***
"Jangan membangkang Ibu, Delia!" bentak Bu Sarah lantang. "Kau pikir pernikahan bisa bahagia tanpa restu Ibu, hah?""Bapak merestui dan menerima lamaran Haikal," sahut Pak Handoko tegas. "Kalau Ibu menolak memberi restu, itu bukan salah Delia. Keputusan Bapak sudah final, lamaran Haikal Bapak terima."Emak Karti dan Pak Gani mengusap wajah tua mereka sembari mengucap syukur. Beruntung Pak Handoko sangat membela Haikal sehingga pasangan yang usianya sudah renta itu sedikit merasa tenang."Pak, jangan keterlaluan ....""Bapak tidak mau berdebat lagi, Bu," sela Pak Handoko. "Kalau Ibu tidak setuju dengan keputusan Bapak, jangan berada disini, masuklah ke dalam kamar!"Bu Sarah mencebik. Geram. Di depan orang asing Pak Handoko mempermalukan dirinya. Fatimah dan Meisya saling sikut. Dua wanita yang usianya tidak terpaut itu jauh itu sama-sama mengedikkan bahu. Merasa aneh dengan keputusan yang Pak Handoko berikan."Bapak yakin? Aku ingatkan lagi, Pak ... dia cuma petani loh," kata Jaka remeh. "Cuma pe--ta--ni!"Pak Handoko tidak memperdulikan ucapan Jaka. Sebaliknya, pria paruh baya itu terlihat merengkuh bahu Delia dan tersenyum teduh di depan putri bungsunya. Merasa diabaikan, Jaka membuang muka. Kesal karena perkataannya tidak diindahkan di depan banyak orang."Kami sungguh berterima kasih, Pak. Sangat-sangat berterima kasih karena sudah menerima lamaran Haikal, putra kami," ujar Pak Gani. "Kalau tidak keberatan, bolehkah kami datang lagi satu minggu ke depan, kami ingin membicarakan rencana pernikahan Haikal dan Delia. Apa menurut Bapak itu terlalu cepat?""Benar-benar gak tau malu," gerutu Jaka lirih. "Seharusnya mereka pergi setelah kita permalukan, tapi lihat ... satu keluarga benar-benar tidak punya harga diri.""Ngotot sekali ingin punya menantu dari kota," imbuh Meisya sinis. "Kebanyakan orang kampung memang begitu, Mas, gak tau diri!"Pak Handoko menoleh dan melayangkan tatapan tajam pada Meisya. Menantu sulung di keluarganya itu terlihat menunduk menyembunyikan wajahnya yang memucat."Kami hanya sedang memperjuangkan perasaan Haikal, Nduk. Andai saja dia menyerah dan memilih melepaskan Delia, Emak dan Bapak juga akan pergi." Emak Karti berbicara dengan begitu tenang. Namun siapa yang tahu dalamnya hati manusia? Wanita tua itu sebenarnya menyimpan perih yang teramat dalam karena hinaan dan cibiran yang keluarga Delia berikan. "Andaipun Pak Handoko menolak lamaran Haikal, tentulah kami juga akan pergi dengan baik-baik. Emak bersyukur sekali karena kedatangan kami mendapat jawaban yang melegakan. Kami memang orang miskin dan tidak berpunya, tapi untuk membalas hinaan dan cacian orang lain, tidak perlu lah membuang-buang energi sebab Allah tidak menutup mata. Setiap perbuatan buruk akan mendapat balasan yang sama, begitupula sebaliknya.""Oh, jadi kamu nyumpahin anak saya, iya?" Bu Sarah melotot. "Kalau saja suamiku ini tidak bodoh, sudah kuusir kamu semua dari rumah ini!""Ibu!"Tubuh Bu Sarah dan anak-anaknya berjingkat kaget. "Tutup mulutmu!" desis Pak Handoko. Rahangnya mengatup rapat. Emosinya siap meledak jika saja tidak ada tamu di rumahnya."Kami ikut saja bagaimana baiknya." Pak Handoko tersenyum paksa seraya merengkuh bahu Delia.Tidak