***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***"Apa pekerjaan kamu, Haikal?"Haikal melirik Delia yang juga tengah menatapnya risau. "Saya ... membantu Bapak dan Emak di sawah, Bu," jawabnya. "Petani?" pekik Bu Sarah terkejut. "Kamu seorang petani, Haikal?"Haikal mengangguk ragu sembari melirik Delia. Wajah Bu Sarah yang tetiba menegang membuat debar jantung Delia berdetak tak karuan. Wanita cantik dengan make up tipis itu menautkan sepuluh jemarinya. Risau. Delia bisa menangkap jawaban yang akan Bu Sarah lontarkan melalui mimik wajah Sang Ibu. "Ibu tidak menyangka kalau pria yang akan kamu kenalkan pada kami adalah seorang petani, Del." Bu Sarah menarik ujung bibirnya sinis. "Kamu ini sarjana, Delia, lulusan terbaik di Universitas Surabaya. Bisa-bisanya bawa calon suami yang ...." Perkataan Bu Sarah terhenti. "Astaga ... dia tidak punya pekerjaan, Delia!""Maaf, Bu ... tapi saya bekerja.""Iya, tau! Bekerja sebagai petani kan?" Bu Sarah terkekeh. "Bagi keluarga kami, petani itu bukan pekerjaan, Haikal. Pekerjaan itu yang
***"Ibu tidak mau menganggapmu sebagai anak jika kamu menerima lamaran Haikal, Delia. Pikirkan itu!""Jaga bicaramu, Bu!" Pak Handoko lagi-lagi menghardik. "Kedatangan Haikal dan keluarganya kemari dengan maksud dan tujuan yang baik. Tidak bisakah kamu menjaga sikap dan ucapan?""Menjaga sikap untuk anak petani, untuk apa, Pak?" Bu Sarah berseru marah. "Sampai kapanpun, Ibu tidak akan mengijinkan Delia menikah dengan pria miskin."Delia dibuat geleng-geleng dengan sikap Ibunya yang angkuh. Harta dunia sudah membutakan mata hati Bu Sarah."Kalau saja Haikal dan keluarganya bukan orang baik-baik, mereka pasti tidak segan-segan menghardik balik kita semua, Bu," ucap Pak Handoko lemah. "Lagipula kita bukanlah keluarga kaya raya. Untuk apa menghina orang lain sementara hidup kita saja biasa-biasa saja begini?""Bapak sangat yakin jika Haikal adalah pria baik dan juga bertanggung jawab. Lihatlah, dari banyaknya kalimat hinaan dan cibiran yang Ibu lontarkan, mereka masih mampu menahan diri
***"Jangan membangkang Ibu, Delia!" bentak Bu Sarah lantang. "Kau pikir pernikahan bisa bahagia tanpa restu Ibu, hah?""Bapak merestui dan menerima lamaran Haikal," sahut Pak Handoko tegas. "Kalau Ibu menolak memberi restu, itu bukan salah Delia. Keputusan Bapak sudah final, lamaran Haikal Bapak terima."Emak Karti dan Pak Gani mengusap wajah tua mereka sembari mengucap syukur. Beruntung Pak Handoko sangat membela Haikal sehingga pasangan yang usianya sudah renta itu sedikit merasa tenang. "Pak, jangan keterlaluan ....""Bapak tidak mau berdebat lagi, Bu," sela Pak Handoko. "Kalau Ibu tidak setuju dengan keputusan Bapak, jangan berada disini, masuklah ke dalam kamar!"Bu Sarah mencebik. Geram. Di depan orang asing Pak Handoko mempermalukan dirinya. Fatimah dan Meisya saling sikut. Dua wanita yang usianya tidak terpaut itu jauh itu sama-sama mengedikkan bahu. Merasa aneh dengan keputusan yang Pak Handoko berikan. "Bapak yakin? Aku ingatkan lagi, Pak ... dia cuma petani loh," kata Ja
***"Miskin harta bisa dicari, Mbak, tapi kalau miskin adab, susah," sindir Delia sembari tersenyum samar. "Apalagi miskin harga diri, waduh ... bahaya!""Apa maksudmu bicara seperti itu di depan istriku?" Jaka bersedekap dada. "Siapa yang miskin harga diri, hah?"Delia hanya mengedikkan bahu. Enggan menanggapi rasa keingintahuan yang Jaka tunjukkan. "Lama-lama kamu makin kurang ajar, Del," seloroh Meisya geram. "Aku ini kakak ipar kamu, bisa gak sih kamu jaga mulut ....""Jaga mulut?" sela Delia terkikik. "Jaga mulut di depan kamu, iya? Hei, Mbak ... aku sangat bisa menjaga mulut dan sikap jika saja kamu juga melakukan hal yang sama. Untuk apa aku menjaga mulut sementara kamu tidak pernah berpikir ketika berbicara!"Bu Sarah memijit pelipisnya yang terasa pening. Melihat anak dan menantunya berseteru membuat wanita paruh baya itu mendadak kehilangan gairah hidup. Tidak. Bu Sarah justru menyalahkan Haikal atas keributan yang terjadi."Del, masuk!" pinta Pak Handoko."Tidak, Pak," sah
***"Bu ....""Dengarkan Ibu, Delia!" sela Bu Sarah. Mimik wajahnya yang serius membuat Delia berulang kali membuang napas jengah. "Faisal dan istrinya itu tidak bisa punya anak, Jaka sendiri yang bilang sama Ibu. Barusan aja dia kirim pesan, kalau kamu mau menikah dengan Faisal dan berhasil punya anak, semua harta pria itu akan diberikan ke kamu. Harusnya kamu senang ....""Aku benar-benar tidak menyangka kalau Ibu berniat menjualku," sindir Delia menohok. "Apa harta dunia membuat Ibu sangat haus sampai-sampai tega mendorongku ke dalam jurang kehancuran?"Bu Sarah melengos. Sesekali bibirnya mencebik mendengar Delia lagi-lagi menolak lamaran pria bernama Faisal. Pria kaya yang menjabat sebagai Manager di Perusahaan tempat Jaka bekerja. Pria kaya yang terkenal karena mempermainkan wanita. "Mas Faisal ingin menikah lagi bukan karena anak, Bu. Dia suka mempermainkan wanita, berganti-ganti pasangan, keluar masuk hotel dengan wanita yang berbeda setiap harinya. Ibu yakin dia akan menepa