***
"Ibu tidak mau menganggapmu sebagai anak jika kamu menerima lamaran Haikal, Delia. Pikirkan itu!""Jaga bicaramu, Bu!" Pak Handoko lagi-lagi menghardik. "Kedatangan Haikal dan keluarganya kemari dengan maksud dan tujuan yang baik. Tidak bisakah kamu menjaga sikap dan ucapan?""Menjaga sikap untuk anak petani, untuk apa, Pak?" Bu Sarah berseru marah. "Sampai kapanpun, Ibu tidak akan mengijinkan Delia menikah dengan pria miskin."Delia dibuat geleng-geleng dengan sikap Ibunya yang angkuh. Harta dunia sudah membutakan mata hati Bu Sarah."Kalau saja Haikal dan keluarganya bukan orang baik-baik, mereka pasti tidak segan-segan menghardik balik kita semua, Bu," ucap Pak Handoko lemah. "Lagipula kita bukanlah keluarga kaya raya. Untuk apa menghina orang lain sementara hidup kita saja biasa-biasa saja begini?""Bapak sangat yakin jika Haikal adalah pria baik dan juga bertanggung jawab. Lihatlah, dari banyaknya kalimat hinaan dan cibiran yang Ibu lontarkan, mereka masih mampu menahan diri untuk tidak membalas kata-kata pedas kalian semua. Bapak malu, Bu ... Bapak sangat malu dengan kelakuan Ibu."Bu Sarah melengos. Bibirnya mencebik mendengar sang suami begitu membela Haikal. Sementara Fatimah terlihat menguap, malas menanggapi lamaran dari pria miskin untuk adiknya."Lagipula apa yang salah dengan lamaran Haikal? Dia datang kemari bersama Bapak dan Ibunya. Berbicara sopan mengutarakan niat untuk melamar putri kita. Kenapa Ibu justru ....""Dengan dia datang kemari, itu sudah sangat salah, Pak," sela Jaka sengit. "Bapak kenapa sih, hah? Dia itu petani, Pak. Tidak punya pekerjaan, miskin, tidak memiliki masa depan. Kenapa kekeuh sekali mau menerima lamarannya untuk Delia? Bapak mau Delia hidup menderita lalu segala kebutuhan dia harus kita yang menanggung?""Dih, ogah banget!" sahut Meisya sinis."Kalau sampai Delia masih saja nekat mau menikah dengan pria kere itu, jangan harap aku dan istriku mau membantunya jika suatu hari nanti dia mengalami kesulitan. Haram duitku masuk ke dalam perut mereka!""Bagaimana jika keadaannya terbalik?" Delia berbicara setengah tersenyum sinis. "Bagaimana jika ternyata suatu hari nanti Mas dan Mbak Meisya yang mengalami kesulitan? Bolehkah aku juga mengatakan hal yang sama? Haram duit kami masuk ke dalam perut kalian. Bagaimana?""Kamu benar-benar sudah kehilangan akal, Del." Jaka tertawa lebar. "Kau pikir hal seperti itu mungkin terjadi?" Jaka menaikkan satu alis sambil menatap Haikal dengan tatapan remeh. "Coba saja terima lamaran pria itu, lalu buktikan apakah aku ... atau kamu yang akan menderita. Kau pikir enak menikah dengan orang miskin? Bodoh!"Delia meraup udara dengan rakus. Cukup. Cukup sudah dia membiarkan Haikal dan kedua orang tuanya menerima banyak cacian dari keluarganya. Bukan ingin membangkang pada Ibu, namun pria yang Jaka rekomendasikan saat itu adalah pria yang sudah beristri. Kaya. Tapi bukankah jauh lebih bodoh dan gila lagi jika dia menerima lamaran pria yang sudah menikah? Delia bukan wanita murahan yang mau-mau saja dijadikan istri kedua. Sekalipun dengan iming-iming harta yang bergelimang."Akan lebih bodoh lagi jika aku menerima lamaran temanmu, Mas. Ck, jangan Mas pikir aku tidak tahu, kamu ingin aku menerima lamaran Faisal karena hartanya, benar bukan?""Jaka sudah benar, Del," timpal Bu