***Di dalam lift, Mas Biru tidak berbicara sepatah katapun, bahkan kulihat pria yang memiliki rahang tegas itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku mengusap-usap kepala yang masih menyisakan nyeri. Nina benar-benar ... astaghfirullah!Mataku kembali memanas ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu di Kantin. Malu. Tapi mau bagaimana lagi, toh bukan aku yang mencari gara-gara.Andai aku punya nyali untuk mengeluarkan ponsel di dalam saku celana berbahan kain yang saat ia kukenakan, sudah pasti Ibulah orang pertama yang ingin aku hubungi. Aku ingin menangis dan menceritakan betapa bekerja di Perusahaan teramat menakutkan. "Sakit banget?"Aku berjingkat kaget ketika mendengar suara Mas Biru yang tiba-tiba. "Kamu memang terbiasa melamun ya, Haf?" Mas Biru bertanya sambil mengerutkan kening. "Setiap saya berbicara, kenapa selalu terkejut begitu sih?""Maaf, Pak," sahutku lirih. "Fokus, Hafsah! Jangan dibiasakan menimbun banyak pikiran karena urusan pribadi, sementara di Per
***"Terima kasih ya, Pak." Aku menyerahkan helm milik bapak ojol yang baru saja mengantarku pulang. "Sama-sama, Mbak."Beruntung jaman sudah canggih sehingga aku tidak kesulitan mencari ojek di dekat Kantor. Jika tidak, maka bisa kupastikan saat ini aku masih berdiri di pinggir jalan menunggu tukang ojek lewat. "Assalamualaikum ...."Kulihat Ayah duduk bersantai di teras sementara Ibu sedang menyiram tanaman di halaman. "Waalaikumsalam," jawab keduanya kompak. "Kok pakai ojek, Nduk?""Iya, Pak. Mas Biru ada urusan. Lagian gak enak kalau berangkat minta jemput, pulang minta antar, jadi mulai besok aku berangkat sendiri saja," jawabku jujur. "Jarak dari Kantor ke rumah juga tidak terlalu jauh," imbuhku.Ayah manggut-manggut mengerti, begitu pula dengan Ibu, mereka memang orang tua yang tidak pernah banyak berkomentar juga tidak terlalu dalam mencampuri keputusanku. "Duduk sini!" Tangan ayah menepuk kursi sebelahnya yang kosong. ."Kok disuruh duduk sih, Yah? Anaknya capek mau istir
***Aku memberanikan diri keluar dari dalam mobil. Dengan gerakan perlahan, aku sangat berharap Mas Biru atau kekasihnya tidak melihatku. Kepalaku menunduk. Rasanya tidak sanggup melihat dua manusia yang sedang dimabuk asmara bercumbu mesra di depan mata. Allahu ... Apa Mas Biru tidak takut ada yang melihat adegannya barusan selain aku? Secara ini adalah tempat parkir para staf. Bagaimana jika ada yang melihat? Atau ini bukan hal yang tabu bagi pasangan kekasih di Kota Metropolitan?"Hafsah!" Aku terperanjat. Langkah kakiku terhenti sementara untuk menoleh ke belakang aku tidak memiliki nyali. "Berangkat sama siapa kamu?" tanya Mas Biru setengah berteriak. "Bawa mobil, Pak," jawabku berusaha tenang. Terpaksa, aku berbalik karena tidak mau dianggap sebagai staf yang kurang ajar. Cantik.Kekasih Mas Biru sangat cantik. Lihatlah, sekarang perempuan yang memakai dress berwarna merah dengan panjang selutut itu sibuk mengusap bibirnya. Astaghfirullah, bisa-bisanya aku memperhatikan sed
***"Hati-hati kalau bicara, Haf!" desis Anina. "Mulutmu ....""Ada apa dengan mulutku?" tanyaku tenang. "Salah ya?"Wajah Anina memerah, aku yakin sekali saat ini dia sedang menahan geram. "Mulutmu kurang ajar!" Anina menatapku tajam."Oh ya? Padahal aku berbicara sesuai dengan cara mulutmu berbicara di depanku, Anina.""Brengsek!" sahut Anina lirih. Setelah mengumpat, Anina berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya. Makanan di atas meja masih tersisa banyak, namun aku sudah tidak mood untuk melanjutkan makan siang kali ini. Anina merusak rasa lapar yang sejak pukul sepuluh pagi tadi kurasakan. "Dia yang diusir Bu Nisya?""Wah, parah sih. Berani sekali bekerja satu ruangan sama Pak Biru. Gatel!""Ya kan, harusnya dia menolak. Gak tau diri!""Sekretaris cosplay jadi calon istri Pak Biru, pantas saja Bu Nisya marah. Rasain!"Suara-suara sumbang mulai menusuk telinga. Daripada kondisi hati semakin memburuk, aku segera merapikan wadah makan siang dan berlalu