***"Faisal, coba lihat Fatimah, dia tidak kalah cantik dari Delia." Bu Sarah berbicara sambil merengkuh bahu putri keduanya. Merasa diperhatikan, Fatimah lantas menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. "Delia sangat teguh pada pendirian. Sekali dia sudah memutuskan sesuatu maka tidak akan ada yang bisa mengganggu keputusannya, tidak Tante sekalipun. Jadi ... kenapa tidak mencoba menjalin hubungan dengan Fatimah saja, Sal?"Faisal terkekeh aneh. "Mereka berbeda, Tante ....""Berbeda bagaimana maksud kamu, Mas?" seloroh Fatimah sedikit meninggikan suara. "Mas pikir aku ini bukan wanita baik-baik?""Bukan seperti itu, Fatimah. Tapi yang jelas perasaan yang kumiliki ini berbeda. Aku hanya ingin Delia, bukan yang lain."Bu Sarah melepaskan rengkuhannya perlahan. Melihat wajah Fatimah yang berubah ketus membuat wanita paruh baya itu yakin kalau sebenarnya putri keduanya itu memiliki rasa pada Faisal. Entah perasaan tertarik pada lawan jenis, atau perasaan tertarik pada tawaran yang F
***"Masya Allah, Le." Emak Karti berjalan tergopoh ketika melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Emak sengaja membuka pintu sampai tengah malam, Haikal. Emak khawatir, Cah Bagus!"Haikal mencium punggung tangan Emak yang sudah keriput. "Assalamualaikum, Mak ....""Oalah, Haikal ... Haikal. Waalaikumsalam," jawab Emak sedikit ketus. "Ayo masuk! Jangan suka bikin Emak sama Bapak khawatir, Haikal!"Haikal mengangguk lemah. Sadar sepenuhnya kalau sikapnya kali ini benar-benar membuat kedua orang tuanya cemas. Rencana ingin menginap di hotel ia urungkan ketika sebuah pesan dari Kang Dirman masuk ke dalam ponselnya. Pesan yang berbunyi, "Posisi, Haikal? Akang mau jemput kamu atas perintah Juragan Gani."Haikal tidak bisa mengabaikan pesan Kang Dirman begitu saja. Sekalipun sudah malam, perintah Bapaknya memang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh beberapa orang termasuk pria yang usianya lima tahun di atas Haikal. Kang Dirman. Sudirman Abraham.Tepat pukul sembilan malam, Kang Dirman b
***Delia mengerutkan kening ketika membaca pesan masuk dari nomor yang tidak bernama. "Siapa ....?" gumam Delia lirih. "Apa istri Mas Faisal? Tapi, bukankah istri pertamanya tidak punya anak? Lalu siapa yang kirim pesan padaku?"Delia urung membalas pesan. Diletakkannya ponsel di atas nakas sementara dirinya buru-buru keluar dari dalam kamar.Pagi ini, ada beberapa kerabat yang akan membantu menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan keluarga Haikal. "Selamat pagi, Mbak Sarah," sapa Bibi Husniah, adik Bu Sarah yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. "Sudah belanja apa saja? Kita langsung masak atau gimana ini?" Wanita cantik dengan perhiasan yang memenuhi jari serta pergelangan tangannya itu nampak melenggang masuk ke dalam rumah."Calon Delia pasti orang kaya, kalau tidak mana mungkin Mas Handoko memanggil kita semua untuk membantu memasak. Duh, Mbak ... harusnya pesan catering saja, capek tau gak sih kalau masak makanan bermacam-macam," timpal Bibi Naomi, adik Bu Sarah yang pa
***"Hanya karena kami hidup tanpa kemewahan Ibu mengatakan kalau Sarah memilih pria yang salah?" Pak Handoko meletakkan dengan kasar dua kantong plastik besar dari tangannya. "Ternyata seperti itu penilaian Ibu terhadapku. Pantas saja istriku kekeuh ingin menjodohkan Delia dengan pria kaya tanpa peduli apakah dia beristri atau tidak."Eyang Salma memijit pelipisnya dengan gerakan lembut. "Kalau kamu masih menganggap Ibu sebagai orang tua, tolak lamaran petani itu untuk Delia, Salah!"Delia melengos. Masalah yang seharusnya sudah teratasi dengan sempurna kini kembali datang melalui restu Eyang Salma. Wanita tua itu menolak memiliki cucu menantu seorang petani. Pak Handoko menghela napas panjang. Keputusannya salah membawa ipar-iparnya datang ke rumah. Niat hati ingin mempererat tali silaturahim yang hampir putus, ternyata kedatangan keluarga Bu Sarah justru membuat suasana semakin memanas. "Aku sudah menolaknya, Bu ... bahkan Delia akan dipersunting teman baik Jaka, tapi ....""Mas
