***"Emak dan Bapak ridho dengan pilihanku?" Haikal memecah keheningan di tengah-tengah perjalanan. Untuk sampai di Madiun, butuh waktu sekitar 3-4 jam perjalanan dari Surabaya. Satu jam lagi mereka sampai di rumah, itupun jika tidak ada halangan di jalan. "Bagiku, Delia itu wanita baik, Mak, Pak. Dia memang dari kota, tapi perangainya sangat santun.""Emak tahu kalau dia wanita baik, Kal," sahut Emak lembut. "Anak Emak tidak mungkin salah pilih. Benar kan, Pak?"Pak Gani mengangguk membenarkan. Sekalipun di hatinya saat ini tengah diliputi keresahan, namun bibirnya terus tersenyum agar kebahagiaan yang sedang Haikal rasakan tidak terganggu dengan pikiran-pikiran buruk yang pria tua itu miliki. Haikal adalah satu-satunya harta yang Pak Gani miliki. Membayangkan bahwa putranya ditolak oleh keluarga Delia pastilah akan menyulut kesedihan di hati pria tua itu. Beruntung, Pak Handoko berbesar hati mau menerima lamaran Haikal, jika tidak ... terlukalah hati Pak Gani dan Emak Karti karena
***"Pak, ini keterlaluan!" Delia mengadu pada Pak Handoko. Pria paruh baya itu mengangguk membenarkan. "Mas Haikal tidak harus menyenangkan hati mereka semua. Aku tahu, semua ini sudah direncanakan.""Kamu apa-apaan sih, Del," gerutu Meisya, "Kita cuma mau makan-makan, apanya yang direncanakan sih?"Delia membuang muka. Baru tadi pagi Jaka dan Meisya pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, tapi malam ini keduanya datang lagi seolah-olah sebelumnya tidak pernah terjadi perseteruan apapun. Terlebih, Jaka dan Faisal justru meminta Haikal datang lagi ke kota. Lalu apa ini namanya jika bukan direncanakan?"Aku tau rencana busuk kalian," desis Delia menahan marah. "Ayolah, Del ... kamu hanya sedang berburuk sangka," timpal Faisal. Gayanya yang congkak membuat Delia semakin jengah menatapnya. "Sebagai calon suami yang baik harusnya Haikal bisa mengambil hati semua keluargamu.""Dek, tenanglah!" Haikal menatap lekat kedua mata Delia yang bergetar. "Percaya sama Mas, semua pasti baik-baik saj
***"Mas Jaka dan Faisal menelpon saya tanpa basa-basi. Mereka meminta saya datang ke sini jika tidak ... Mas Jaka akan memaksa Delia menikah dengan Faisal. Saya tahu itu hanya sebuah ancaman belaka, namun demi memastikan bahwa Delia baik-baik saja, saya ikut saja diminta datang kesini," papar Haikal, "Saya tahu, Pak, dua pria itu sedang merencanakan sesuatu. Benar saja, sesampainya di sini, Faisal tiba-tiba mengajak semua keluarga makan malam di Restoran mewah. Dia ingin mempermalukan saya, saya tau itu.""Maafkan aku, Mas ....""Bukan salah kamu, Dek," sahut Haikal lembut. "Seharusnya Faisal cukup tahu diri, dia sudah beristri," imbuhnya geram. "Percaya diri sekali dia dengan semua uangnya. Tidak semua bisa dibeli dengan uang yang dia punya, termasuk kamu, Delia."Pak Handoko menatap haru pada sosok pria bertubuh tegap di sampingnya. Sementara itu, tangan pria paruh baya itu mengusap lembut punggung tangan Delia seakan-akan berkata, "Dia adalah pria yang tepat, Nak. Bapak terharu s
***"Ternyata selain sombong, kau juga dungu." Haikal melayangkan tatapan tajam pada Faisal. "Ah tidak, selain sombong dan dungu, kau ternyata begitu gatal. Pria gatal," cibir Haikal ketus. Brak ...!!!Faisal menggebrak meja di depannya disertai wajah yang memanas. Semua keluarga Delia mendadak diam. Suasana yang semula sudah panas justru makin panas. Haikal mulai menunjukkan emosinya. Tidak terima calon istrinya dijadikan bahan taruhan.Pak Handoko mencekal pergelangan tangan Haikal serta menggeleng samar. Pun dengan Delia, wanita itu berbisik agar Haikal sedikit lebih tenang karena ada banyak mata yang melihat ke arah mereka. "Berani sekali ....""Kenapa harus takut?" sela Haikal, "Harga diri calon istriku kau setarakan dengan harga makanan di Restoran. Kau pikir Delia tidak terluka dengan itu, hah?"Delia mengulum bibirnya. Gusar. Keributan yang terjadi malam ini tidak mungkin bisa diredam begitu saja. Sukur-sukur jika tidak terjadi adegan baku hantam. Bagaimana Haikal bisa menan
***"Ha ... ha ... sudah merasa hebat?" Faisal