***"Bu, sudah, cukup!" tegur Pak Handoko tegas. "Pembahasan kita tentang rencana pernikahan Delia sudah selesai. Kalau Ibu tidak mau meminta bantuan tetangga, biar Bapak pesan makanan catering saja untuk acara besok. Bapak sudah muak membahas ini."Bu Sarah masih menatap Delia dengan penuh harap. Berdoa di dalam hati semoga bungsunya luluh dan mau menuruti semua permintaannya sekalipun menyandang status perebut lelaki orang menjadi taruhannya. Tidak ada cara lain. Andai saja Faisal mau menikahi Fatimah, tentulah wanita paruh baya itu berhenti memaksa Delia. Sayang, Fatimah bukan wanita yang bisa membuat Faisal tergila-gila. "Del ...."Suara Bu Sarah terdengar parau. Matanya yang basah tidak lantas membuat Delia iba. Alih-alih simpati, Delia justru semakin geram dengan sikap Sang Ibu. "Biar aku yang ke rumah Bulek Nina, Pak. Sayang bahan-bahan yang sudah Bapak beli," ucap Delia tanpa menatap Bu Sarah. "Maaf, Bu ... Mas Haikal tetap menjadi pilihanku."Delia berlalu meninggalkan rum
***"Hai, Del ... ternyata tidak semua jodoh itu cerminan diri ya," celetuk Erina yang berdiri tepat di depan Delia. "Kamu sarjana, tapi ... duh, aku benar-benar kaget waktu Mama bilang kalau pria yang akan melamar kamu itu petani.""Lalu kenapa kalau petani?" sahut Delia sambil bersedekap dada. "Kau pikir petani tidak pantas menikah dengan seorang sarjana, hah?"Erina tergelak. Di sampingnya, pria tampan bertubuh tinggi tegap turut tertawa melihat kekasihnya sedang tertawa. "Sayang sekali gelar yang kamu sandang, Delia. Astaga ... andai aku berada di posisi kamu, tidak bisa dibayangkan bagaimana malunya Mama di depan banyak orang. Sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana ternyata dinikahi pria sekelas tani. Oh my ... memalukan sekali kan, Sayang?" Erina bergelayut manja di lengan kekasihnya. "Tau gitu mending dulu langsung nikah aja, biar strata kalian sama. Daripada buang-buang duit tapi ujung-ujungnya dapat suami miskin ...."Delia terkekeh. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucap
***"Apa yang kamu tanyakan, Rin? Jelas-jelas calon suami Delia itu petani. Dengarkan aku, mereka bawa seserahan banyak belum tentu karena mereka kaya. Huh, cuma karena seserahan saja kamu jadi silau, Erina," cibir Meisya. Bibir bisa mencela, namun dalam hati Meisya menyesalkan mengapa seserahan yang Jaka bawa tidak semewah milik Delia. "Paling-paling juga habis jual sawah, makanya bisa bawa seserahan banyak begitu. Atau ... jangan-jangan perhiasannya imitasi?" Meisya cekikikan membayangkan jika semua perhiasan yang tersusun rapi pada tempatnya itu ternyata bukan perhiasan asli."Waalaikumsalam ... mari masuk! Kami sudah menunggu kedatangan keluarga Nak Haikal," ucap Pak Handoko tanpa bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. "Mari, mari! Masya Allah, saya tidak menyangka kalau Haikal akan membawa banyak keluarga.""Rumahnya besar sekali!" "Rumah orang kota bagus-bagus ya, modern semua.""Rapi sekali, beda sama rumah kita di kampung. Alasnya tanah." Tetangga Haikal cekikikan. "Jadi t
DILAMAR ANAK PETANI (19)***"Bu, jangan bikin malu, kita sudah terima lamaran Haikal dengan tangan terbuka, apa-apaan pakai syarat segala. Saya tidak setuju!" Pak Handoko berbicara lirih namun tegas. Eyang Salma melirik sinis, "Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu tetap akan memberikan syarat. Bagaimanapun, Delia adalah cucu perempuan Ibu, Ibu mau dia hidup sejahtera setelah menikah."Keluarga Haikal saling pandang. Dari tegasnya kata-kata Eyang Salma, beberapa dari mereka mulai bisa menangkap jelas ketidaksetujuan yang wanita tua itu lontarkan. "Bagaimana, Haikal ... kamu siap mendengarkan syarat dari Eyang?"Haikal menatap Pak Gani dan Emak Karti cukup lama. Setelah surganya terlihat mengangguk samar, barulah Haikal menjawab, "InsyaAllah, saya siap mendengarkan, Eyang.""Rasain! Memangnya cuma bawa seserahan segini banyak bisa dapat sanjungan? Mimpi!" ujar Bibi Naomi sinis. "Mereka pikir orang kota bisa dibeli dengan barang-barang murahan seperti yang mereka bawa apa?""Betul!