Sarah. "Setidaknya Faisal bisa menjamin kehidupan kamu sebagai istri ....""Istri kedua," sahut Delia cepat. "Ibu mau aku menjadi istri kedua dan merusak rumah tangga wanita lain?""Is-- istri kedua?" tanya Bu Sarah tergagap.Delia mengangguk. Matanya yang semula sendu kini menatap tajam ke arah Jaka. Wajah kakak pertamanya terlihat pucat. Mungkin tidak menyangka jika ternyata Delia tahu siapa sebenarnya Faisal. Pria yang mati-matian ingin Jaka jodohkan dengan adiknya."Mas kaget bagaimana aku bisa tahu tentang Faisal?" Jaka melengos. "Satu hal yang harus kamu tahu, aku bukan wanita yang gila harta, Mas," imbuhnya seraya melirik Meisya. "Aku tidak sudi menjual diriku pada pria yang sudah beristri."Meisya membenarkan posisi duduknya. Ucapan Delia barusan membuatnya kikuk. Perasaannya tidak enak. Delia seperti mengetahui sesuatu. Entah apa itu."Kamu benar-benar keterlaluan, Jaka!" Pak Handoko mengeratkan rahang tuanya. "Tega sekali kamu mau menjerumuskan Delia menjadi pelakor.""Halah, beristri tidak masalah asalkan kaya. Duit Faisal gak bakalan habis buat menghidupi dua istri ....""Kalau begitu suruh saja istrimu menikah dengan Faisal, Mas. Toh, duit Faisal tidak akan habis kalau cuma buat membiayai dua wanita. Bagaimana, Mbak Mei?""Delia!" bentak Jaka lantang.Pak Handoko dan Haikal sama-sama berdiri. "Santai, Bang!" ucap Haikal tegas."Berani menampar Delia, Bapak patahkan tanganmu, Jaka!" ancam Pak Handoko tidak main-main.Jaka membuang muka. Napasnya memburu melihat dua pria berdiri membela Delia. Kedua tangan Jaka berkacak pinggang, dadanya naik turun kentara sekali sedang menahan emosi."Kedatangan kamu memang membawa sial. Lihat, anak-anakku jadi ribut gara-gara kamu," tutur Bu Sarah lirih namun menohok. "Pergi dari sini, saya menolak lamaran kamu.""Saya menerima lamaran Mas Haikal." Delia menimpali ucapan Bu Sarah. "Bapak merestui lamaran ini, benar kan?"Bersambung***"Jangan membangkang Ibu, Delia!" bentak Bu Sarah lantang. "Kau pikir pernikahan bisa bahagia tanpa restu Ibu, hah?""Bapak merestui dan menerima lamaran Haikal," sahut Pak Handoko tegas. "Kalau Ibu menolak memberi restu, itu bukan salah Delia. Keputusan Bapak sudah final, lamaran Haikal Bapak terima."Emak Karti dan Pak Gani mengusap wajah tua mereka sembari mengucap syukur. Beruntung Pak Handoko sangat membela Haikal sehingga pasangan yang usianya sudah renta itu sedikit merasa tenang. "Pak, jangan keterlaluan ....""Bapak tidak mau berdebat lagi, Bu," sela Pak Handoko. "Kalau Ibu tidak setuju dengan keputusan Bapak, jangan berada disini, masuklah ke dalam kamar!"Bu Sarah mencebik. Geram. Di depan orang asing Pak Handoko mempermalukan dirinya. Fatimah dan Meisya saling sikut. Dua wanita yang usianya tidak terpaut itu jauh itu sama-sama mengedikkan bahu. Merasa aneh dengan keputusan yang Pak Handoko berikan. "Bapak yakin? Aku ingatkan lagi, Pak ... dia cuma petani loh," kata Ja
