Share

Bab 7: Titik Akhir

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2023-08-08 08:52:15

Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan.

 

"Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan.

 

Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu setuju,” ujarnya kemudian dengan suara tenang, tanpa keraguan sedikit pun.

 

Binar di mata Kalila seketika meredup. Arah bola mata yang semula tertuju pada Wisnu beralih ke jam dinding. Kalila mengerjap karena penanda waktu itu menjelma seraut wajah Haiyan. Lalu, pergerakan jarum jam menghapus sedikit demi sedikit wajah Haiyan seolah waktu telah melipat semua harap, membungkus rapat-rapat keping-keping angan akan hidup masa depan yang sempat tumbuh di hati Kalila.

 

"Apa tidak ada kesempatan buat Lila menikah dengan laki-laki yang Lila cintai, Pa? Seperti dulu Mama menerima Papa karena cinta." Kalila memberanikan diri menyanggah. Meski untuk melakukannya, ia harus menahan sesak di dada juga air mata yang mendesak-desak ingin segera keluar.

 

Seumur hidup, baru sekali Kalila menentang sang papa. Ketika itu ia ingin memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi Wisnu berharap Kalila bisa mengikuti jejaknya mengambil jurusan teknik. Kalila merajuk. Ia mengurung diri di kamar dan mogok makan sampai hati Wisnu luluh. Kali ini, Kalila tidak mungkin melakukan hal serupa, terlalu konyol dan kekanak-kanakan. Lagi pula, menikah jauh lebih rumit ketimbang memilih jurusan. Ada kehidupan dunia dan akhirat di sana. Hati sang mungkin bisa direngkuh dengan mudah.

 

"Seingat Papa, Papa sudah ngasih kesempatan buat kamu untuk menyodorkan calon lain. Tapi Papa tunggu, nggak ada satu nama pun yang kamu sebut. Papa anggap kamu belum ada calon."

 

"Ada yang pernah berjanji pada Lila." Akhirnya Lila mengaku. Ia merasa tidak punya pilihan lain. “Maksudnya, dia sudah melamar Lila, tapi belum bisa ketemu Papa,” lanjut Lila saat melihat tatap penuh tanya milik Wisnu.

 

Sesaat, raut muka Wisnu berkerut lalu kembali datar. "Siapa? Kenapa kamu nggak ngomong ke Papa?" Ada setitik kecewa dalam suara Wisnu. Ia tidak menyangka kalau diam-diam Kalila sudah terikat janji.

 

Kepala Kalila tertunduk. Bola matanya menatap piring yang isinya sudah dingin. Jemarinya meremas tepi rok. Mendadak perut gadis itu mulas.

 

Menunggu, Wisnu kembali menyendok makanan hingga denting sendok beradu dengan piring mengisi jeda di antara mereka.

 

Kalila mendongak sambil mengganjur napas. "Mas Haiyan." Ia menjawab dengan suara nyaris tak terdengar.

 

Ah, pria itu. “Kalau begitu, minta Haiyan ketemu Papa secepatnya.”

 

"Maaf, Pa. Mas Haiyan lagi sibuk. Lila sudah hubungi dia tapi belum ada waktu ketemu Papa. Mungkin setelah proyeknya selesai, dia akan ketemu Papa."

 

“Mungkin?” Wisnu menggeleng. “Dia tidak sesibuk yang kamu kira. Papa tunggu sampai besok Minggu. "

 

Kalila menyimpan baik-baik keputusan Wisnu. Selepas makan malam, ia mencoba menghubungi Haiyan dan berakhir sunyi. Pesannya sampai, tetapi tak kunjung dibaca dan teleponnya tidak diangkat. Ketika pagi datang dan Kalila membuka chat room, Haiyan hanya menuliskan dua huruf, "ya". 

 

Namun, Saat waktu yang diberikan Wisnu habis, Haiyan tetap tidak muncul. Hanya pesannya yang sampai, mengabarkan kalau ia masih di Purworejo diiringi kata maaf dan lagi-lagi janji untuk datang jika suatu hari sudah luang.