***Wajah Eyang Salma memerah. Wanita tua yang berpenampilan nyentrik itu menatap Pak Handoko nyalang. "Jangan lupa kalau Eyang adalah tetua di keluarga kita, Delia," ucapnya dingin. "Semua perkataan Eyang harus dipatuhi."Delia tersenyum getir. "Jangan berlagak bahwa selama ini Eyang peduli pada kami.""Jaga batasanmu, Delia!" bentak Bibi Husniah. "Berani sekali bicara seperti itu pada Eyang, hah?!""Cukup, sudah, cukup!" Pak Handoko menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Tidak seharusnya kita berseteru di depan para tamu. Ini memalukan!"Delia kembali menunduk. Keluarganya memang dari kota, tapi sikap dan sifatnya sangatlah kampungan. Berbeda dengan keluarga Haikal yang terlihat begitu tenang pada setiap situasi."Dengarkan aku baik-baik, yang tidak setuju dengan pilihan Delia, boleh keluar dari rumah ini sekarang juga. Tidak terkecuali Ibu," ucap Pak Handoko tegas. "Delia adalah putriku, aku tau mana yang terbaik untuk anakku. Silahkan!"Eyang Salma membuang muka. B
***Emak menepuk lengan Yu Jamilah sambil berdesis, "Ssttt, masuklah ke rumah orang dalam keadaan buta, Mila!"Bahu Yu Jamilah merosot. "Ya maaf, Mak. Tapi lucu aja gitu, ternyata dari tadi mereka merendahkan Mas Haikal karena tidak tau kalau calon suami Neng Delia itu kaya raya. Iya kan?"Emak menatap tajam Yu Jamilah membuat saudara suaminya itu seketika terdiam takut. Sementara di samping Emak, Delia hanya tersenyum dan menyahut. "Tidak apa-apa, Mak. Lagipula yang Bibi Jamilah katakan itu benar."Yu Jamilah manggut-manggut penuh kemenangan. "Tuh kan ....""Alhamdulillah!""Haduh, Bu, bikin panik saja!"Anak-anak Eyang Salma saling menggerutu. Bagaimana tidak, Eyang yang datang dalam keadaan sehat tiba-tiba pingsan di tengah-tengah acara hanya karena mengetahui siapa Haikal sebenarnya. "Delia benar dilamar petani kaya, Rah?" tanya Eyang sekonyong-konyong. Belum reda pening yang dirasa, sebuah pertanyaan
***"Ish, apa-apaan sih, Del," gerutu Erina. "Kita cuma pilih-pilih kok disini, kamu itu harusnya berbagi, kita kan saudara.""Del, pokoknya kain ini punya Mbak, Mbak gak mau kalau diambil Erina. Enak saja!" sahut Meisya ketus. "Mbak Del, sandalnya boleh buat aku?" Anisah turut menimpali. Sepasang sandal sudah terbuka dari tempatnya. Delia meradang, sandal flat dengan tampilan cantik dengan warna putih itu sudah melekat di kaki Anisah yang lebar. "Sama itu juga, make up-nya sama kayak punya, Mbak. Buat aku juga ya!" Delia makin naik pitam kala wadah make up sudah terbuka dan beberapa isinya berjajar di atas ranjang. "Keluar!" teriak Delia lantang. "Jangan bawa apapun dari kamar ini. Keluar semuanya!" Suara Delia berhasil membuat semua orang ketakutan. Erina sontak menjauh, begitupula dengan Anisah. Namun ketika putri Bibi Husniah itu berlari, Delia justru berteriak kesal. "Aarghh ....!"Pak Handoko dan Bu Sarah tunggang l
***"Kue segitu banyak buat Bibi Husniah dan Bibi Naomi?" Jaka menimpali. "Eyang gak salah ngomong kan?"Meisya bersedekap dada, jengah melihat sikap dan tingkah keluarga suaminya. "Yang benar saja, Eyang, masa kue segitu banyak cuma buat Bibi Hus sama Bibi Nao. Gak logis, cacat logika!"Eyang menatap Meisya sengit. Wanita tua yang berdiri dengan sedikit gemetar itu mulai melangkah perlahan mendekati Delia. "Aku tidak mau mendengar apapun, Eyang," kata Delia lemah. "Hari ini cukup melelahkan, aku harap Eyang tidak berkata-kata yang membuat hatiku semakin lelah."Eyang menggeleng. Jemari Delia yang tersemat cincin berlian indah digenggam dan dipandang cukup lama. "Kamu sudah dapat banyak dari calon suamimu, Del. Tidak ada salahnya kalau kue-kue itu untuk Bibi kamu kan?""Bu, sudahlah, aku sudah membagi kue untuk Husniah dan Naomi, jangan memaksa begitu," ujar Bu Sarah menengahi. "Lagipula semua kue dari Haikal tidak serta merta kami habiskan, kami punya tetangga, Bu, kue-kue itu renca
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te