***"Bu, sudah, cukup!" tegur Pak Handoko tegas. "Pembahasan kita tentang rencana pernikahan Delia sudah selesai. Kalau Ibu tidak mau meminta bantuan tetangga, biar Bapak pesan makanan catering saja untuk acara besok. Bapak sudah muak membahas ini."Bu Sarah masih menatap Delia dengan penuh harap. Berdoa di dalam hati semoga bungsunya luluh dan mau menuruti semua permintaannya sekalipun menyandang status perebut lelaki orang menjadi taruhannya. Tidak ada cara lain. Andai saja Faisal mau menikahi Fatimah, tentulah wanita paruh baya itu berhenti memaksa Delia. Sayang, Fatimah bukan wanita yang bisa membuat Faisal tergila-gila. "Del ...."Suara Bu Sarah terdengar parau. Matanya yang basah tidak lantas membuat Delia iba. Alih-alih simpati, Delia justru semakin geram dengan sikap Sang Ibu. "Biar aku yang ke rumah Bulek Nina, Pak. Sayang bahan-bahan yang sudah Bapak beli," ucap Delia tanpa menatap Bu Sarah. "Maaf, Bu ... Mas Haikal tetap menjadi pilihanku."Delia berlalu meninggalkan rum
***"Hai, Del ... ternyata tidak semua jodoh itu cerminan diri ya," celetuk Erina yang berdiri tepat di depan Delia. "Kamu sarjana, tapi ... duh, aku benar-benar kaget waktu Mama bilang kalau pria yang akan melamar kamu itu petani.""Lalu kenapa kalau petani?" sahut Delia sambil bersedekap dada. "Kau pikir petani tidak pantas menikah dengan seorang sarjana, hah?"Erina tergelak. Di sampingnya, pria tampan bertubuh tinggi tegap turut tertawa melihat kekasihnya sedang tertawa. "Sayang sekali gelar yang kamu sandang, Delia. Astaga ... andai aku berada di posisi kamu, tidak bisa dibayangkan bagaimana malunya Mama di depan banyak orang. Sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana ternyata dinikahi pria sekelas tani. Oh my ... memalukan sekali kan, Sayang?" Erina bergelayut manja di lengan kekasihnya. "Tau gitu mending dulu langsung nikah aja, biar strata kalian sama. Daripada buang-buang duit tapi ujung-ujungnya dapat suami miskin ...."Delia terkekeh. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucap
***"Apa yang kamu tanyakan, Rin? Jelas-jelas calon suami Delia itu petani. Dengarkan aku, mereka bawa seserahan banyak belum tentu karena mereka kaya. Huh, cuma karena seserahan saja kamu jadi silau, Erina," cibir Meisya. Bibir bisa mencela, namun dalam hati Meisya menyesalkan mengapa seserahan yang Jaka bawa tidak semewah milik Delia. "Paling-paling juga habis jual sawah, makanya bisa bawa seserahan banyak begitu. Atau ... jangan-jangan perhiasannya imitasi?" Meisya cekikikan membayangkan jika semua perhiasan yang tersusun rapi pada tempatnya itu ternyata bukan perhiasan asli."Waalaikumsalam ... mari masuk! Kami sudah menunggu kedatangan keluarga Nak Haikal," ucap Pak Handoko tanpa bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. "Mari, mari! Masya Allah, saya tidak menyangka kalau Haikal akan membawa banyak keluarga.""Rumahnya besar sekali!" "Rumah orang kota bagus-bagus ya, modern semua.""Rapi sekali, beda sama rumah kita di kampung. Alasnya tanah." Tetangga Haikal cekikikan. "Jadi t
DILAMAR ANAK PETANI (19)***"Bu, jangan bikin malu, kita sudah terima lamaran Haikal dengan tangan terbuka, apa-apaan pakai syarat segala. Saya tidak setuju!" Pak Handoko berbicara lirih namun tegas. Eyang Salma melirik sinis, "Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu tetap akan memberikan syarat. Bagaimanapun, Delia adalah cucu perempuan Ibu, Ibu mau dia hidup sejahtera setelah menikah."Keluarga Haikal saling pandang. Dari tegasnya kata-kata Eyang Salma, beberapa dari mereka mulai bisa menangkap jelas ketidaksetujuan yang wanita tua itu lontarkan. "Bagaimana, Haikal ... kamu siap mendengarkan syarat dari Eyang?"Haikal menatap Pak Gani dan Emak Karti cukup lama. Setelah surganya terlihat mengangguk samar, barulah Haikal menjawab, "InsyaAllah, saya siap mendengarkan, Eyang.""Rasain! Memangnya cuma bawa seserahan segini banyak bisa dapat sanjungan? Mimpi!" ujar Bibi Naomi sinis. "Mereka pikir orang kota bisa dibeli dengan barang-barang murahan seperti yang mereka bawa apa?""Betul!