 

Jawaban Haiyan menyudahi penantian Kalila. "Aku minta maaf tidak bisa menunggu lagi, Mas." Berat Kalila mengatakan, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia lelah mengejar, juga menunggu. Lebih baik ia mengikuti permintaan sang papa.

 

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku.”

 

“Maaf, Mas. Aku nggak bisa nunggu lagi.” Kalila mengirim pesan terakhir. Setelah itu, ia tidak pernah lagi menjawab pesan dan mengangkat telepon Haiyan.

 

Hari itu, sepekan setelah memutus kontak dengan Haiyan, Kalila menyerahkan draft final skripsinya. Rasa sakit di hati mendorong Kalila menuntaskan naskah skripsinya. Hampir setiap hari ia begadang. Sering ia mendekam di perpustakaan fakultas atau universitas hingga batas kunjung berakhir. Ditemani laptop dan buku tebal, Kalila berharap bisa melerai segala luka.

 

“Cepet banget ngerjain revisinya, La?” Dosen pembimbingnya tersenyum kecil. “Diapain Prof. Wisnu sampai kamu ngebut begini?”

 

“Mumpung lagi luang, Pak. Jadi saya selesaikan saja.” Kalila meringis. Ia berharap tidak ada revisi lagi dan bisa segera daftar ujian. Hari-harinya akan gelap dan Kalila tidak tahu masih sanggup berpikir waras atau tidak. Menerima Farhan dan melupakan Haiyan adalah bagian sangat sulit dalam hidupnya, lebih sulit dari mengerjakan skripsi dan diuji dosen paling killer di jagad Fakultas Ilmu Budaya.

 

“Oke. Saya terima. Akan saya kabari segera hasil review-nya.”

 

“Terima kasih, Pak.” Kalila mengangguk sopan kemudian berpamitan.

 

Dari fakultas, Kalila bergerak ke markas Semut Merah. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain duduk mengobrol dengan adik-adik tingkat, melihat mereka berlatih dan mendengar denting gitar meningkahi lantunan bait-bait puisi.

 

Langkah Kalila terhenti di tengah halaman. Ia mengucek mata, tidak percaya dengan penglihatannya. Benar-benar ajaib, ada Haiyan sedang duduk di sana. Ia sedang berbicara dengan ketua Semut Merah periode tahun ini kemudian menekuri lembar demi lembar proposal di tangan. Lelaki itu terkejut sesaat, tetapi kemudian bisa bersikap wajar, ketika Kalila mendatangi mereka dan duduk tidak jauh darinya.\

 

"Kenapa Mas Haiyan menghindar?" Kalila tak dapat menyembunyikan kekesalan hatinya saat ketua Semut Merah sudah kembali ke sekelompok anak yang sedang latihan vokal. Kini mereka duduk berdua di serambi markas.

 

"Aku minta maaf. Apa kita bisa bicara sekarang?"

 

"Jawab saja pertanyaanku di sini. Kenapa kamu menghindar dan berbohong?"

 

Haiyan menyugar rambut frustrasi. Pertemuan tak terduga dengan Kalila merusak rencananya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku terpaksa."

 

"Jadi bener Mas Haiyan melamar Gea?"

 

Haiyan melihat ke sekeliling. Panik. "Jangan ngomong di sini." Ia berdiri. Ditariknya tangan Kalila menjauhi markas.

 

“Berhenti!” Kalila melepas cengkeraman Haiyan. "Jadi bener kamu melamar Gea?" Kalila berkata dengan suara lebih keras, tidak peduli dengan tatap heran sekelompok anggota yang tengah duduk-duduk di bawah pohon dan sedang merencanakan pementasan akhir tahun.

 

"Aku akan jelaskan. Tapi nggak di sini, La."

 

"Kalau gitu nggak usah. Hubungan kita selesai di sini. Besok aku kembalikan cincin dari Mas Haiyan." Kalila berlari meninggalkan Haiyan, mendekati motornya.

