Iya, iya. Aku bakal tanggung jawab. Kamu bakal aku traktir di Sky High kalau sampai telingaku geser dan salah denger."Sayangnya, sampai satu bulan berlalu, Haiyan tetap saja tidak bersedia bertemu. Dia selalu punya cara untuk menghindar, mulai dari masih di luar kota, menemani mamanya berobat dan terapi, ketemu klien dan mahasiswa. Kalila mulai curiga. Pria itu b

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 7: Titik Akhir

    Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan."Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan.Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu se

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 8: Di Simpang Jalan

    Kalila tidak merasa senang mendengar ucapan Haiyan. Ia justru kasihan dan tidak enak hati pada Gea yang masih berdiri tidak jauh di belakang Haiyan. Ia dan Gea selama ini berteman meski tidak cukup dekat. Sebagai sesama perempuan, Kalila bisa merasakan sakitnya dipermainkan. Sialnya, mereka jadi korban laki-laki yang sama.Di samping Miranti, Gea menatap Haiyan dengan mulut terbuka dan bibir bergetar. Ada luka menganga pada manik hazel yang terlihat seperti dilapisi air bening. "Kamu tega banget ngomong gitu, Mas!"Mata-mata manusia di halaman markas Semut Merah kini tertuju pada Haiyan, Gea, dan Kalila. Bahkan jika pohon dan bunga-bunga bisa bicara, mereka pasti sedang menggunjing naskah drama yang menjelma kisah nyata.Tubuh Haiyan membeku. Pekikan Gea melemparnya dalam situasi sangat sulit. Ia memacu otak mencari jalan keluar dari persimpangan rasa, tetapi gagal. Simpul-simpul saraf di kepalanya mendadak mogok. Akhirnya, dia berbalik dan menatap Gea dengan wajah memucat."Aku …." S

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 9: Masih Adakah Kesempatan

    Di atas bongkahan batu besar Haiyan berdiri. Bola matanya tertuju ke arah tanah luas yang sedang dikeruk untuk diubah menjadi waduk, tetapi kepalanya dipenuhi wajah sang papa, Gea, dan Kalila.Angin menerbangkan debu-debu, sebagiannya menampar wajah berkulit putih milik Haiyan yang tertutup masker. Udara diisi suara mesin pengeruk yang bekerja nyaris dua empat jam demi mengejar target waktu.Tanah ini dulu desa dengan area persawahan yang sangat subur. Haiyan tidak tahu, kenapa pemerintah memilih tempat ini untuk diubah menjadi waduk. Meski waduk itu akan menjadi penyuplai listrik, tetapi mengubah tanah produktif jelas sebuah tindakan gegabah. Satu hal yang ditentang habis-habisan pula oleh Wisnu dan mengakibatkan perdebatan sengit di antara Wisnu dan Haiyan."Tidak seharusnya kamu menerima proyek yang ternyata hanya menjadi alat pembunuh massal." Raut muka Wisnu tetap datar saat bicara, tetapi suaranya terdengar dingin dan penuh tekanan."Justru proyek itu akan menyelamatkan jutaan m

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 10: Dia yang Kehilangan Dirinya

    Ada yang berdentum sangat keras di dada Haiyan usai mengucapkan keinginannya. Kali pertama sepanjang 24 tahun kehidupannya bersama keluarga Baskoro ia berkata tidak. Meski Haiyan tidak tahu, akan sampai di mana perlawanannya. Sejak menjadi bagian dari keluarga Baskoro, Haiyan adalah si bungsu penurut. Ia tidak pernah memprotes keputusan-keputusan orangtuanya. Bagi Haiyan, selain Tuhan, Baskoro dan Prameswari adalah penentu jalan takdirnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Haiyan menurut ketika ia harus ikut program akselerasi hingga sekolah dasar sampai menengah selesai dalam sembilan tahun disusul tiga setengah tahun kuliah di kampus tertua di Indonesia. Setelahnya, ia menghabiskan delapan tahun di negeri panser. Semua atas perintah papanya. Begitu pula dengan jurusan yang dipilih, ia hanya menjalankan pilihan Baskoro. Lalu hari ini, dengan nyali yang tak lebih besar dari seekor nyamuk, ia memberanikan diri berkata tidak, melawan manusia yang telah mengangkat derajatnya dari

