Satu detik. Waktu serasa berhenti. Kalila terperangah. Pekik dan jerit pengunjung di dalam kafe memenuhi telinganya.Dua detik. Naluri jurnalis dalam diri Kalila mendorong gadis itu untuk berlari mengejar si pelempar batu. Dicarinya Kawasaki Ninja di antara lalu lalang kendaraan di Jalan Kaliurang. Seharusnya motor itu mudah dikenali karena bercat hijau terang. Kalila terus berlari, menuju traffic light yang berjarak sekitar tiga ratus meter di depannya. Kalila mengadu peruntungan. Siapa tahu si pelempar batu terjebak lampu merah. Ia hanya ingin mendapat nomor polisi motor si pelempar batu. "Lila! Berhenti!"Sayup Kalila mendengar suara Farhan. Namun, tarikan rasa ingin tahu jauh lebih kuat ketimbang larangan Farhan. Kalila memilih mengabaikan perintah pria itu. "Lila! Berhenti!"Suara Farhan makin keras dan Kalila masih terus berlari. Ayunan kakinya baru berhenti di dekat traffic light. Kedua matanya memicing. Motor hijau itu tidak ada di antara deretan kendaraan roda dua yang me
Wisnu meneguk isi gelas perlahan. Kalau sekarang Farhan yang diserang, bukan tidak mungkin ia menjadi target berikutnya. Jika itu terjadi, ia sudah terlalu tua untuk melawan. Ia bisa mati kapan saja dan meningkatkan Lila sendiri. Mengingat kenyataan itu membuat dada Wisnu mendadak nyeri. Kepergian Farhan keluar negeri masih dua bulan lagi. Masih cukup untuk bersiap menikahi Kalila. Setelahnya, Wisnu bisa tenang. Kapan pun, di mana pun bersama Farhan, Wisnu tidak perlu khawatir akan terjadi fitnah dan jika sewaktu-waktu ia mati, ia akan mati dengan tenang. Tugasnya telah selesai dan ia telah menitipkan Kalila pada orang yang tepat. Tanpa bisa dicegah, setitik air jatuh di sudut mata Wisnu. Ia memutar kursi dan kini tubuhnya menghadap foto keluarga. Matanya semakin perih dan dadanya semakin sesak saat matanya menatap senyum mendiang sang istri. "Kuharap kita bisa bersama lagi, Sayang." Wisnu menghapus air mata lalu tersenyum. "Maaf aku menangis. Padahal aku sudah janji akan selalu ku
"Maaf." Hanya satu kata yang bisa meluncur dari bibir tipis Kalila. Kehilangan tak pernah mudah dan ia tidak pernah tahu kalau Farhan telah menanggung duka sejak kecil. Ia yang hanya kehilangan salah satu sayap saat sudah dewasa saja seperti didera mimpi buruk berkepanjangan, apalagi Farhan yang harus kehilangan dua kepak sayap saat dia masih sangat membutuhkan pelukan keduanya. Mungkin karena itu Bang Farhan tidak banyak bicara. Bukankah duka bisa memerangkap manusia dalam ruang gelap bernama sunyi? Kalila menghela napas sembari mengaduk gelas. Ada hening di antara ia dan Farhan. Kalila kehilangan kata. Sekilas ia melihat seperti ada lapisan air di mata Farhan. Namun, Kalila tidak ingin memperhatikan lebih lama sehingga ia memilih memandang sisi barat kota Yogyakarta yang tampak dari tempat mereka duduk. "Nanti orangtua saya akan diwakili Paman dan Bibi.” Farhan kembali membuka obrolan. “Mereka tinggal di Jogja. Jadi, kapan saja bisa datang." Kalila hanya mengangguk lalu meny
Hati Farhan berdesir. Benar dugaannya, penjahat itu kini mengincar Kalila. Pria itu berdiri lalu mendekati jendela. Dilihatnya langit biru di kejauhan. Dadanya dipenuhi gumpalan khawatir sekaligus amarah. Kenapa harus menyeret Kalila? Kenapa tidak dirinya saja menjadi sasaran. Ia rela kalau harus mati sekarang. Namun, Kalila? Hati Farhan nyeri membayangkan Kalila yang tidak tahu masalahnya harus meregang nyawa. Ponsel Farhan bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari halaman fakultas ke ponselnya. Sebuah video kembali masuk ke ponsel Farhan, dikirim dari nomor berbeda. Video itu memperlihatkan pertemuan warga dengan perusahaan perencana dan konstruksi dengan warga lereng bukit Wadas. Mereka juga memberikan pernyataan lisan kalau sudah menerima ganti rugi layak dan tidak akan menuntut perusahaan. Lalu, sebuah panggilan kembali masuk. Dari nomor tak dikenal dan berbeda dengan nomor pertama. “Jangan coba-coba mengganggu kami kalau Anda ingin calon istri Anda, juga diri dan karir Anda sel