 

"Dengar dulu, La. Kasih aku kesempatan meyakinkan keluargaku untuk membatalkan lamaran ke Gea."

 

"Tidak perlu, Mas. Pilih perempuan yang diterima keluargamu. Jangan bawa aku ke situasi yang tidak menyenangkan. Ditolak itu nggak enak."

 

Tiba-tiba mata Kalila tertuju pada motor yang baru memasuki halaman markas. Kalila tahu, Miranti datang memboncengkan Gea. Sementara Haiyan tidak tertarik sedikit pun untuk menoleh. Ia tetap berdiri di hadapan Kalila, menghalangi gadis itu meneruskan langkah.

 

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku. Aku masih memperjuangkan kamu, memperjuangkan kita.”

 

"Cukup, Mas. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Kita sudah selesai."

 

"Nggak, La." Haiyan meraih tangan Kalila. "Aku cuma mau kamu. Aku tidak mencintai Gea." Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Haiyan, menyatu dengan udara, menembus telinga Kalila, Miranti, dan Gea.

Berempat, mereka mematung, sibuk dengan kecamuk pikiran. Lalu, raut muka Haiyan seketika sekusut benang ruwet ketika menyadari kehadiran Gea.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
dasar lelaki hidung belang ushlah lagi kalila bikin sakit hati model laki2 bgtu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 8: Di Simpang Jalan

    Kalila tidak merasa senang mendengar ucapan Haiyan. Ia justru kasihan dan tidak enak hati pada Gea yang masih berdiri tidak jauh di belakang Haiyan. Ia dan Gea selama ini berteman meski tidak cukup dekat. Sebagai sesama perempuan, Kalila bisa merasakan sakitnya dipermainkan. Sialnya, mereka jadi korban laki-laki yang sama.Di samping Miranti, Gea menatap Haiyan dengan mulut terbuka dan bibir bergetar. Ada luka menganga pada manik hazel yang terlihat seperti dilapisi air bening. "Kamu tega banget ngomong gitu, Mas!"Mata-mata manusia di halaman markas Semut Merah kini tertuju pada Haiyan, Gea, dan Kalila. Bahkan jika pohon dan bunga-bunga bisa bicara, mereka pasti sedang menggunjing naskah drama yang menjelma kisah nyata.Tubuh Haiyan membeku. Pekikan Gea melemparnya dalam situasi sangat sulit. Ia memacu otak mencari jalan keluar dari persimpangan rasa, tetapi gagal. Simpul-simpul saraf di kepalanya mendadak mogok. Akhirnya, dia berbalik dan menatap Gea dengan wajah memucat."Aku …." S

    Last Updated : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 9: Masih Adakah Kesempatan

    Di atas bongkahan batu besar Haiyan berdiri. Bola matanya tertuju ke arah tanah luas yang sedang dikeruk untuk diubah menjadi waduk, tetapi kepalanya dipenuhi wajah sang papa, Gea, dan Kalila.Angin menerbangkan debu-debu, sebagiannya menampar wajah berkulit putih milik Haiyan yang tertutup masker. Udara diisi suara mesin pengeruk yang bekerja nyaris dua empat jam demi mengejar target waktu.Tanah ini dulu desa dengan area persawahan yang sangat subur. Haiyan tidak tahu, kenapa pemerintah memilih tempat ini untuk diubah menjadi waduk. Meski waduk itu akan menjadi penyuplai listrik, tetapi mengubah tanah produktif jelas sebuah tindakan gegabah. Satu hal yang ditentang habis-habisan pula oleh Wisnu dan mengakibatkan perdebatan sengit di antara Wisnu dan Haiyan."Tidak seharusnya kamu menerima proyek yang ternyata hanya menjadi alat pembunuh massal." Raut muka Wisnu tetap datar saat bicara, tetapi suaranya terdengar dingin dan penuh tekanan."Justru proyek itu akan menyelamatkan jutaan m

    Last Updated : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 10: Dia yang Kehilangan Dirinya