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 11: Keputusan Haiyan

    Sendiri, Haiyan meneruskan makan. Ia tidak akan pernah membuang makanan. Ia tahu, begitu keras usaha manusia untuk mengenyangkan perut. Jadi, meski seleranya sudah menguap, ia berusaha memakan semua yang ada di piring. Haiyan masih mengunyah potongan buncis saat mendengar suara langkah kaki mendekati ruang makan. Lalu, wajah lelah mamanya muncul dari balik ruang tengah. "Kenapa makan sendiri, Hai? Ke mana Papa?" Ekor mata perempuan berusia 50 tahun itu melirik piring Baskoro. "Papa buru-buru tadi, Ma. Jadi duluan. Mama mau diambilkan makan? Pasti hari ini capek banget." Haiyan menarik kursi di sampingnya agar mamanya bisa duduk dengan mudah. "Minum saja, Hai. Mama ingin minum teh hangat." "Tunggu sebentar, Ma." Haiyan ke dapur, meminta pelayan membuatkan secangkir teh hangat untuk Prameswari. Pelayan sudah tahu teh seperti apa yang diinginkan tuannya. "Mama sudah menghubungi toko emas terbaik di kota ini. Mereka akan segera meneleponmu. Kamu bisa pilih salah satu cincin terb

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-09
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 12: Permintaan Haiyan

    Kalila memasukkan kamera dan laptop ke dalam ransel. Setelah Miranti pulang, sebenarnya hari ini ia ingin kembali masuk ke dalam gua. Kalila masih butuh menenangkan diri. Tentang ajakan Haiyan untuk bertemu, ia belum memberi keputusan. Pesan itu masih ia diamkan. Begitu pula dengan panggilan Haiyan, Kalila sama sekali tidak menggubris. Kalila benar-benar bimbang. Satu sudut hatinya ingin bertemu demi menuntaskan ingin tahu kenapa Haiyan mendadak memilih Gea. Ibarat naik motor, Haiyan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi malah belok kanan. Sungguh membingungkan. Sementara di sisi lain, bertemu Haiyan adalah hal paling berat bagi Kalila saat ini. Ia terlalu sakit bahkan untuk sekadar melihat Haiyan. Di tengah bimbang, Mas Wibi, manajer restoran Omah Ndeso tiba-tiba menelepon, memintanya mengubah jadwal pemotretan produk, dari weekend menjadi hari ini. "Kekurangan pembayaran sudah saya transfer barusan. So, saya tunggu kedatangan Mbak Lila." "Baik, Mas. Saya akan datang sebelum jam

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-09
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 13: Perpisahan

    Segera setelah Kalila membuka chat room, pesan dari Haiyan datang bertubi-tubi. Pria itu mungkin sengaja menunggu balasan darinya sejak pertama kali mengirim pesan dua jam lalu. Sementara sampai sekarang Kalila sama sekali belum tergerak untuk membalas pesan Haiyan. "Karena kamu nggak jawab, aku anggap setuju." Yah, anggap saja begitu, tapi datang atau tidak, bukan urusanmu. "Aku tunggu di Cirius jam empat." Kalila menutup chat room, mengabaikan pesan terakhir Haiyan. Dimatikannya ponsel lalu menyimpannya di ransel. Kalila khawatir Haiyan tiba-tiba menelepon. Ia sedang ingin makan tanpa gangguan. Setelah itu, Kalila menggeser duduk. Kini posisinya membelakangi sawah dan menghadap dua petak kolam ikan yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya matahari. Dari tempatnya duduk, Kalila bisa melihat ikan-ikan berwarna kuning, putih, hitam, meliuk-liuk di permukaan air. Ia juga bisa mendengar riuh kecipak air saat karyawan melempar makanan ikan ke kolam. Makan sendirian karena

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10

Bab terbaru

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 73: Pertarungan (2)

    Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 72: Pertarungan

    Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 71: Pertaruhan

    “Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 70: Dalam Pelukan Farhan

    halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 69: Jatuh Cinta Setiap Hari

    Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 68: Keinginan Tersembunyi Wisnu

    Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 67

    Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 66: Seperti Layang-Layang

    Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 65: Rencana Terakhir

    Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status