ingin ada keributan yang lebih heboh, Emak dan Pak Gani serta Haikal memilih undur diri. Setidaknya lamaran mereka mendapatkan jawaban dari Pak Handoko selaku wali nikah Delia."Jaga diri baik-baik, Nduk." Emak mengusap lengan Delia lembut. "Maafkan kami ....""Mak, harusnya saya yang meminta maaf."Emak menggeleng lemah. "Haikal tidak salah memilih kamu. Emak yakin itu."Pipi Delia bersemu. Wajahnya seketika memanas mendapat pujian dari Emak Karti. Wanita tua yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya."Kami pamit dulu, Pak, Bu ....""Ck, sana!" usir Bu Sarah. Tangannya menampik kasar tangan Haikal yang hendak bersalaman takzim.Delia menghela napas panjang. "Hati-hati di jalan, Mas ...."Haikal mengangguk tegas. "Assalamualaikum!"Setelah mencium punggung tangan Pak Handoko, keluarga Haikal masuk ke dalam angkot yang terparkir di halaman rumah Delia.Perlahan, angkot yang Haikal kendarai keluar dari pelataran rumah Delia dan melaju meninggalkan kota tempat dimana calon istrinya berada."Aku sama Meisya sepakat tidak akan mengeluarkan sepeserpun uang untuk pernikahan Delia nanti," kata Jaka memecah keheningan. Baru saja keluarga Haikal pergi, pria itu sudah kembali membuat suasana memanas. "Berdoa saja semoga pernikahan kamu lancar, Del. Ya ... meskipun kita gak yakin akan itu. Kamu tahu kan keluarga Bapak sama Ibu itu seberapa banyak? Yakin kalau suamimu bisa mencukupi semua kebutuhan pernikahan?""Paling-paling jual sawah, Mas. Nanti setelah menikah malah menganggur karena sawahnya sudah terjual untuk biaya menikah. Sudahlah miskin, makin miskin lah nanti," timpal Meisya pedas.Bersambung***"Miskin harta bisa dicari, Mbak, tapi kalau miskin adab, susah," sindir Delia sembari tersenyum samar. "Apalagi miskin harga diri, waduh ... bahaya!""Apa maksudmu bicara seperti itu di depan istriku?" Jaka bersedekap dada. "Siapa yang miskin harga diri, hah?"Delia hanya mengedikkan bahu. Enggan menanggapi rasa keingintahuan yang Jaka tunjukkan. "Lama-lama kamu makin kurang ajar, Del," seloroh Meisya geram. "Aku ini kakak ipar kamu, bisa gak sih kamu jaga mulut ....""Jaga mulut?" sela Delia terkikik. "Jaga mulut di depan kamu, iya? Hei, Mbak ... aku sangat bisa menjaga mulut dan sikap jika saja kamu juga melakukan hal yang sama. Untuk apa aku menjaga mulut sementara kamu tidak pernah berpikir ketika berbicara!"Bu Sarah memijit pelipisnya yang terasa pening. Melihat anak dan menantunya berseteru membuat wanita paruh baya itu mendadak kehilangan gairah hidup. Tidak. Bu Sarah justru menyalahkan Haikal atas keributan yang terjadi."Del, masuk!" pinta Pak Handoko."Tidak, Pak," sah
***"Bu ....""Dengarkan Ibu, Delia!" sela Bu Sarah. Mimik wajahnya yang serius membuat Delia berulang kali membuang napas jengah. "Faisal dan istrinya itu tidak bisa punya anak, Jaka sendiri yang bilang sama Ibu. Barusan aja dia kirim pesan, kalau kamu mau menikah dengan Faisal dan berhasil punya anak, semua harta pria itu akan diberikan ke kamu. Harusnya kamu senang ....""Aku benar-benar tidak menyangka kalau Ibu berniat menjualku," sindir Delia menohok. "Apa harta dunia membuat Ibu sangat haus sampai-sampai tega mendorongku ke dalam jurang kehancuran?"Bu Sarah melengos. Sesekali