    Ada yang berdentum sangat keras di dada Haiyan usai mengucapkan keinginannya. Kali pertama sepanjang 24 tahun kehidupannya bersama keluarga Baskoro ia berkata tidak. Meski Haiyan tidak tahu, akan sampai di mana perlawanannya. Sejak menjadi bagian dari keluarga Baskoro, Haiyan adalah si bungsu penurut. Ia tidak pernah memprotes keputusan-keputusan orangtuanya. Bagi Haiyan, selain Tuhan, Baskoro dan Prameswari adalah penentu jalan takdirnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Haiyan menurut ketika ia harus ikut program akselerasi hingga sekolah dasar sampai menengah selesai dalam sembilan tahun disusul tiga setengah tahun kuliah di kampus tertua di Indonesia. Setelahnya, ia menghabiskan delapan tahun di negeri panser. Semua atas perintah papanya. Begitu pula dengan jurusan yang dipilih, ia hanya menjalankan pilihan Baskoro. Lalu hari ini, dengan nyali yang tak lebih besar dari seekor nyamuk, ia memberanikan diri berkata tidak, melawan manusia yang telah mengangkat derajatnya dari

    Last Updated : 2023-08-08
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 11: Keputusan Haiyan

    Sendiri, Haiyan meneruskan makan. Ia tidak akan pernah membuang makanan. Ia tahu, begitu keras usaha manusia untuk mengenyangkan perut. Jadi, meski seleranya sudah menguap, ia berusaha memakan semua yang ada di piring. Haiyan masih mengunyah potongan buncis saat mendengar suara langkah kaki mendekati ruang makan. Lalu, wajah lelah mamanya muncul dari balik ruang tengah. "Kenapa makan sendiri, Hai? Ke mana Papa?" Ekor mata perempuan berusia 50 tahun itu melirik piring Baskoro. "Papa buru-buru tadi, Ma. Jadi duluan. Mama mau diambilkan makan? Pasti hari ini capek banget." Haiyan menarik kursi di sampingnya agar mamanya bisa duduk dengan mudah. "Minum saja, Hai. Mama ingin minum teh hangat." "Tunggu sebentar, Ma." Haiyan ke dapur, meminta pelayan membuatkan secangkir teh hangat untuk Prameswari. Pelayan sudah tahu teh seperti apa yang diinginkan tuannya. "Mama sudah menghubungi toko emas terbaik di kota ini. Mereka akan segera meneleponmu. Kamu bisa pilih salah satu cincin terb

    Last Updated : 2023-08-09
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 12: Permintaan Haiyan

    Kalila memasukkan kamera dan laptop ke dalam ransel. Setelah Miranti pulang, sebenarnya hari ini ia ingin kembali masuk ke dalam gua. Kalila masih butuh menenangkan diri. Tentang ajakan Haiyan untuk bertemu, ia belum memberi keputusan. Pesan itu masih ia diamkan. Begitu pula dengan panggilan Haiyan, Kalila sama sekali tidak menggubris. Kalila benar-benar bimbang. Satu sudut hatinya ingin bertemu demi menuntaskan ingin tahu kenapa Haiyan mendadak memilih Gea. Ibarat naik motor, Haiyan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi malah belok kanan. Sungguh membingungkan. Sementara di sisi lain, bertemu Haiyan adalah hal paling berat bagi Kalila saat ini. Ia terlalu sakit bahkan untuk sekadar melihat Haiyan. Di tengah bimbang, Mas Wibi, manajer restoran Omah Ndeso tiba-tiba menelepon, memintanya mengubah jadwal pemotretan produk, dari weekend menjadi hari ini. "Kekurangan pembayaran sudah saya transfer barusan. So, saya tunggu kedatangan Mbak Lila." "Baik, Mas. Saya akan datang sebelum jam

    Last Updated : 2023-08-09
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 13: Perpisahan