tertawa mengejek. Dia berkacak pinggang sembari mendekati Haikal yang bersiap pergi bersama Pak Handoko dan Delia. "Menyewa mobil, membayar tagihan Restoran, apa hanya dengan melakukan dua hal itu kamu sudah merasa hebat? Petani memang beda!"Dada Delia naik turun. Semakin Faisal banyak berbicara maka semakin muak pula ia melihat teman kakak pertamanya itu. "Mas, ayo!" Delia menggenggam jemari Haikal erat-erat. "Tidak ada gunanya berdebat. Ayo pulang! Bapak sudah menunggu," imbuhnya."Ayo, Nak Haikal!"Mata Haikal yang tajam serasa sedang menguliti sosok pria sombong yang tengah berdiri di depannya. "Kau memilih lawan yang salah," ucap Haikal begitu tenang. "Lagipula apa yang kau harapkan, Faisal? Sekedar makan di Restoran bukan hal yang tabu buatku." Haikal terkekeh. "Usahamu sangat gigih sekali dan aku hargai itu. Tapi sayang ... Delia bukan harga yang akan kuberikan. Dia bernilai segalanya, kau pun merasakan hal yang sama bukan? Dia b
***"Maksud Ibu?""Biarkan Delia tetap menikah dengan Haikal. Ibu ingin tahu, kehidupan seperti apa yang akan dia dapatkan karena sudah menentang Ibu," sahut Bu Sarah setelah menghembuskan napas panjang. "Ingat satu hal ... ketika Delia kesulitan suatu hari nanti, jangan pernah mengulurkan tangan padanya meskipun Bapak yang memohon sekalipun. Jangan pernah membantunya apa pun yang terjadi. Dia harus merasakan betapa pedihnya hidup dengan pria yang salah."Jaka membuang muka. Bayangan uang lima puluh juta mulai mengabur. Seharusnya sekarang dia bisa menikmati upah dari Faisal karena berhasil menjadikan Delia sebagai istrinya, tapi sayang ... adik bungsunya menolak mentah-mentah lamaran dari karibnya itu."Jangan bermain-main dengan kehidupan, Bu ....""Diam lah, Jaka!" pinta Bu Sarah ketus. "Sekarang habiskan makanan di atas meja ini! Kau pun mulai gila, bisa-bisanya pesan menu dengan harga paling mahal.""Ck, Ibu mulai berpihak pada Haikal? Kasihan karena dia sudah mengeluarkan uang s
***"Faisal, coba lihat Fatimah, dia tidak kalah cantik dari Delia." Bu Sarah berbicara sambil merengkuh bahu putri keduanya. Merasa diperhatikan, Fatimah lantas menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. "Delia sangat teguh pada pendirian. Sekali dia sudah memutuskan sesuatu maka tidak akan ada yang bisa mengganggu keputusannya, tidak Tante sekalipun. Jadi ... kenapa tidak mencoba menjalin hubungan dengan Fatimah saja, Sal?"Faisal terkekeh aneh. "Mereka berbeda, Tante ....""Berbeda bagaimana maksud kamu, Mas?" seloroh Fatimah sedikit meninggikan suara. "Mas pikir aku ini bukan wanita baik-baik?""Bukan seperti itu, Fatimah. Tapi yang jelas perasaan yang kumiliki ini berbeda. Aku hanya ingin Delia, bukan yang lain."Bu Sarah melepaskan rengkuhannya perlahan. Melihat wajah Fatimah yang berubah ketus membuat wanita paruh baya itu yakin kalau sebenarnya putri keduanya itu memiliki rasa pada Faisal. Entah perasaan tertarik pada lawan jenis, atau perasaan tertarik pada tawaran yang F
***"Masya Allah, Le." Emak Karti berjalan tergopoh ketika melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Emak sengaja membuka pintu sampai tengah malam, Haikal. Emak khawatir, Cah Bagus!"Haikal mencium punggung tangan Emak yang sudah keriput. "Assalamualaikum, Mak ....""Oalah, Haikal ... Haikal. Waalaikumsalam," jawab Emak sedikit ketus. "Ayo masuk! Jangan suka bikin Emak sama Bapak khawatir, Haikal!"Haikal mengangguk lemah. Sadar sepenuhnya kalau sikapnya kali ini benar-benar membuat kedua orang tuanya cemas. Rencana ingin menginap di hotel ia urungkan ketika sebuah pesan dari Kang Dirman masuk ke dalam ponselnya. Pesan yang berbunyi, "Posisi, Haikal? Akang mau jemput kamu atas perintah Juragan Gani."Haikal tidak bisa mengabaikan pesan Kang Dirman begitu saja. Sekalipun sudah malam, perintah Bapaknya memang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh beberapa orang termasuk pria yang usianya lima tahun di atas Haikal. Kang Dirman. Sudirman Abraham.Tepat pukul sembilan malam, Kang Dirman b
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te