***"Miskin harta bisa dicari, Mbak, tapi kalau miskin adab, susah," sindir Delia sembari tersenyum samar. "Apalagi miskin harga diri, waduh ... bahaya!""Apa maksudmu bicara seperti itu di depan istriku?" Jaka bersedekap dada. "Siapa yang miskin harga diri, hah?"Delia hanya mengedikkan bahu. Enggan menanggapi rasa keingintahuan yang Jaka tunjukkan. "Lama-lama kamu makin kurang ajar, Del," seloroh Meisya geram. "Aku ini kakak ipar kamu, bisa gak sih kamu jaga mulut ....""Jaga mulut?" sela Delia terkikik. "Jaga mulut di depan kamu, iya? Hei, Mbak ... aku sangat bisa menjaga mulut dan sikap jika saja kamu juga melakukan hal yang sama. Untuk apa aku menjaga mulut sementara kamu tidak pernah berpikir ketika berbicara!"Bu Sarah memijit pelipisnya yang terasa pening. Melihat anak dan menantunya berseteru membuat wanita paruh baya itu mendadak kehilangan gairah hidup. Tidak. Bu Sarah justru menyalahkan Haikal atas keributan yang terjadi."Del, masuk!" pinta Pak Handoko."Tidak, Pak," sah
***"Bu ....""Dengarkan Ibu, Delia!" sela Bu Sarah. Mimik wajahnya yang serius membuat Delia berulang kali membuang napas jengah. "Faisal dan istrinya itu tidak bisa punya anak, Jaka sendiri yang bilang sama Ibu. Barusan aja dia kirim pesan, kalau kamu mau menikah dengan Faisal dan berhasil punya anak, semua harta pria itu akan diberikan ke kamu. Harusnya kamu senang ....""Aku benar-benar tidak menyangka kalau Ibu berniat menjualku," sindir Delia menohok. "Apa harta dunia membuat Ibu sangat haus sampai-sampai tega mendorongku ke dalam jurang kehancuran?"Bu Sarah melengos. Sesekali bibirnya mencebik mendengar Delia lagi-lagi menolak lamaran pria bernama Faisal. Pria kaya yang menjabat sebagai Manager di Perusahaan tempat Jaka bekerja. Pria kaya yang terkenal karena mempermainkan wanita. "Mas Faisal ingin menikah lagi bukan karena anak, Bu. Dia suka mempermainkan wanita, berganti-ganti pasangan, keluar masuk hotel dengan wanita yang berbeda setiap harinya. Ibu yakin dia akan menepa
***"Emak dan Bapak ridho dengan pilihanku?" Haikal memecah keheningan di tengah-tengah perjalanan. Untuk sampai di Madiun, butuh waktu sekitar 3-4 jam perjalanan dari Surabaya. Satu jam lagi mereka sampai di rumah, itupun jika tidak ada halangan di jalan. "Bagiku, Delia itu wanita baik, Mak, Pak. Dia memang dari kota, tapi perangainya sangat santun.""Emak tahu kalau dia wanita baik, Kal," sahut Emak lembut. "Anak Emak tidak mungkin salah pilih. Benar kan, Pak?"Pak Gani mengangguk membenarkan. Sekalipun di hatinya saat ini tengah diliputi keresahan, namun bibirnya terus tersenyum agar kebahagiaan yang sedang Haikal rasakan tidak terganggu dengan pikiran-pikiran buruk yang pria tua itu miliki. Haikal adalah satu-satunya harta yang Pak Gani miliki. Membayangkan bahwa putranya ditolak oleh keluarga Delia pastilah akan menyulut kesedihan di hati pria tua itu. Beruntung, Pak Handoko berbesar hati mau menerima lamaran Haikal, jika tidak ... terlukalah hati Pak Gani dan Emak Karti karena
***"Pak, ini keterlaluan!" Delia mengadu pada Pak Handoko. Pria paruh baya itu mengangguk membenarkan. "Mas Haikal tidak harus menyenangkan hati mereka semua. Aku tahu, semua ini sudah direncanakan.""Kamu apa-apaan sih, Del," gerutu Meisya, "Kita cuma mau makan-makan, apanya yang direncanakan sih?"Delia membuang muka. Baru tadi pagi Jaka dan Meisya pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, tapi malam ini keduanya datang lagi seolah-olah sebelumnya tidak pernah terjadi perseteruan apapun. Terlebih, Jaka dan Faisal justru meminta Haikal datang lagi ke kota. Lalu apa ini namanya jika bukan direncanakan?"Aku tau rencana busuk kalian," desis Delia menahan marah. "Ayolah, Del ... kamu hanya