    Segera setelah Kalila membuka chat room, pesan dari Haiyan datang bertubi-tubi. Pria itu mungkin sengaja menunggu balasan darinya sejak pertama kali mengirim pesan dua jam lalu. Sementara sampai sekarang Kalila sama sekali belum tergerak untuk membalas pesan Haiyan. "Karena kamu nggak jawab, aku anggap setuju." Yah, anggap saja begitu, tapi datang atau tidak, bukan urusanmu. "Aku tunggu di Cirius jam empat." Kalila menutup chat room, mengabaikan pesan terakhir Haiyan. Dimatikannya ponsel lalu menyimpannya di ransel. Kalila khawatir Haiyan tiba-tiba menelepon. Ia sedang ingin makan tanpa gangguan. Setelah itu, Kalila menggeser duduk. Kini posisinya membelakangi sawah dan menghadap dua petak kolam ikan yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya matahari. Dari tempatnya duduk, Kalila bisa melihat ikan-ikan berwarna kuning, putih, hitam, meliuk-liuk di permukaan air. Ia juga bisa mendengar riuh kecipak air saat karyawan melempar makanan ikan ke kolam. Makan sendirian karena

    Last Updated : 2023-08-10
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 14: Penyerangan

    Satu detik. Waktu serasa berhenti. Kalila terperangah. Pekik dan jerit pengunjung di dalam kafe memenuhi telinganya.Dua detik. Naluri jurnalis dalam diri Kalila mendorong gadis itu untuk berlari mengejar si pelempar batu. Dicarinya Kawasaki Ninja di antara lalu lalang kendaraan di Jalan Kaliurang. Seharusnya motor itu mudah dikenali karena bercat hijau terang. Kalila terus berlari, menuju traffic light yang berjarak sekitar tiga ratus meter di depannya. Kalila mengadu peruntungan. Siapa tahu si pelempar batu terjebak lampu merah. Ia hanya ingin mendapat nomor polisi motor si pelempar batu. "Lila! Berhenti!"Sayup Kalila mendengar suara Farhan. Namun, tarikan rasa ingin tahu jauh lebih kuat ketimbang larangan Farhan. Kalila memilih mengabaikan perintah pria itu. "Lila! Berhenti!"Suara Farhan makin keras dan Kalila masih terus berlari. Ayunan kakinya baru berhenti di dekat traffic light. Kedua matanya memicing. Motor hijau itu tidak ada di antara deretan kendaraan roda dua yang me

    Last Updated : 2023-08-11
  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 15: Perjanjian Pra Nikah

    Wisnu meneguk isi gelas perlahan. Kalau sekarang Farhan yang diserang, bukan tidak mungkin ia menjadi target berikutnya. Jika itu terjadi, ia sudah terlalu tua untuk melawan. Ia bisa mati kapan saja dan meningkatkan Lila sendiri. Mengingat kenyataan itu membuat dada Wisnu mendadak nyeri. Kepergian Farhan keluar negeri masih dua bulan lagi. Masih cukup untuk bersiap menikahi Kalila. Setelahnya, Wisnu bisa tenang. Kapan pun, di mana pun bersama Farhan, Wisnu tidak perlu khawatir akan terjadi fitnah dan jika sewaktu-waktu ia mati, ia akan mati dengan tenang. Tugasnya telah selesai dan ia telah menitipkan Kalila pada orang yang tepat. Tanpa bisa dicegah, setitik air jatuh di sudut mata Wisnu. Ia memutar kursi dan kini tubuhnya menghadap foto keluarga. Matanya semakin perih dan dadanya semakin sesak saat matanya menatap senyum mendiang sang istri. "Kuharap kita bisa bersama lagi, Sayang." Wisnu menghapus air mata lalu tersenyum. "Maaf aku menangis. Padahal aku sudah janji akan selalu ku

    Last Updated : 2023-08-11

Latest chapter

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 73: Pertarungan (2)

    Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 72: Pertarungan

    Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 71: Pertaruhan

    “Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 70: Dalam Pelukan Farhan

    halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 69: Jatuh Cinta Setiap Hari

    Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 68: Keinginan Tersembunyi Wisnu

    Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 67

    Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 66: Seperti Layang-Layang

    Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 65: Rencana Terakhir

    Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status