"Maaf." Hanya satu kata yang bisa meluncur dari bibir tipis Kalila. Kehilangan tak pernah mudah dan ia tidak pernah tahu kalau Farhan telah menanggung duka sejak kecil. Ia yang hanya kehilangan salah satu sayap saat sudah dewasa saja seperti didera mimpi buruk berkepanjangan, apalagi Farhan yang harus kehilangan dua kepak sayap saat dia masih sangat membutuhkan pelukan keduanya. Mungkin karena itu Bang Farhan tidak banyak bicara. Bukankah duka bisa memerangkap manusia dalam ruang gelap bernama sunyi? Kalila menghela napas sembari mengaduk gelas. Ada hening di antara ia dan Farhan. Kalila kehilangan kata. Sekilas ia melihat seperti ada lapisan air di mata Farhan. Namun, Kalila tidak ingin memperhatikan lebih lama sehingga ia memilih memandang sisi barat kota Yogyakarta yang tampak dari tempat mereka duduk. "Nanti orangtua saya akan diwakili Paman dan Bibi.” Farhan kembali membuka obrolan. “Mereka tinggal di Jogja. Jadi, kapan saja bisa datang." Kalila hanya mengangguk lalu menyeru
Hati Farhan berdesir. Benar dugaannya, penjahat itu kini mengincar Kalila. Pria itu berdiri lalu mendekati jendela. Dilihatnya langit biru di kejauhan. Dadanya dipenuhi gumpalan khawatir sekaligus amarah. Kenapa harus menyeret Kalila? Kenapa tidak dirinya saja menjadi sasaran. Ia rela kalau harus mati sekarang. Namun, Kalila? Hati Farhan nyeri membayangkan Kalila yang tidak tahu masalahnya harus meregang nyawa. Ponsel Farhan bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari halaman fakultas ke ponselnya. Sebuah video kembali masuk ke ponsel Farhan, dikirim dari nomor berbeda. Video itu memperlihatkan pertemuan warga dengan perusahaan perencana dan konstruksi dengan warga lereng bukit Wadas. Mereka juga memberikan pernyataan lisan kalau sudah menerima ganti rugi layak dan tidak akan menuntut perusahaan. Lalu, sebuah panggilan kembali masuk. Dari nomor tak dikenal dan berbeda dengan nomor pertama. “Jangan coba-coba mengganggu kami kalau Anda ingin calon istri Anda, juga diri dan karir Anda sel
"Sorry kalau aku ganggu." Kalila masih mematung, tidak percaya dengan penglihatannya. Dia pikir Haiyan sudah tidak akan pernah lagi menampakkan batang hidungnya kecuali pria itu ada urusan dengan Wisnu. "Aku hanya ingin bicara sebentar. Untuk terakhir kalinya." "Silakan duduk, Mas." Kalila menunjuk kursi di teras. Dadanya berdebar. Bukan karena masih menyimpan rasa, melainkan karena takut ada sisa masalah yang belum selesai. Atau Mas Haiyan berubah pikiran? Sepertinya tidak mungkin. Haiyan mendekati kursi. Ia duduk dengan jengah seperti ada segerombolan semut menggigit-gigit pantatnya. Sementara di seberang meja, Kalila menuggu dengan jemari sibuk meremas tepi rok. Sekian detik keduanya terperangkap dalam jenak pikiran masing-masing ditingkahi desau angin yang menggerakkan dedaunan pohon mangga dan kelengkeng. Haiyan menghela napas dalam-dalam. Mendadak dada dan hidungnya seperti disesakipenuhii debu hingga terasa sakit saat menghirup oksigen. Seharusnya semua sudah berakhir,
Segera setelah dr. Haryo menelepon rumah sakit dan membuat surat pengantar, Kalila mengikuti ambulans yang membawa Wisnu ke Sardjito. Ambulans berhenti di depan IGD dan segera disambut dua perawat. Sementara Wisnu ditangani dokter, Kalila mengurus administrasi. Beruntung dr. Haryo sudah memesankan kamar sehingga Wisnu bisa segera dirawat di bangsal perawatan. “Kenapa bisa kayak gini, La? Kok, bisa Om Wisnu tiba-tiba drop?” Miranti mengulurkan cup berisi teh hangat pada Kalila. Mereka duduk di sofa, menatap Wisnu yang terbaring dengan wajah mengapas. “Thanks, Mir.” Kalila menyedot teh hangat. Sesaat ia tertegun. “Aku juga nggak tahu, Mir. Tadi pagi juga nggak kenapa-kenapa, kok.” Kalau salah makan, sejak dulu Wisnu tidak pernah makan aneh-aneh. Ia juga tidak pernah memasak menu yang memicu asam lambung. Selain itu, Wisnu juga penggemar masakan rumahan. Dia lebih suka makan di rumah ketimbang jajan di luar. Bahkan sejak dulu sampai sekarang, Wisnu selalu membawa bekal makan siang da