sedang berburuk sangka," timpal Faisal. Gayanya yang congkak membuat Delia semakin jengah menatapnya. "Sebagai calon suami yang baik harusnya Haikal bisa mengambil hati semua keluargamu.""Dek, tenanglah!" Haikal menatap lekat kedua mata Delia yang bergetar. "Percaya sama Mas, semua pasti baik-baik saj
***"Mas Jaka dan Faisal menelpon saya tanpa basa-basi. Mereka meminta saya datang ke sini jika tidak ... Mas Jaka akan memaksa Delia menikah dengan Faisal. Saya tahu itu hanya sebuah ancaman belaka, namun demi memastikan bahwa Delia baik-baik saja, saya ikut saja diminta datang kesini," papar Haikal, "Saya tahu, Pak, dua pria itu sedang merencanakan sesuatu. Benar saja, sesampainya di sini, Faisal tiba-tiba mengajak semua keluarga makan malam di Restoran mewah. Dia ingin mempermalukan saya, saya tau itu.""Maafkan aku, Mas ....""Bukan salah kamu, Dek," sahut Haikal lembut. "Seharusnya Faisal cukup tahu diri, dia sudah beristri," imbuhnya geram. "Percaya diri sekali dia dengan semua uangnya. Tidak semua bisa dibeli dengan uang yang dia punya, termasuk kamu, Delia."Pak Handoko menatap haru pada sosok pria bertubuh tegap di sampingnya. Sementara itu, tangan pria paruh baya itu mengusap lembut punggung tangan Delia seakan-akan berkata, "Dia adalah pria yang tepat, Nak. Bapak terharu s
***"Ternyata selain sombong, kau juga dungu." Haikal melayangkan tatapan tajam pada Faisal. "Ah tidak, selain sombong dan dungu, kau ternyata begitu gatal. Pria gatal," cibir Haikal ketus. Brak ...!!!Faisal menggebrak meja di depannya disertai wajah yang memanas. Semua keluarga Delia mendadak diam. Suasana yang semula sudah panas justru makin panas. Haikal mulai menunjukkan emosinya. Tidak terima calon istrinya dijadikan bahan taruhan.Pak Handoko mencekal pergelangan tangan Haikal serta menggeleng samar. Pun dengan Delia, wanita itu berbisik agar Haikal sedikit lebih tenang karena ada banyak mata yang melihat ke arah mereka. "Berani sekali ....""Kenapa harus takut?" sela Haikal, "Harga diri calon istriku kau setarakan dengan harga makanan di Restoran. Kau pikir Delia tidak terluka dengan itu, hah?"Delia mengulum bibirnya. Gusar. Keributan yang terjadi malam ini tidak mungkin bisa diredam begitu saja. Sukur-sukur jika tidak terjadi adegan baku hantam. Bagaimana Haikal bisa menan
***"Ha ... ha ... sudah merasa hebat?" Faisal tertawa mengejek. Dia berkacak pinggang sembari mendekati Haikal yang bersiap pergi bersama Pak Handoko dan Delia. "Menyewa mobil, membayar tagihan Restoran, apa hanya dengan melakukan dua hal itu kamu sudah merasa hebat? Petani memang beda!"Dada Delia naik turun. Semakin Faisal banyak berbicara maka semakin muak pula ia melihat teman kakak pertamanya itu. "Mas, ayo!" Delia menggenggam jemari Haikal erat-erat. "Tidak ada gunanya berdebat. Ayo pulang! Bapak sudah menunggu," imbuhnya."Ayo, Nak Haikal!"Mata Haikal yang tajam serasa sedang menguliti sosok pria sombong yang tengah berdiri di depannya. "Kau memilih lawan yang salah," ucap Haikal begitu tenang. "Lagipula apa yang kau harapkan, Faisal? Sekedar makan di Restoran bukan hal yang tabu buatku." Haikal terkekeh. "Usahamu sangat gigih sekali dan aku hargai itu. Tapi sayang ... Delia bukan harga yang akan kuberikan. Dia bernilai segalanya, kau pun merasakan hal yang sama bukan? Dia b