bibirnya mencebik mendengar Delia lagi-lagi menolak lamaran pria bernama Faisal. Pria kaya yang menjabat sebagai Manager di Perusahaan tempat Jaka bekerja. Pria kaya yang terkenal karena mempermainkan wanita. "Mas Faisal ingin menikah lagi bukan karena anak, Bu. Dia suka mempermainkan wanita, berganti-ganti pasangan, keluar masuk hotel dengan wanita yang berbeda setiap harinya. Ibu yakin dia akan menepa
***"Emak dan Bapak ridho dengan pilihanku?" Haikal memecah keheningan di tengah-tengah perjalanan. Untuk sampai di Madiun, butuh waktu sekitar 3-4 jam perjalanan dari Surabaya. Satu jam lagi mereka sampai di rumah, itupun jika tidak ada halangan di jalan. "Bagiku, Delia itu wanita baik, Mak, Pak. Dia memang dari kota, tapi perangainya sangat santun.""Emak tahu kalau dia wanita baik, Kal," sahut Emak lembut. "Anak Emak tidak mungkin salah pilih. Benar kan, Pak?"Pak Gani mengangguk membenarkan. Sekalipun di hatinya saat ini tengah diliputi keresahan, namun bibirnya terus tersenyum agar kebahagiaan yang sedang Haikal rasakan tidak terganggu dengan pikiran-pikiran buruk yang pria tua itu miliki. Haikal adalah satu-satunya harta yang Pak Gani miliki. Membayangkan bahwa putranya ditolak oleh keluarga Delia pastilah akan menyulut kesedihan di hati pria tua itu. Beruntung, Pak Handoko berbesar hati mau menerima lamaran Haikal, jika tidak ... terlukalah hati Pak Gani dan Emak Karti karena
***"Pak, ini keterlaluan!" Delia mengadu pada Pak Handoko. Pria paruh baya itu mengangguk membenarkan. "Mas Haikal tidak harus menyenangkan hati mereka semua. Aku tahu, semua ini sudah direncanakan.""Kamu apa-apaan sih, Del," gerutu Meisya, "Kita cuma mau makan-makan, apanya yang direncanakan sih?"Delia membuang muka. Baru tadi pagi Jaka dan Meisya pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, tapi malam ini keduanya datang lagi seolah-olah sebelumnya tidak pernah terjadi perseteruan apapun. Terlebih, Jaka dan Faisal justru meminta Haikal datang lagi ke kota. Lalu apa ini namanya jika bukan direncanakan?"Aku tau rencana busuk kalian," desis Delia menahan marah. "Ayolah, Del ... kamu hanya sedang berburuk sangka," timpal Faisal. Gayanya yang congkak membuat Delia semakin jengah menatapnya. "Sebagai calon suami yang baik harusnya Haikal bisa mengambil hati semua keluargamu.""Dek, tenanglah!" Haikal menatap lekat kedua mata Delia yang bergetar. "Percaya sama Mas, semua pasti baik-baik saj
***"Mas Jaka dan Faisal menelpon saya tanpa basa-basi. Mereka meminta saya datang ke sini jika tidak ... Mas Jaka akan memaksa Delia menikah dengan Faisal. Saya tahu itu hanya sebuah ancaman belaka, namun demi memastikan bahwa Delia baik-baik saja, saya ikut saja diminta datang kesini," papar Haikal, "Saya tahu, Pak, dua pria itu sedang merencanakan sesuatu. Benar saja, sesampainya di sini, Faisal tiba-tiba mengajak semua keluarga makan malam di Restoran mewah. Dia ingin mempermalukan saya, saya tau itu.""Maafkan aku, Mas ....""Bukan salah kamu, Dek," sahut Haikal lembut. "Seharusnya Faisal cukup tahu diri, dia sudah beristri," imbuhnya geram. "Percaya diri sekali dia dengan semua uangnya. Tidak semua bisa dibeli dengan uang yang dia punya, termasuk kamu, Delia."Pak