meninggalkan Kantin tanp
***pov SafinaMbak Hafsah tidak lagi pernah membalas pesanku akhir-akhir ini. Dari yang aku dengar, dia bekerja di Jakarta bahkan kedua orang tuanya juga ikut pindah kesana. Jujur, aku merasa bersalah. Bagaimanapun aku menyadari diri bahwa kepergian Mbak Hafsah memang untuk melupakan Mas Azka. Aku memang sempat sedih karena ucapannya saat sehari setelah Mas Leo hampir melecehkanku. Kini aku mengerti, mungkin Mbak Hafsah teramat takut jika calon suaminya berpaling, itu sebabnya tanpa berpikir panjang dia mencaci makiku bahkan memintaku untuk mengakhiri hidup. "Dek, ngapain?"Aku buru-buru menghapus pesan yang baru saja terkirim pada kontak bernama Hafsah. Ya. Aku sengaja berpura-pura sebagai Mas Azka, aku ingin tau apakah Mbak Hafsah akan membalas pesan itu, atau mengabaikannya seperti sebelum-sebelumnya.Jika ada yang bertanya untuk apa aku melakukan itu? Entahlah. Aku merasa ada yang hilang dalam diri Mas Azka. Suamiku itu kini terlihat lebih banyak diam padahal di awal-awal perni
***"Selamat malam, Hafsah. Masya Allah, kamu cantik sekali." Bibi Melati mengusap pipiku lembut. "Ayo masuk, Nak!"Aku mengangguk dan berjalan mengikuti langkah kaki Ayah dan Ibu yang sudah lebih dulu memasuki ruang tamu rumah Pak Biru. Masya Allah, megah sekali. Ini bahkan kali pertama aku bertamu di rumah sebesar ini. "Selamat malam, Om." Aku mencium punggung tangan Om Ferdy."Malam, Haf." Om Ferdi menepuk-nepuk bahuku kemudian berkata, "Gimana, betah kerja sama Biru?"Aku mengangguk memberi jawaban. Setelah cukup berbasa-basi, Om Ferdy dan Bibi Melati meminta kami duduk sambil menunggu Pak Biru datang. "Kemana Biru?" tanya Ayah kepo. "Belum pulang?"Om Ferdy dan Bibi Melati saling pandang. Kulihat keduanya melempar senyum canggung sebelum akhirnya Bibi Melati menjawab, "Lagi jemput pacarnya, Mas Den.""Oalah, sudah punya pacar to," seloroh Ibu seraya tertawa. "Ya pantas sih, Biru memang terlalu cakep, malah aneh kalau dia masih jomblo sampai sekarang. Pasti calon mantu Mbak Mel
***"Tunggu disini, Haf, saya mau bicara."Setelah meletakkan berkas di meja kerja Pak Biru, aku terpaksa duduk di sofa yang tersedia di dalam ruangan. Sofa yang biasanya dipakai untuk meeting dadakan antara Direktur Utama dan beberapa jajaran tertinggi di Perusahaan ini. Entah apa yang ingin Pak Biru bicarakan, tapi aku merasa ini akan berkaitan dengan perkataanku tadi malam. Bisa jadi Bu Nisya marah dan meminta Pak Biru menegurku. Pak Biru masih sibuk dengan laptop di depannya sementara aku hanya berani menunduk seraya memainkan sepuluh jemari.Setelah sekitar lima menit berlalu, Pak Biru berdiri dan berjalan ke arahku. Pria yang di mataku dulu teramat berwibawa kini terlihat biasa-biasa saja. Aku mendadak kehilangan rasa kagum setelah Bu Nisya mengatakan bahwa Pak Direktur Utama sering berbagi ranjang dengannya. "Saya tidak tau apa yang Nisya katakan padamu tadi malam, Haf," ucap Pak Biru membuka obrolan. "Pak, bukankah sebaiknya kita berbincang setelah jam kantor selesai? Saya
***pov Safina "Bunda Ranti?"Mas Azka memanggil wanita paruh baya yang berjalan di depan kami. "Bunda!" Suamiku itu kembali memanggil.Aku yang baru saja turun dari mobil sontak mengejar langkah kaki Mas Azka yang semakin lebar."Bun, tunggu, Bun!"Suamiku mencekal pergelangan tangan wanita yang baru pertama kalinya kutemui. Siapa dia?Darimana Mas Azka mengenalnya?"Bunda, apa kabar?" tanya Mas Azka sedikit ngos-ngosan. "Siapa dia, Mas?" Tiba-tiba wanita berkerudung lebar itu menatapku dari atas hingga bawah. Bibirnya tiba-tiba tersenyum sinis, lalu bertanya, "Kamu istrinya Azka?"Aku jelas saja mengangguk. "Iya, Tante," jawabku. "Jadi dia lebih memilihmu daripada Hafsah?"Keningku mengkerut. "Tante kenal Mbak Hafsah?""Tentu. Dia putriku."Aku melongo. Kabar macam apa yang baru saja kudengar ini?Mbak Hafsah ... putrinya? Bagaimana bisa?"Panjang ceritanya, Dek," sahut Mas Azka seraya menggenggam jemariku erat. "Nanti Mas ceritakan semuanya, ya?"Aku mengangguk kaku. Terpaksa