Handoko menatap haru pada sosok pria bertubuh tegap di sampingnya. Sementara itu, tangan pria paruh baya itu mengusap lembut punggung tangan Delia seakan-akan berkata, "Dia adalah pria yang tepat, Nak. Bapak terharu s
***"Ternyata selain sombong, kau juga dungu." Haikal melayangkan tatapan tajam pada Faisal. "Ah tidak, selain sombong dan dungu, kau ternyata begitu gatal. Pria gatal," cibir Haikal ketus. Brak ...!!!Faisal menggebrak meja di depannya disertai wajah yang memanas. Semua keluarga Delia mendadak diam. Suasana yang semula sudah panas justru makin panas. Haikal mulai menunjukkan emosinya. Tidak terima calon istrinya dijadikan bahan taruhan.Pak Handoko mencekal pergelangan tangan Haikal serta menggeleng samar. Pun dengan Delia, wanita itu berbisik agar Haikal sedikit lebih tenang karena ada banyak mata yang melihat ke arah mereka. "Berani sekali ....""Kenapa harus takut?" sela Haikal, "Harga diri calon istriku kau setarakan dengan harga makanan di Restoran. Kau pikir Delia tidak terluka dengan itu, hah?"Delia mengulum bibirnya. Gusar. Keributan yang terjadi malam ini tidak mungkin bisa diredam begitu saja. Sukur-sukur jika tidak terjadi adegan baku hantam. Bagaimana Haikal bisa menan
***"Ha ... ha ... sudah merasa hebat?" Faisal tertawa mengejek. Dia berkacak pinggang sembari mendekati Haikal yang bersiap pergi bersama Pak Handoko dan Delia. "Menyewa mobil, membayar tagihan Restoran, apa hanya dengan melakukan dua hal itu kamu sudah merasa hebat? Petani memang beda!"Dada Delia naik turun. Semakin Faisal banyak berbicara maka semakin muak pula ia melihat teman kakak pertamanya itu. "Mas, ayo!" Delia menggenggam jemari Haikal erat-erat. "Tidak ada gunanya berdebat. Ayo pulang! Bapak sudah menunggu," imbuhnya."Ayo, Nak Haikal!"Mata Haikal yang tajam serasa sedang menguliti sosok pria sombong yang tengah berdiri di depannya. "Kau memilih lawan yang salah," ucap Haikal begitu tenang. "Lagipula apa yang kau harapkan, Faisal? Sekedar makan di Restoran bukan hal yang tabu buatku." Haikal terkekeh. "Usahamu sangat gigih sekali dan aku hargai itu. Tapi sayang ... Delia bukan harga yang akan kuberikan. Dia bernilai segalanya, kau pun merasakan hal yang sama bukan? Dia b
***"Maksud Ibu?""Biarkan Delia tetap menikah dengan Haikal. Ibu ingin tahu, kehidupan seperti apa yang akan dia dapatkan karena sudah menentang Ibu," sahut Bu Sarah setelah menghembuskan napas panjang. "Ingat satu hal ... ketika Delia kesulitan suatu hari nanti, jangan pernah mengulurkan tangan padanya meskipun Bapak yang memohon sekalipun. Jangan pernah membantunya apa pun yang terjadi. Dia harus merasakan betapa pedihnya hidup dengan pria yang salah."Jaka membuang muka. Bayangan uang lima puluh juta mulai mengabur. Seharusnya sekarang dia bisa menikmati upah dari Faisal karena berhasil menjadikan Delia sebagai istrinya, tapi sayang ... adik bungsunya menolak mentah-mentah lamaran dari karibnya itu."Jangan bermain-main dengan kehidupan, Bu ....""Diam lah, Jaka!" pinta Bu Sarah ketus. "Sekarang habiskan makanan di atas meja ini! Kau pun mulai gila, bisa-bisanya pesan menu dengan harga paling mahal.""Ck, Ibu mulai berpihak pada Haikal? Kasihan karena dia sudah mengeluarkan uang s